Memoar Orang-orang di Perbatasan dalam Lembaran Rupiah Usang
Rupiah tak hanya menjadi alat tukar. Ia membawa cerita lika-liku kehidupan orang-orang sekaligus jadi simbol kedaulatan.
Sebagai alat tukar yang telah menjadi konsensus bersama selama berabad-abad, uang tak sekadar mengandung nilai intrinsik dan nilai pasar. Ia turut menyusuri lorong-lorong kehidupan manusia. Mulai dari terlipat begitu saja dan gemerencing dalam saku celana hingga tersimpan rapi di balik dompet kulit.
Lembaran-lembaran uang itu layaknya saksi bisu di setiap transaksi. Di wilayah perbatasan, uang telah merekam warna-warni perekonomian masyarakat, seperti mahalnya biaya logistik, selera para pembeli, serta kompetisi harga antara produk domestik dan produk negara tetangga.
Baca juga: Sisi Lain Maratua, Pulau Terpencil yang Menghadap Dua Negara
Berti (64), warga Desa Teluk Harapan, Kecamatan Maratua, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, baru saja menukarkan beberapa lembar uang lusuhnya di balai kecamatan, Senin (26/2/2024). Kabar mengenai layanan penukaran uang layak edar oleh Bank Indonesia (BI) itu didengarnya dari ketua RT setempat.
Total uang yang diserahkan Berti kepada petugas kasir BI sebesar Rp 150.000. Uang tersebut, antara lain, terdiri dari selembar pecahan Rp 50.000, Rp 20.000, Rp 10.000, Rp 5.000, Rp 1.000, dan beberapa pecahan koin Rp 500. Uang-uang lusuh itu terkumpul begitu saja di kantong Berti selama ia berjualan bubur di kantin taman kanak-kanak (TK).
Nenek bercucu tiga itu tetap menerima uang-uang usang karena baginya uang tersebut tetaplah hasil jerih payah usahanya sendiri. Meski hasilnya tak seberapa, penghasilannya itu cukup untuk memenuhi kebutuhan suami dan kedua cucunya sehari-hari.
Namun, belakangan pelanggannya dirasa berkurang setelah Berti menaikkan harga Rp 3.000 per porsi bubur. Hal itu terpaksa ia lakukan lantaran harga beras sebagai bahan utama bubur tengah naik. Meski fenomena melonjaknya harga beras terjadi di sejumlah daerah, harga beras di Maratua masih lebih tinggi, yakni Rp 17.000 per kilogram (kg) dibandingkan rata-rata nasional sebesar Rp 14.300 per kg.
Mereka (pembeli) pada enggak mau terima uang-uang jelek. Jadi, saya kumpulkan dan hasilnya segitu.
Perbedaan harga tersebut disebabkan oleh besaran biaya pengiriman atau biaya logistik ke Pulau Maratua. Masih termasuk dalam gugus pulau Kepulauan Derawan yang berada di Laut Sulawesi, sekaligus berbatasan dengan Sabah di Malaysia sisi timur dan Filipina bagian selatan, Maratua merupakan pulau terluar, terdepan, dan terpencil (3T).
Bergeser 93 kilometer (km) ke arah barat daya dari Maratua, Ryan tengah menenteng tas keresek berisi uang kertas tahun emisi 2022. Ia baru saja menukarkan setumpuk uang sekitar Rp 1,6 juta ke petugas kasir BI saat layanan penukaran uang tengah berada di Kantor Kepala Kampung Talisayan, Kecamatan Talisayan, Kabupaten Berau, Selasa (27/2/2024).
Uang-uang lusuh itu ia kumpulkan selama hampir tiga tahun terakhir dari toko frozen food dan warung sembako milik kakaknya. Menurut Ryan, uang tersebut terkumpul dengan sendirinya seiring penolakan para pembeli terhadap uang kembalian dalam kondisi lusuh.
”Mereka (pembeli) pada enggak mau terima uang-uang jelek. Jadi, saya kumpulkan dan hasilnya segitu,” ujarnya.
Baca juga: Kasih Bunyu Bertepuk Sebelah Tangan
Hal serupa juga dialami oleh Nila. Ia membawa segepok uang senilai Rp 2 juta tatkala mobil layanan penukaran kas BI berhenti di Desa Pancang, Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, Sabtu (24/2/2024). Namun, kedatangan Nila sudah terlampau siang sehingga ia hanya bisa menukarkan sebagian uang yang dibawanya.
Sebagai pemilik toko kelontong, Nila harus senantiasa menyiapkan sejumlah uang pecahan kecil untuk kebutuhan kembalian. Berbeda dengan warung-warung kebanyakan, warung Nila menerima pembayaran dalam bentuk dua mata uang, yakni rupiah dan ringgit Malaysia.
