Biaya Perekrutan Karyawan Baru ”Start Up” di ASEAN Dikurangi
Bekerja di ”start up” tetap menarik bagi pekerja yang mencari kemajuan karier dan pengembangan pribadi secara cepat.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 41 persen perusahaan rintisan bidang teknologi digital atau start up di Asia Tenggara mengalami penurunan anggaran perekrutan karyawan baru sepanjang 2023. Penyebab utama hal itu terjadi adalah akses terhadap pendanaan ke investor yang kian berkurang. Situasi itu terungkap dalam laporan riset ”Southeast Asia Startup Talent Trends Report 2024” yang baru-baru ini dirilis Glints dan Monk’s Hill Capital.
Meski anggaran perekrutan baru menurun, sekitar 78 persen start up di Asia Tenggara masih berupaya merekrut tenaga profesional yang mampu mendukung perusahaan untuk berekspansi dan berinovasi. Hanya 19 persen start up menyatakan tidak ada perekrutan baru dan 3 persen start up yang menyatakan tidak yakin akan membuka lowongan pekerjaan baru.
Laporan riset Southeast Asia Startup Talent Trends Report 2024 merupakan laporan tahunan dari Glints dan Monk’s Hill Ventures. Laporan edisi tahun 2024 dirilis resmi pekan lalu.
Laporan riset Southeast Asia Startup Talent Trends Report 2024 menganalisis lebih dari 10.000 data lowongan pekerjaan start up di Singapura, Indonesia, dan Vietnam, serta wawancara kepada lebih dari 70 start up di wilayah tersebut.
Menurut laporan itu, gaji pekerja start up di Asia Tenggara yang bekerja di bidang pengembangan bisnis dan penjualan telah meningkat 20 persen. Hal ini mencerminkan kebutuhan mendesak para start up untuk menghasilkan uang di tengah kondisi pendanaan yang semakin sulit.
Sementara bidang pekerjaan teknisi di start up di Asia Tenggara mengalami penurunan gaji terbesar yang dipengaruhi pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pemotongan biaya kepada pekerja bidang pekerjaan teknisi. Situasi ini menyebabkan meningkatnya pasokan talenta teknologi di pasar sehingga memberikan tekanan pada gaji. Gaji untuk insinyur (engineers) turun 2 persen pada tahun 2023 dan posisi insinyur yunior mengalami penurunan paling tajam, yakni 6 persen.
Di Indonesia, para pekerja start up, khususnya yang bekerja di bidang pekerjaan teknologi, bisa meraih kenaikan gaji 20-25 persen per tahun.
Di Asia Tenggara, pasar Singapura bernasib lebih baik dibanding Indonesia dan Vietnam dengan gaji yang masih naik meski pertumbuhan kenaikannya lebih lambat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Gaji pekerja start up di Singapura, baik untuk sektor teknologi maupun non-teknologi, meningkat 5 persen, sedangkan di Indonesia dan Vietnam turun 3 persen pada tahun lalu.
Co-Founder dan Group General Manager of Glints, Steve Sutanto, Senin (4/3/2024), di Jakarta, mengatakan, sebelum pandemi Covid-19, para pekerja di start up mengalami kenaikan gaji per tahun yang didorong pada pertumbuhan bisnis yang pesat dan perekrutan massal. Di Indonesia, para pekerja start up, khususnya yang bekerja di bidang pekerjaan teknologi, bisa meraih kenaikan gaji 20-25 persen per tahun.
”Pandemi Covid-19 membawa perubahan. Para start up yang menghadapi ketidakpastian mulai melakukan PHK massal dan memilih kontrak jangka pendek untuk menghemat biaya. Hal ini membuat pekerja yang memiliki kualitas tinggi ragu untuk bergabung,” ujar Steve.
Pasar terkoreksi
Steve mengamati, pasar tenaga kerja untuk start up sedang terkoreksi lantaran PHK masih berlanjut. Situasi ini menghasilkan lebih banyak pekerja level yunior di pasar dan stabilisasi ekspektasi gaji.
Penurunan tawaran gaji bagi insinyur posisi yunior pada start up di Asia Tenggara mencerminkan kondisi tersebut. Ditambah lagi ada kecenderungan start up bersedia berinvestasi lebih banyak pada talenta yang mampu mendukung pembukaan jangkauan pelanggan baru sampai memelihara kedekatan hubungan dengan pelanggan.
Kendati terdapat tekanan penurunan gaji secara keseluruhan karena meningkatnya pasokan kandidat, Steve berpendapat, bekerja di start up tetap menarik terutama bagi pekerja yang mencari kemajuan karier dan pengembangan pribadi secara cepat. Start up menawarkan peluang pembelajaran yang tidak tertandingi, termasuk paparan luas soal bisnis dan menavigasi lingkungan yang bergerak dinamis antara mengejar pertumbuhan atau profit.
Mengutip NikkeiAsia, kucuran pendanaan ke start up di Asia Tenggara pada 2023 berkurang lebih dari 50 persen dibanding tahun sebelumnya atau turun menjadi 7,96 miliar dollar AS pada tahun 2023. Jumlah volume kesepakatan transaksi juga turun 30 persen menjadi 718 kesepakatan. Faktor yang diduga menjadi penyebab kondisi itu adalah banyak investor memilih perusahaan yang lebih menjanjikan keuntungan di tengah tingginya suku bunga.
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Modal Ventura untuk Start Up Indonesia (Amvesindo) Eddi Danusaputro mengatakan, sampai sekarang, fenomena tech winter masih terjadi sehingga para start up harus menghemat dana yang mereka miliki.
Tech winter adalah kondisi kenaikan biaya modal yang memaksa investor memperketat seleksi investasi mereka guna memaksimalkan pengembalian investasi dan menurunkan risiko. Peningkatan biaya modal disebabkan faktor makroekonomi, seperti perang Rusia-Ukraina yang berdampak pada harga energi dan rantai pasok global. Tech winter terjadi sejak tahun 2022.
Menurut Eddi, sebagai perusahaan privat, dinamika perkembangan start up susah diprediksi. Pekerja yang ingin bekerja di sana perlu memahami kondisi tersebut.
”Lalu, start up memiliki tingkatan perkembangan yang berbeda-beda, seperti tahap pertumbuhan awal, bertumbuh, dan pertumbuhan akhir (late stage). Bekerja di start up semestinya tetap menarik, tetapi harus tahu jenis dan tahapan perkembangan start up yang dituju,” katanya.
Dalam enam tahun terakhir secara global, saat ini merupakan titik terendah penyertaan investasi ke start up.
Direktur Central Capital Ventura (CCV), perusahaan modal ventura entitas anak PT Bank Central Asia Tbk, Adi Prasetyo, menambahkan, ekosistem start up saat ini sedang memasuki fase penuh rintangan yang sejalan dengan minimnya kucuran penanaman modal dari investor. Dalam enam tahun terakhir secara global, saat ini merupakan titik terendah penyertaan investasi ke start up.
”Perusahaan modal ventura sekarang lebih selektif memberikan modal. Mereka juga berharap start up mampu memberikan sejumlah inovasi terbaru. Sepertinya (hingga) semester I-2024, situasi masih seperti itu,” ucapnya.
Lebih jauh, Adi berpendapat, start up di bidang teknologi finansial masih mempunyai peluang untuk bertahan di tengah tech winter. Berbagai peluang yang dia maksud terletak pada layanan konsumer dan pengelolaan keuangan berbasis digital yang dapat mendukung perbankan.