Kasih Bunyu Bertepuk Sebelah Tangan
Meski telah memasok sebagian kebutuhan energi ke wilayah sekitar, Pulau Bunyu masih memiliki masalah mendasar.
Tak terasa, serangkaian acara pembukaan Ekspedisi Rupiah Berdaulat (ERB) 2024 di wilayah terluar, terdepan, dan terpencil (3T) Borneo menjajaki hari terakhir pada Rabu (28/2/2024). Pulau Bunyu menjadi tempat pamungkas dilakukannya layanan penukaran uang layak edar, layanan kesehatan, sosialisasi kedaulatan rupiah, sekaligus penyerahan program sosial.
Sebelumnya, ERB 2024 telah menjajaki wilayah-wilayah 3T di ujung timur dan utara Borneo, yakni Pulau Sebatik, Pulau Derawan, Pulau Maratua, dan Desa Talisayan. Dari pulau yang satu ke pulau yang lain, rombongan ekspedisi yang terdiri dari pegawai Bank Indonesia (BI), Baznas, dan sejumlah awak media menempuh perjalanan di atas Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) dr Soeharso (SHS) 990.
Sebagaimana diketahui, pulau dengan luas sekitar 192 kilometer persegi tersebut menyimpan kekayaan alam berupa tambang mineral, serta minyak gas bumi (migas).
Berbeda dengan pulau-pulau yang dituju sebelumnya, Pulau Bunyu memiliki kekhasan tersendiri. Sesampainya di dermaga, sebuah kapal tanker hitam pengangkut minyak terlihat tengah bersandar. Selain itu, tampak pula deretan pipa putih memanjang dari dalam daratan menuju perairan lepas.
Sebagaimana diketahui, pulau dengan luas sekitar 192 kilometer persegi tersebut menyimpan kekayaan alam berupa tambang mineral, serta minyak dan gas bumi (migas). Perusahaan migas pelat merah pun sudah berkecimpung lama di sana, antara lain PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk.
Tak mengherankan, sebagian warga yang tinggal di Pulau Bunyu diberdayakan sebagai pekerja di perusahaan-perusahaan migas tersebut. Namun, tak sedikit pula warga yang masih bertahan sebagai nelayan pencari ikan, salah satunya Usni (53).
”Di desa ini masih banyak nelayan, bisa sampai 500 nelayan satu pulau. Tapi, masih lebih banyak yang bekerja di tambang sama Pertamina,” ujarnya saat dijumpai di Pulau Bunyu, Rabu (28/2/2024).
Sebagai penduduk asli Bunyu, Usni turut merasakan perubahan dari masa ke masa semenjak adanya kegiatan penambangan dan pengeboran migas. Berbagai aktivitas tersebut berdampak terhadap hasil tangkapan ikannya sehari-sehari. Kini, ia harus melaut sedikit lebih jauh agar bisa mendapatkan ikan.
Beras (medium) dijual Rp 15.000-Rp 17.000 per kg, minyak goreng juga lebih kurang sama. Bahkan, minyak goreng sampai Rp 22.000 per liter.
Di sisi lain, Usni tidak memungkiri bahwa kehadiran perusahaan-perusahaan tersebut juga telah menggerakkan roda perekonomian di Bunyu. Warung-warung dan tempat-tempat usaha masyarakat terus bertumbuh seiring munculnya kebutuhan dari para pekerja perusahaan.
Kendati demikian, harga kebutuhan pokok, terutama beras, masih tergolong mahal. Harga beras premium di warung-warung swalayan telah menyentuh Rp 18.000-Rp 19.000 per kilogram (kg). Agus (48), pemilik warung sembako, mengatakan, harga barang kebutuhan pokok di Bunyu tergolong mahal akibat ongkos kirim dari Tarakan.
”Beras (medium) dijual Rp 15.000-Rp 17.000 per kilogram, minyak goreng juga lebih kurang sama. Bahkan, minyak goreng sampai Rp 22.000 per liter. Kalau telur Rp 2.500 per butir dan di sini dijual tidak pakai ukuran kiloan, tetapi per 30 butir,” ujarnya.
Mahalnya kebutuhan pokok tersebut turut berimbas terhadap pengeluaran mereka yang tengah mencari peruntungan di tanah perantauan. Ruly (43), sopir di salah satu perusahaan tambang, mengatakan, dibandingkan di Pulau Jawa, biaya untuk makan sehari-hari di Pulau Bunyu lebih mahal.
Untuk sekali makan saja, Ruly harus merogoh kocek Rp 25.000-Rp 30.000. Oleh sebab itu, Ruly memiliki siasat tersendiri untuk menambah pundi-pundi penghasilannya sehingga ia tetap dapat mengirim uang kepada keluarganya di kampung.