Beberapa warung di Pulau Sebatik pun menjalankan hal demikian karena sebagian pasokan kebutuhan pokok berasal dari negeri jiran, Malaysia. tepatnya kota Tawau. Jika dilihat pada peta, antara Tawau dan Sebatik hanya terpisah perairan sepanjang 8 mil laut atau 12,8 km. Jarak tersebut lebih dekat ketimbang dengan Tarakan yang mencapai 98 km.
”Barang dari Malaysia agak lebih murah ketimbang dari Indonesia. Kami biasanya memesan barang-barang kebutuhan pokok itu secara online, lewat handphone. Nanti, akan dikirim dari sana (Tawau) pakai kapal dan langsung ke lokasi tujuan,” tuturnya.
Baca juga: Sepenggal Romansa di Batas Negara: dari Asmara Muliyati sampai Relasi Rupiah-Ringgit
Beras dari Malaysia dibanderol dengan harga sekitar 27 ringgit 60 sen atau setara Rp 90.000 per 10 kilogram (kg), sedangkan beras Indonesia Rp 130.000 per 10 kg. Selain itu, harga minyak goreng dari Malaysia sekitar Rp 16.000 per liter, sedangkan minyak goreng dalam negeri dijual seharga Rp 20.000 per liter.
Ketiga kisah itu terpotret dalam rangkaian distribusi uang kartal Ekspedisi Rupiah Berdaulat (ERB) 2024 kerja sama antara BI dan TNI Angkatan Laut selama 24-28 Februari 2024. ERB 2024 menjajaki lima wilayah 3T bagian timur serta utara Kalimantan, yakni Pulau Sebatik, Pulau Derawan, Pulau Maratua, Kampung Talisayan, serta Pulau Bunyu.
Dalam rangkaian ERB tersebut, BI memasok uang tunai senilai Rp 8 miliar yang dibawa dengan Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) dr Soeharso 990. Dari lima tempat itu, BI telah menghimpun Rp 5,33 miliar uang tak layak edar dan Rp 2,66 miliar.
Makna sosial
Seperti halnya kata-kata, uang pun memiliki dua makna, yakni makna harfiah dan makna sosial. Makna harfiah dalam uang sama halnya dengan nilai intrinsik uang. Dalam pecahan uang Rp 100.000, misalnya, uang itu memiliki nilai sebagaimana angka yang tertulis di dalamnya.
Sementara itu, makna sosial dalam uang berkaitan dengan nilai pasar. Dalam hal ini, pasarlah yang akan memberikan nilai terhadap uang tersebut di luar kehendak empunya uang. Adakalanya lebih tinggi dari yang tercantum, dan adakalanya pula lebih rendah, bergantung dari proses tawar-menawar. Penilaian atau makna sosial dalam uang tersebur tidak lepas dari faktor sosial, budaya, dan ekonomi.
Pulau Sipadan dan Ligitan itu direbut Malaysia karena di sana tidak ada transaksi menggunakan rupiah.
Di sisi lain, uang juga menjadi simbol kedaulatan sekaligus kehadiran negara di wilayahnya. Sebuah kesalahan fatal ketika mata uang negara tidak mencukupi kebutuhan transaksi masyarakat, terutama di wilayah perbatasan. Hal itu pernah dialami Indonesia tatkala kehilangan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Salah satu musababnya ialah peredaran rupiah yang terbatas.
Deputi Gubernur BI Doni P Joewono mengatakan, seperti halnya TNI, BI juga berperan untuk menjaga kedaulatan negara melalui peredaran rupiah. Bedanya, TNI menggunakan senjata, sedangkan BI menggunakan mata uang.
”Pulau Sipadan dan Ligitan itu direbut Malaysia karena di sana tidak ada transaksi menggunakan rupiah. Oleh sebab itu, kami ingin memulai (ERB) dari Pulau Sebatik mengingat di sana merupakan wilayah perbatasan,” katanya dalam sambutan pembukaan ERB 2024 di atas KRI dr Soeharso 990, Jumat (23/2/2024).
Tak hanya memastikan peredaran rupiah di wilayah perbatasan tetap terjaga, kualitas uang sebagai alat tukar pun diperhatikan. Sebab, sudah menjadi tugas BI untuk memastikan uang yang beredar dalam kondisi layak edar (clean money policy).
Menurut Doni, rupiah bukan sekadar alat tukar. Lebih dari itu, di dalam lembaran atau kepingan mata uang rupiah termuat berbagai kekayaan yang dimiliki Ibu Pertiwi.
”Uang itu berbicara banyak. Ada tokoh pahlawan, ada budaya, ada flora, ada fauna. Tidak ada uang di negara lain selengkap uang kita. Oleh karena itu, kita dihargai bahwa uang itu adalah ambassador dari pariwisata,” imbuhnya.
Kiranya, uang tidak hanya bicara soal nilai suatu barang, penghasilan seseorang, alat pembayaran, atau soal ambisi dalam hidup. Namun, uang turut merekam perjuangan mereka yang hidup pas-pasan, suara mereka yang kesulitan memenuhi kebutuhan pokok, serta tantangan untuk mempertahankan kedaulatan di wilayah perbatasan.