Untung-Rugi WTO Perpanjang Moratorium Bea Masuk Transmisi Digital
Bagi Indonesia, dampak perpanjangan moratorium harus dilihat secara multisisi.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konferensi Tingkat Menteri Ke-13 Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO sepakat untuk memperpanjang moratorium tarif bea masuk atas transmisi digital hingga pertemuan tingkat menteri pada 2026. Bagi Indonesia, dampak perpanjangan moratorium harus dilihat secara multisisi.
Moratorium tarif bea masuk atas transmisi digital WTO diperkenalkan pertama kali pada tahun 1998 sebagai bagian dari Deklarasi Global terkait Perdagangan Secara Elektronik atau E-Dagang. Inti dari moratorium itu adalah melarang negara-negara mengenakan bea masuk atas transaksi bisnis ke konsumen (B2C) dan bisnis ke bisnis (B2B) yang terjadi lintas batas negara melalui internet.
Moratorium tarif bea masuk atas transmisi digital mencakup perdagangan barang dan jasa digital lintas batas negara, termasuk perangkat lunak, film digital, dan musik digital.
Moratorium bea masuk atas transmisi digital yang dilancarkan WTO merupakan pilar utama pengembangan internet selama beberapa dekade terakhir. Pada menit-menit terakhir pertemuan Konferensi Tingkat Menteri Ke-13 pada Jumat (1/4/2024) yang berlangsung di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), moratorium itu disepakati untuk diperpanjang.
Menteri Perdagangan dan Industri India Piyush Goyal mengatakan, dirinya mengizinkan perpanjangan moratorium untuk menghormati Ketua Konferensi di UEA yang disebut sebagai teman baiknya.
Sebelum tercapainya konsensus, terdapat beberapa opsi terkait tarif bea masuk atas transmisi digital yang muncul, yaitu menjadikan moratorium tarif produk e-dagang menjadi permanen, mencabutnya membiarkannya tidak berlaku lagi, atau kompromi untuk memperpanjang moratorium selama dua tahun ke depan.
Selain India, Indonesia dan Afrika Selatan juga menjadi negara yang mendesak agar WTO mencabut moratorium bea masuk atas produk atau jasa dalam perdagangan elektronik lintas negara (Kompas.id, 3/4/2024).
Mengutip Reuters, adanya perusahaan raksasa teknologi seperti Google dan Microsoft yang membuka bisnis dan meraup pendapatan ratusan miliar dollar, semakin membuat banyak negara yang menginginkan bagian dari kekayaan itu.
Kepala kebijakan perdagangan di Dewan Industri Teknologi Informasi, sebuah kelompok industri di Washington, Amerika Serikat, Naomi Wilson, mengatakan, bea masuk seperti yang tertuang dalam moratorium itu akan mempersulit perusahaan-perusahaan yang bergantung pada data dan layanan digital.
”Pada dasarnya, hampir semua perusahaan zaman sekarang bergantung pada data dan layanan digital. Jadi, adanya perpanjangan atau tidak moratorium tarif bea masuk atas transmisi digital WTO lebih dari sekadar masalah perusahaan teknologi besar atau masalah negara maju,” tuturnya.
Sejak dimulainya moratorium tarif bea masuk atas transmisi elektronik, sektor e-dagang global telah berubah secara signifikan. Perdagangan barang digital telah tumbuh dari kurang 1 triliun dollar AS pada tahun 1995 menjadi lebih dari 5 triliun dollar AS pada tahun 2018.
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri, Selasa (5/3/2024), di Jakarta, berpendapat, dampak perpanjangan moratorium bea masuk atas transmisi digital bagi Indonesia harus dilihat dari berbagai sisi. Di Indonesia, produk digital dari luar negeri, seperti perangkat lunak, musik, dan film digital, banyak tersedia. Penggunanya berasal dari konsumen individu dan pebisnis. Selama ada moratorium, konsumen di Indonesia diuntungkan karena bebas biaya mendapatkan produk digital dari luar negeri. Begitu pula sebaliknya, produk digital dari produsen Indonesia yang diekspor ke luar negeri tidak akan terkena bea masuk.
”Jika moratorium bea masuk atas transmisi digital WTO tidak diperpanjang, segala macam produk digital, seperti perangkat lunak dan film digital (film streaming), menjadi mahal harganya. Konsumen bisnis skala UKM yang masih sangat bergantung pada perangkat lunak dari luar negeri untuk menjalankan usaha akan terganggu,” ujarnya.
Yose menekankan pentingnya menghitung berapa banyak pendapatan negara dari bea masuk barang dan servis digital dibanding kerugian yang ditanggung negara karena sulitnya konsumen mengakses barang dan servis digital. Menurut dia, kerugian yang akan ditanggung negara lebih besar jika moratorium bea masuk atas transmisi digital WTO tidak diperpanjang.
”Sejauh ini, sejumlah produsen di Indonesia dalam memproduksi barang masih banyak yang memakai produk digital, terutama perangkat lunak, dari luar negeri. Lagi pula, jika produk digital dari luar negeri dikenai bea masuk, prosedur impor akan rumit. Konsumen perorangan yang mau mengunduh perangkat lunak ataupun film digital harus mau mengisi dokumen pengenaan bea masuk dan pengawasan kepatuhannya akan susah,” tuturnya.
Konsumen bisnis skala UKM yang masih sangat bergantung pada perangkat lunak dari luar negeri untuk menjalankan usaha akan terganggu.
Lebih jauh, Yose mengatakan, Indonesia sebenarnya telah memiliki Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48/PMK.03/2020 mengenai Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan PPn atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Kemenkeu mengatur kembali ketentuan PPn atas pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dan/atau jasa kena pajak dari luar negeri melalui perdagangan melalui sistem elektronik melalui PMK No 60/PMK.03/2022.
Batasan kriteria pelaku usaha yang ditunjuk sebagai pemungut PPn pada perdagangan melalui sistem elektronik mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2020 yang telah ditetapkan pada 25 Juni 2020.
”Kalau sudah ada PPn produk digital dari luar negeri, menurut saya, Indonesia sudah mendapat pemasukan fiskal. Negara masih untung,” imbuh Yose.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal berpendapat, perpanjangan moratorium tarif bea masuk atas transmisi digital bisa memiliki multidampak bagi Indonesia karena tergantung subkategori produk dan servis digital yang diperjualbelikan lintas batas negara. Jika subkategorinya adalah produk digital yang mampu mendukung transfer pengetahuan bagi konsumen, moratorium itu akan menguntungkan Indonesia.
Sebaliknya, perpanjangan moratorium itu akan merugikan jika ada produk digital yang bisa diproduksi oleh perusahaan teknologi dari Indonesia, tetapi diproduksi dan diperjualbelikan oleh perusahaan raksasa teknologi global. Apabila konteksnya ini, Faisal memandang, perpanjangan moratorium tersebut sampai 2026 hanya akan menguntungkan perusahaan raksasa teknologi global.