Permintaan Anjlok, Dua Industri Tekstil di Semarang Pecat 5.300 Pekerja
Sejak pandemi hingga saat ini, PHK masih terus terjadi di industri tekstil dan produk tekstil.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemutusan hubungan kerja atau PHK di industri tekstil dan produk tekstil masih terus berlanjut sejak tekanan ekonomi pandemi hingga saat ini. Kabar teranyar, dua perusahaan tekstil di Semarang, Jawa Tengah, mem-PHK sekitar 5.300 pekerjanya. Penyebabnya, permintaan di pasar ekspor menurun di tengah pelemahan ekonomi global dan pasar dalam negeri yang tertekan karena dibanjiri produk impor.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi, Rabu (21/2/2024), mengungkapkan, dua perusahaan tekstil yang berlokasi di Semarang, Jawa Tengah, pada Januari-Februari ini total sudah melakukan PHK terhadap sekitar 5.300 pekerja. Satu perusahaan telah mem-PHK sekitar 5.000 karyawan dan perusahaan yang lain 300 karyawan.
Ia menjelaskan, PHK itu dilakukan karena terjadinya penurunan permintaan. Akibatnya, perusahaan tidak mampu lagi membiayai upah para pekerja. Kendati demikian, lanjut Ristadi, hak-hak dan pesangon dari karyawan yang di-PHK sudah diselesaikan sesuai ketentuan yang berlaku.
Ristadi menambahkan, sejak 2020 hingga kini, pihaknya mencatat ada sekitar 62.000 pekerja industri tekstil dan produk tekstil yang mengalami PHK. Mereka tersebar di Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja itu ada yang produknya berorientasi pasar ekspor dan ada pula yang memiliki pasar dalam negeri.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Bidang Ketenagakerjaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nurdin Setiawan mengatakan, pihaknya belum memperoleh laporan resmi mengenai PHK di dua perusahaan itu. Namun, dia tidak menampik bahwa pada 2024, yang belum genap berjalan dua bulan ini, memang sudah terjadi PHK di industri tekstil dan produk tekstil.
”Pada 2024 ada (PHK), tapi tidak masif seperti 2022 dan 2023,” ujar Nurdin, dihubungi pada Rabu.
Ia menambahkan, kini utilitas produksi industri ini berkisar 60-70 persen. Angka ini tidak banyak berubah dalam 2-3 tahun terakhir yang juga berkisar 65-75 persen.
Data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) memperkirakan serapan tenaga kerja di industri ini terus menurun. Saat ini jumlahnya mendekati 3 juta orang, menurun dibandingkan 2019 yang pernah menyerap hingga 3,5 juta orang.
Berkurangnya jumlah tenaga kerja itu disebabkan beberapa faktor, mulai dari langkah merumahkan sementara pekerja hingga PHK. Biasanya pabrik merumahkan sementara pekerjanya apabila tidak ada permintaan, tetapi pekerja bisa dipanggil kembali jika pabrik membutuhkan saat ada permintaan produksi. Mereka pun dibayar per hari atau per jam.
Ada pula pabrik yang tutup sepenuhnya karena tidak mampu lagi membiayai ongkos pekerja sehingga pekerjanya harus di-PHK. Namun, ada pula grup tekstil yang menutup satu pabriknya di suatu daerah, tetapi membuka pabrik baru di daerah lain. Ini dilakukan untuk mengakali upah minimum pekerja yang tidak merata dan mahal di daerah tertentu.
Nurdin menjelaskan, PHK yang masih terus terjadi itu lantaran industri ditekan dari dua arah sekaligus, yakni dari luar negeri dan dalam negeri. Pelaku industri yang berorientasi ekspor kesulitan menjual produknya akibat perlambatan ekonomi global. Ini membuat permintaan dari negara tujuan ekspor menurun.
Sejak 2020 hingga kini, pihaknya mencatat ada sekitar 62.000 pekerja industri tekstil dan produk tekstil yang mengalami PHK.
Pasar dalam negeri pun tertekan lantaran dibanjiri produk-produk impor berupa produk tekstil hingga garmen (pakaian jadi). Sementara itu, pada saat yang sama, ongkos produksi terus meningkat, mulai dari upah buruh hingga berbagai ongkos operasional lainnya.
Ini membuat produk tekstil dalam negeri kurang kompetitif. Kondisi ini berakibat pada harga jual produk industri tekstil dalam negeri yang lebih tinggi ketimbang produk impor.
Nurdin berharap ada langkah serius dari pemerintah untuk merevitalisasi industri ini. Sebab, industri ini bersifat padat karya sehingga bisa memberikan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat.
”Saya masih yakin industri tekstil ini bisa bangkit karena seumur hidup manusia, sejak lahir hingga meninggal dunia, pasti membutuhkan produk tekstil. Sandang adalah salah satu kebutuhan primer manusia,” ujarnya.
Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef ), Ahmad Heri Firdaus, mengatakan, industri tekstil dalam negeri itu kebanyakan masih bersifat maklun atau hanya mengerjakan sesuai permintaan pembeli. Apalagi perusahaan tekstil garmen yang bekerja sama dengan pemegang merek global. Jadi, ketika permintaan global menurun, bahkan sepi, tidak ada lagi yang dikerjakan.
”Industri ini sangat bergantung pada permintaan yang datang,” ujar Ahmad.
Perusahaan tekstil dalam negeri pun sulit berjualan. Ini lantaran produk tekstil garmen membanjiri pasar Indonesia, baik yang datang secara legal melalui perjanjian kerja sama perdagangan (free trade agreement/FTA) maupun secara selundupan ilegal.
Ia mengkhawatirkan, di masa mendatang, kebutuhan sandang atau garmen tekstil hilir dalam negeri malah dipenuhi oleh impor. Padahal, industri lokal sudah sangat mampu memproduksi sandang untuk kebutuhan dalam negeri.
Ahmad mengatakan, industri ini perlu penanganan dan perhatian serius dari pemerintah untuk direvitalisasi. Sebab, karakter industri ini yang padat karya bisa memperluas serapan tenaga kerja. Ini bisa membantu mengurangi pengangguran dan bisa mendorong kesejahteraan serta pertumbuhan ekonomi.
Apalagi, Indonesia pernah punya rekam jejak manis pada dekade 1980-an dan 1990-an sebagai raja tekstil dunia. Saat itu, kinerja industri tekstil sangat cemerlang, baik sebagai kontributor ekspor maupun pertumbuhan ekonomi.
Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional Kementerian Perindustrian Eko SA Cahyanto mengatakan, industri tekstil termasuk salah satu sektor yang mengalami tekanan. Hal ini tecermin dari Indeks Keyakinan Industri (IKI) sektor industri ini yang menurun.
”Beberapa faktor dominan yang menyebabkan nilai IKI turun, di antaranya, adalah penurunan pesanan domestik dan luar negeri, masih banyak persediaan produk, ketersediaan bahan baku, dan faktor musiman,” ujar Eko.
Tahun ini, pihaknya akan melakukan restrukturisasi mesin dan peralatan industri tekstil untuk meningkatkan daya saing industri ini.