Pertemuan WTO Ditutup Tanpa Menghasilkan Terobosan Berarti
Konferensi Tingkat Menteri Ke-13 WTO gagal mencapai kesepakatan penting terkait sektor perikanan dan pertanian.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konferensi Tingkat Menteri Ke-13 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ditutup tidak sesuai ekspektasi pada Jumat (1/3/2024) malam WIB. Sejumlah inisiatif besar terkait sektor perikanan dan pertanian gagal mencapai kesepakatan. Ini menjadi penanda adanya masalah serius dalam tubuh organisasi ini.
Konferensi yang berlangsung di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), direncanakan selesai pada Kamis (29/2/2024). Namun, penutupan molor sehari karena organisasi yang saat ini beranggotakan 166 negara tersebut kesulitan mencapai konsensus dalam pembahasan mengenai sektor pertanian atau pangan, serta perikanan.
Salah satu kesepakatan yang dampaknya dinilai cukup besar terhadap negara-negara anggota WTO adalah perpanjangan moratorium (penangguhan sementara) tarif bea cukai atas transmisi digital dalam perdagangan elektronik lintas negara selama dua tahun hingga 31 Maret 2026.
Di sisi lain, pembahasan mengenai pelarangan subsidi perikanan dan isu ketahanan pangan berlangsung alot untuk menemukan konsensus antara kepentingan negara berkembang, negara kurang berkembang, dan negara maju.
Tidak adanya kesepakatan di bidang pertanian dan perikanan telah menimbulkan keraguan dunia atas efektivitas dan manfaat dari WTO.
Permasalahan yang tak terselesaikan, antara lain, penangkapan ikan berlebih dan melebihi kapasitas (overfishing overcapacity/OFOC) serta perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment/SDT) di pilar OFOC.
Sebelumnya, Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Ke-12 WTO pada 2022 di Geneva, Swiss, gagal menjadikan larangan subsidi perikanan, yang berkontribusi terhadap penangkapan ikan ilegal, sebagai regulasi. Berlandaskan fakta tersebut, konferensi tahun ini diharapkan mampu menyelesaikan paket kebijakan kedua yang berfokus pada pelarangan subsidi yang menyebabkan pengangkapan ikan berlebih dan melebihi kapasitas.
Sebelum pelaksanaan KTM Ke-13 di Abu Dhabi, perundingan antara sejumlah negara anggota WTO telah dilakukan dalam beberapa bulan terakhir di kantor pusat WTO di Geneva dengan ekspektasi tercapainya konsensus pada isu subsidi perikanan berjalan lebih mulus, serta kesepakatan yang terjalin bisa memberikan fleksibilitas dan keuntungan bagi negara-negara berkembang.
Indonesia termasuk negara yang enggan meratifikasi atau menyetujui perjanjian pelarangan subsidi perikanan tersebut. Perlindungan dan pemberdayaan nelayan kecil di Indonesia telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.
”Pemerintah RI pada posisi untuk memastikan bahwa subsidi perikanan tetap dapat diberikan utamanya kepada nelayan skala kecil yang menangkap ikan di wilayah yurisdiksi Indonesia,” ujar Juru Bicara Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Muryadi, Jumat (1/3/2024).
Kendati demikian, dilansir dari AFP, Komisaris Perdagangan Uni Eropa Valdis Dumbrovkis menyebutkan, pada dasarnya hanya ada satu negara yang menghalangi tercapainya kesepakatan tersebut. Adapun satu negara yang dimaksud adalah India.
”Negara ini menolak rancangan perjanjan larangan subsidi perikanan dan menuntut konsesi lebih lanjut, termasuk periode transisi yang dianggap terlalu lama,” ujar Dumbrovkis.
Perundingan di sektor pertanian juga gagal mencapai kesepakatan dalam pertemuan ini. Sejak diluncurkannya Perundingan Putaran Doha pada 2001, negara berkembang menginginkan beberapa poin dalam perjanjian pertanian dikoreksi.
Pemerintah RI pada posisi untuk memastikan bahwa subsidi perikanan tetap dapat diberikan utamanya kepada nelayan skala kecil yang menangkap ikan di wilayah yurisdiksi Indonesia.
Adapun kesepakatan yang didesak ada dalam perjanjian pertanian, antara lain, merumuskan mekanisme safeguard khusus sektor pertanian yang lebih mudah dioperasikan negara berkembang dan membolehkan negara berkembang menerapkan kebijakan kepemilikan saham publik (public stockholding/PSH) untuk ketahanan pangan.
Dengan kebijakan PSH ini, pemerintah dapat membeli bahan pangan pokok, seperti beras, dari petani dengan harga tinggi untuk disalurkan dengan harga murah saat ada ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan.
Negara-negara berkembang anggota WTO, termasuk India, mencoba untuk menegosiasikan teks yang mencantumkan topik-topik yang perlu didiskusikan lebih lanjut. Namun, negara-negara maju menentang tuntutan adanya peraturan permanen yang mengatur penimbunan cadangan pangan oleh publik.
”Desakan India terhadap solusi permanen untuk kepemilikan saham publik tidak mungkin dijembatani,” lanjut Dombrovskis.
Sementara itu, Richard Ouellet, profesor hukum dari Universitas Laval, Kanada, menilai, konsensus yang sebelumnya menjadi landasan kekuatan dari WTO saat ini seolah menjadi ”lumpur” yang menghambat perkembangan dan pengaruh organisasi perdagangan multilateral tersebut.
”Tidak adanya kesepakatan di bidang pertanian dan perikanan telah menimbulkan keraguan dunia atas efektivitas dari WTO,” ujarnya.
Moratorium diperpanjang
Perundingan perpanjangan moratorium tarif bea masuk atas transmisi digital dalam perdagangan elektronik lintas negara untuk mencapai konsensi juga berlangsung alot. India sempat ”memblokade” kesepakatan perpanjangan moratorium karena desakan mereka soal kebijakan PSH untuk ketahanan pangan tidak mendapatkan titik temu.
Meski demikian, kondisi berbalik lantaran adanya permintaan dari Uni Emirat Arab selaku tuan rumah sehingga keputusan perpanjangan waktu dua tahun akhirnya disepakati. Menteri Perdagangan dan Industri India, Piyush Goyal, Jumat (1/3/2024), mengatakan, dirinya mengizinkan perpanjangan moratorium untuk menghormati Ketua Konferensi di UEA, yang disebut sebagai teman baiknya.
Sebelum tercapainya konsensus terdapat beberapa opsi terkait tarif bea masuk atas transmisi digital yang muncul, yaitu menjadikan moratorium tarif produk e-dagang menjadi permanen, mencabutnya membiarkannya tidak berlaku lagi, atau kompromi untuk memperpanjang morator selama dua tahun ke depan.
Selain India, Indonesia dan Afrika Selatan juga menjadi negara yang mendesak agar WTO mencabut moratorium bea masuk atas produk atau jasa dalam perdagangan elektronik lintas negara.