Industri Tekstil Menanti Titik Cerah pada Tahun 2025
Pemerintah mulai menerapkan Peraturan Menteri Perdagangan No 36/2023 tentang Pengaturan Impor pada 10 Maret 2024.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja industri tekstil dan produk tekstil di Indonesia masih memburuk karena segudang masalah. Implementasi Peraturan Menteri Perdagangan tentang Pengaturan Impor hingga turunnya suku bunga secara perlahan tahun depan diharapkan memberi titik cerah bagi industri ini.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengakui, industri ini masih mendapat tekanan dari ekonomi global yang mengganggu peluang investasi hingga gangguan daya beli lokal karena gempuran produk impor, khususnya dari negeri Tiongkok.
”Dari sisi hilir IKM (industri kecil menengah) sampai ke hulu, utilisasi (kapasitas produksi terpasang) sampai hanya 50 persen,” kata Jemmy dalam sesi tanya jawab pada konferensi pers Pameran Mesin Tekstil dan GarmenIndo Intertex 2024 di Jakarta, Selasa (5/3/2024).
Situasi ini membuat banyak industri terus mengurangi tenaga kerja. Belum lama ini, dua perusahaan tekstil di Semarang, Jawa Tengah, melakukan pemutusan hubungan kerja kepada sekitar 5.300 pekerjanya. Penyebabnya, permintaan di pasar ekspor menurun di tengah pelemahan ekonomi global dan pasar dalam negeri yang tertekan karena dibanjiri produk impor (Kompas.id, 21/2/2024).
Di Bursa Efek Indonesia, beberapa perusahaan tekstil tercatat mendapat notifikasi khusus karena masalah keuangan sehingga aktivitas investasi oleh publik tidak berjalan. Perusahaan itu antara lain PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY), PT Sejahtera Bintang Abadi Textile Tbk (SBAT), dan PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL).
Untuk menghidupi kembali industri ini, menurut Jemmy, pelaku usaha hingga pemerintah perlu menggairahkan permintaan dalam negeri. ”Yang terpenting adalah market-nya dijaga dulu agar teman-teman di IKM dan industri bisa kembali bergairah. Kalau market terjaga, teman-teman industri bisa berinvestasi lagi. Kalau enggak ada pasar, ya enggak ada permintaan,” ujarnya.
Jemmy pun mengharapkan pemerintah segera menerapkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023 tentang Pengaturan Impor. Aturan yang ditetapkan pada 11 Desember 2023 itu mulai berlaku pada 10 Maret 2024.
”Permendag 36 ini diharapkan bisa menjadi penyemangat industri karena salah satu intinya adalah penerapan non-tariff barrier (pembatasan perdagangan nontarif). Ini penting karena menurut akademisi, Indonesia salah satu negara yang paling sedikit, dibandingkan negara produsen TPT (tekstil dan produk tekstil) lainnya, yang menggunakan instrumen trade barrier untuk menjaga industri dalam negerinya,” jelasnya.
Jika peraturan itu tidak tertunda, ia mengharapkan kondisi industri tekstil membaik pada periode terdekat, Mei hingga Juni 2024. Faktor perbaikan dalam jangka menengah juga diharapkan dari penurunan suku bunga. Situasi ini menunggu kebijakan bank sentral AS, The Fed, yang diperkirakan akan menurunkan suku bunganya pada pertengahan kedua 2024. Kebijakan itu akan diikuti Indonesia dan diperkirakan baru berdampak pada tahun depan lewat penurunan bunga pinjaman untuk modal usaha.
Pembaruan mesin
Upaya lain untuk menaikkan kembali kinerja industri tekstil dan produk tekstil adalah dengan memperbarui mesin industri. Bantuan dari pemerintah hingga inovasi pelaku usaha swasta menjadi penggeraknya.
Indonesia salah satu negara yang paling sedikit, dibandingkan negara produsen TPT lainnya, yang menggunakan instrumen trade barrier untuk menjaga industri dalam negerinya.
Tahun 2024, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian akan kembali memberikan insentif lewat program restrukturisasi mesin untuk pelaku usaha industri tekstil. Menurut rencana, kementerian tersebut akan menggelontorkan anggaran sebesar Rp 52 miliar tahun ini.
Paul Kingsen, Direktur Utama Peraga Expo, penyelenggara Pameran Mesin Tekstil dan Garmen Indo Intertex 2024, mengatakan mereka juga mendukung program tersebut dengan gelaran pameran yang akan mereka adakan pada 20-23 Maret 2024 di JIExpo Kemayoran, Jakarta.
”Pameran kami mendukung program Kemenperin dalam merestrukturisasi atau meremajakan mesin-mesin tekstil yang rata-rata sudah tua," kata Paul pada kesempatan yang sama.
Dalam acara itu pelaku usaha dapat berinteraksi dan mengenal lebih jauh pelaku usaha lain untuk bekerja sama, termasuk dalam hal pengadaan mesin industri. Pameran ini akan mempertunjukkan teknologi dan inovasi terbaru dari mesin tekstil, garmen dan digital printing, bahan baku, teknologi digitalisasi, kimia tekstil, pewarna tekstil, aksesori, hingga produk tekstil lainnya di dalam area seluas 35.000 meter persegi.
Peserta pameran terdiri dari lebih dari 600 perusahaan dari 16 negara, dengan target 12.000 pengunjung dari kalangan profesional hingga pelajar. Peserta, termasuk pengunjung umum yang dapat datang secara gratis, juga bisa mengikuti seminar edukasi dan workshop dari pemerintah, asosiasi, dan peserta pameran.
”Indo Intertex memainkan peran penting bagi para pelaku industri tekstil di Indonesia karena menjadi satu-satunya wadah yang kredibel untuk merintis, memperluas, hingga memimpin transformasi sektor tekstil dan garmen lokal dengan memperkenalkan teknologi baru dari dunia,” tutur Paul.
Kegiatan ini secara tidak langsung diharapkan menguatkan andil industri ini terhadap jumlah produk domestik bruto (PDB) negara. Berdasarkan data yang diolah Pusat Data dan Informasi Kementerian Perindustrian, industri tekstil dan pakaian memberikan kontribusi sebesar 6,05 persen pada PDB industri pengolahan nonmigas dengan nilai ekspor mencapai 6,2 miliar dollar AS pada periode Januari-September 2023.