Memahami Duduk Perkara Subsidi Mobil Listrik
Semua aturan itu memiliki semangat sama, mendorong populasi dan pengembangan industri mobil listrik berbasis baterai.
Pemerintah gencar memberikan subsidi mobil listrik akhir-akhir ini. Ini tecermin dari munculnya berbagai peraturan tentang hal itu, mulai dari peraturan presiden hingga peraturan menteri. Seperti apa sebenarnya subsidi mobil listrik yang diberikan? Kenapa demikian?
Dalam kacamata ekonomi makro, Indonesia berkepentingan mengakselerasi lebih kencang lagi laju pertumbuhan ekonomi agar mencapai 6-7 persen per tahun. Indonesia perlu lepas dari rata-rata pertumbuhan ekonomi 4-5 persen yang mendera selama satu dekade terakhir agar bisa mewujudkan cita-cita Indonesia menjadi negara maju pada 2045 saat republik ini berusia 100 tahun.
Salah satu dari sekian banyak cara adalah mendorong hilirisasi sumber daya mineral, yakni nikel, kobalt, dan bauksit. Mineral ini bisa diolah menjadi bahan baku baterai yang bisa diserap oleh rantai pasok global industri kendaraan listrik. Dengan demikian, mineral ini diolah sehingga bisa memberikan nilai tambah ketimbang dijual secara mentah. Apalagi Indonesia diketahui memiliki cadangan nikel terbesar di dunia.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2020 dalam booklet bertajuk ”Peluang Investasi Nikel Indonesia”, Indonesia disebut memiliki cadangan nikel sebesar 72 juta ton. Jumlah ini merupakan 52 persen dari total cadangan nikel dunia yang mencapai 139,41 juta ton.
Di saat yang bersamaan, dunia juga tengah memasuki tren untuk meningkatkan transisi energi. Masyarakat dunia pun bergerak meninggalkan kendaraan berbahan bakar minyak menuju kendaraan listrik. Berbagai aktivitas yang menggunakan energi fosil, yang tidak terbarukan, mulai ditinggalkan. Salah satunya adalah aspek transportasi.
Melihat kekayaan mineral Indonesia yang dibarengi dengan tren dunia menuju kendaraan listrik itu, peluang Indonesia untuk bisa terlibat dalam rantai pasok global membesar.
Di sisi lain, Indonesia juga punya komitmen dalam melakukan transisi energi. Dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP26) tahun 2021 di Glasgow, Skotlandia, Indonesia menargetkan capaian net zero emission (NZE) pada 2060.
Untuk mencapai NZE, jalan yang dilakukan salah satunya adalah mendorong pengembangan energi berbasis listrik. Data Menkomarves menunjukkan, setiap tahun, rasio produksi bahan bakar minyak (BBM) terhadap kebutuhan dalam negeri mencapai47 persen, artinya Indonesia masih harus impor. Di saat yang sama, ada subsidi BBM yang membebani APBN hingga Rp 530,24 triliun.
Dengan kata lain, selama ini Indonesia telah menyubsidi ratusan triliun untuk menciptakan emisi gas buang dan polusi. Selain membebani APBN, subsidi itu kontraproduktif juga dengan komitmen mencapai NZE. Maka, perlu transisi energi ke arah yang lebih bersih.
Berbagai insentif
Berbagai data dan alasan tersebut membuat pemerintah gencar mendorong populasi dan pengembangan industri kendaraan listrik.
Inisiatif pertama adalah terbitnya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Namun, hingga empat tahun berselang, perpres itu belum ampuh mendorong berkembangnya populasi mobil listrik dan pengembangan industri ini.
Ini tecermin dari data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) yang menyebutkan pada 2023, penjualan mobil listrik berbasis baterai hanya 17.038 unit atau 1,69 persen dari total penjualan mobil nasional.
Setelah perpres pertama, pada Desember 2023, pemerintah resmi merilis Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2023 tentang Perubahan Perpres No 55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB).
Penjualan mobil listrik berbasis baterai hanya 17.038 unit atau 1,69 persen dari total penjualan mobil nasional.
Setelah keluarnya aturan yang jadi payung hukum secara makro itu, terbit pula aturan turunannya, seperti peraturan menteri keuangan, peraturan menteri perindustrian, dan peraturan menteri investasi.