”Kalau di Jawa Rp 10.000 sudah bisa dapat makan kenyang, di sini bisa dua sampai tiga kali lipatnya. Makanya, saya sering ambil lembur buat tambah penghasilan. Kalau tidak begitu, tidak ada uang yang dikirim. Di sini upah minimum regional (UMR)-nya hanya Rp 3,2 juta per bulan,” ujarnya.
Ruly memiliki siasat tersendiri untuk menambah pundi-pundi penghasilannya sehingga ia tetap dapat mengirim uang kepada keluarganya di kampung.
Baca juga: Sisi Lain Maratua, Pulau Terpencil yang Menghadap Dua Negara
Air masih sulit
Melansir laman resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sejak akhir Desember 2012, Pulau Bunyu menjadi pulau pertama di Indonesia yang 100 persen penduduknya mendapatkan layanan listrik. Listrik tersebut didapat dari pembangkit listrik tenaga mesin gas (PLTMG) berkapasitas 2 x 1.000 kilowatt yang mulai beroperasi pada Oktober 2012.
Meski demikian, terdapat beberapa kendala yang dialami warga Bunyu. Selain harga kebutuhan pokok yang mahal, sejumlah wilayah di sana masih kesulitan mendapatkan air bersih, salah satunya Desa Bunyu Selatan. Sebagai informasi, terdapat tiga desa di Bunyu, yakni Desa Bunyu Selatan, Desa Bunyu Barat, dan Desa Bunyu Timur.
Kepala Desa Bunyu Selatan Alios Lanta mengatakan, kebutuhan listrik warganya memang telah terjamin sejak adanya aktivitas pengeboran sumur-sumur gas. Namun, sebagian warganya masih kesulitan mendapatkan air bersih.
”Air masih susah, terutama di Desa Bunyu Selatan daerah pegunungan, susah airnya. Masyarakat terpaksa pakai air hujan, kalau tidak beli di bawah, harganya Rp 70.000 per tangki (2.200 liter),” tuturnya.
Selain harga kebutuhan pokok yang mahal, sejumlah wilayah di sana masih kesulitan mendapatkan air bersih, salah satunya Desa Bunyu Selatan.
Selain itu, jalan di beberapa wilayah pun tergolong kurang memadai. Menurut dia, hanya jalan-jalan menuju perusahaan tambang dan migas yang sudah teraspal mulus.
Terkait dengan harga kebutuhan pokok yang masih mahal, Alios membenarkan hal itu. Hal ini terjadi lantaran sebagian besar kebutuhan pokok tersebut berasal dari Surabaya yang dikirim ke Pulau Tarakan dan baru didistribusikan kembali ke Pulau Bunyu.
Kepala Seksi Sosial Ekonomi dan Kesejahteraan Rakyat Kecamatan Bunyu Yuli Hayati menambahkan, sebagian besar perekonomian di Pulau Bunyu digerakkan oleh aktivitas pengeboran migas. Meski demikian, ada beberapa masalah mendasar yang masih dihadapi masyarakat Bunyu, yakni ketersediaan air bersih, akses jalan, dan mahalnya harga kebutuhan pokok.
”Masyarakat yang tinggal di bagian atas mau tidak mau pakai air bor, kalau enggak, air hujan saja. Kalau tidak punya air bor, mereka mengharap air hujan. Kalau enggak hujan, ya sudah, beli air bor. Kita ini sudah maju, tapi air ini susah,” ujarnya.
Di balik berbagai masalah mendasar yang dialami masyarakat Bunyu, pulau yang kaya akan migas tersebut diharapkan dapat menopang kebutuhan energi nasional. Pejabat Sementara Manajer PT Pertamina EP (PEP) Bunyu Field Rizki Wahyudi menyampaikan, selaku bagian dari Regional Kalimantan Subholding Upstream Pertamina, pihaknya akan memulai pengeboran sumur migas B-2113 di Desa Bunyu Selatan.
Menurut dia, peningkatan produksi migas sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan energi Indonesia. Sebab, aktivitas migas akan berdampak positif terhadap kegiatan perekonomian masyarakat, khususnya di wilayah Bunyu dan sekitarnya.
”Kita semua berharap pengeboran dapat berjalan selamat, lancar, dan efektif untuk mendukung pencapaian target produksi migas nasional sebesar 1 juta barel minyak per hari dan gas 12 miliar kaki kubik per hari (BSCFD) di tahun 2030,” katanya dalam keterangan resmi, Jumat (1/3/2024).
Apa yang diberikan oleh Bunyu kiranya hanya akan menjadi cinta yang bertepuk sebelah tangan jika kebutuhan mendasar, seperti air bersih, saja masih sulit, harga kebutuhan pokok masih melambung tinggi, dan akses jalan tak memadai. Kiranya, kasih Bunyu akan berbalas manis apabila masalah itu terselesaikan dan kesejahteraan masyarakat terjamin.
Baca juga: Secuil Ilmu Iklhas dari Nelayan Talisayan