Semua aturan itu memiliki semangat yang sama, yakni mendorong populasi dan pengembangan industri mobil listrik berbasis baterai. Adapun caranya adalah memberikan berbagai insentif fiskal agar bisa merangsang para produsen mobil listrik dunia berinvestasi di Indonesia.
Baca juga: Kendaraan Listrik
Perusahaan mobil listrik yang berencana mengimpor mobil listrik baterai dalam keadaan utuh (completely build up/CBU) akan memperoleh keringanan berupa pembebasan bea masuk (BM) impor sepenuhnya jadi nol persen, sebelumnya 50 persen.
Selain itu, pajak atas penjualan barang mewah (PPnBM) yang sebelumnya sebesar 15 persen akan ditanggung pemerintah sehingga jadi nol persen. Namun, karena posisinya masih impor CBU dan belum merakit di Indonesia, mereka tetap dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11 persen.
Begitupula dengan impor mobil listrik baterai dalam keadaan komponen (completely knocked down/CKD) akan mendapatkan pembebasan BM yang sebelumnya 10 persen jadi nol persen. Pajak PPnBM yang sebelumnya 15 persen ditanggung pemerintah jadi nol persen.
Karena sudah merakit di dalam negeri dalam bentuk CKD, perusahaan mobil listrik sudah memiliki tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Maka, perusahaan memperoleh keringanan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sehingga hanya perlu membayar PPN sebesar 1 persen dari sebelumnya 11 persen.
Aturan insentif fiskal impor kendaraan listrik ini akan berlaku hingga akhir 2025. Insentif fiskal impor ini juga akan diikuti aturan apa yang disebut ”utang mobil” atau utang untuk merakit kendaraan listrik di dalam negeri hingga 2027.
Misalkan, pemilik merek mobil listrik saat ini akan mengimpor 1.000 mobil listrik sampai 2025, dia bisa menikmati insentif keringanan pajak untuk 1.000 unit. Perjanjian itu akan dikunci dalam sebuah bank garansi.
Lewat dari 2025, mereka diharuskan merakit kendaraan sebanyak ”utang” mereka, yakni 1.000 unit, hingga akhir 2027. Seandainya sampai akhir 2027 mereka baru merakit 900 unit, mereka wajib membayar bank garansi atau mengembalikan insentif pajak yang mereka peroleh selama ini yang setara dengan sisa 100 unit mobil tersebut.
Harga mobil
Dengan berbagai insentif ini, harga mobil listrik, secara teoritis bakal segera turun. Namun, pelaku industri kendaraan listrik mengatakan, penyebab penjualan mobil listrik di Indonesia belum melaju pesat adalah karena harganya yang masih terlampau mahal. Harganya masih di atas Rp 700 juta per unit. Memang ada juga harga mobil listrik baterai yang harganya Rp 190 juta, tetapi desain dan ukurannya dinilai terlalu kecil.
Pasar mobil di Indonesia yang gemuk adalah mobil yang punya muatan banyak dengan harga tidak lebih dari Rp 300 juta. Pelaku industri otomotif menilai, bila sudah ada mobil listrik yang memenuhi kriteria itu, penjualannya pun akan lebih cepat laku.
Dorongan pelaku mobil listrik itu untuk merakit di Indonesia akan membuat unsur TKDN memenuhi sehingga harga mobil bisa lebih terjangkau dan berbagai model bisa diproduksi di dalam negeri.
Dengan demikian, harapannya, tak sekadar harga mobil bakal turun, tetapi juga ada serapan tenaga kerja dan alih teknologi dari praktik perakitan mobil ini.
Walaupun demikian, subsidi kendaraan listrik ini juga sama halnya dengan menyubsidi orang kaya. Pemilik mobil listrik hampir pasti konsumen menengah ke atas yang sudah punya mobil bensin sebelumnya.
Ada pula sebagian pihak yang beranggapan, sebaiknya subsidi ini diarahkan untuk pembangunan transportasi umum berbasis listrik karena lebih bisa dinikmati publik ketimbang menyubsidi orang kaya yang ingin beralih dari mobil bensin. Apalagi di kota-kota luar Jabodetabek, transportasi publiknya masih minim.
Baca juga: Dorong Investasi, Pemerintah Keluarkan Insentif Baru Kendaraan Listrik