Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024 tentang hak penerbit menyisakan multitafsir di antara para pemangku kepentingan.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Komunikasi dan Informatika menekankan bahwa semua platform digital yang mendistribusikan ataupun mengomersialkan konten berita tunduk pada Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas atau juga disebut Perpres ”Publisher Rights”.
”Sepanjang suatu platform digital mendistribusikan ataupun mengomersialisasikan konten berita dengan bentuk teknologi apa pun, platform digital bersangkutan tidak dikecualikan dari perpres. Yang dikecualikan itu misalnya platform gim karena tidak mendistribusikan ataupun mengomersialisasikan konten berita,” kata Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Usman Kansong dalam sesi Ngopi Bareng Kominfo, Jumat (1/3/2024), di Jakarta.
”Sebelumnya, sehari setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan Perpres No 32 Tahun 2024, Meta mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya yakin tidak akan diwajibkan untuk membayar konten berita yang diunggah oleh para penerbit berita secara sukarela ke platform-platform di bawah Meta, seperti Facebook dan Instagram.
Laporan NERA Economic Consulting menunjukkan, secara global lebih dari 90 persen penayangan organik pada tautan artikel dari penerbit berita merupakan tautan yang diunggah sendiri oleh penerbit. NERA Economic Consulting merupakan lembaga yang disewa Meta untuk melakukan penelitian.
Soal klaim
Penegasan pemerintah yang disampaikan oleh Usman merujuk ke pernyataan Meta yang dikutip oleh media nasional. Usman juga menjelaskan agar jangan sampai terjadi klaim rugi atau untung secara sepihak baik dari sisi perusahaan pers selaku penerbit berita maupun platform digital.
”Maksud saya, jangan sampai ada suatu penerbit berita memasukkan konten berita ke suatu platform digital, lalu tiba-tiba klaim ke platform digital tempatnya mengunggah konten. Atau sebaliknya, ada suatu platform digital mengambil konten berita dari suatu media tanpa memberikan klaim kompensasi ke media yang konten beritanya diambil,” katanya.
Jangan sampai terjadi klaim rugi atau untung secara sepihak baik dari sisi perusahaan pers selaku penerbit berita maupun platform digital.
Lebih jauh, Usman mengatakan, apabila terjadi sengketa selama proses kerja sama antara platform digital dan perusahaan pers, pasal 8 Perpres Nomor 32 Tahun 2024 menyatakan bahwa tiap-tiap pihak dapat mengajukan upaya hukum di luar peradilan umum dalam bentuk arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.
Selain itu, ada komite yang bertugas memastikan pemenuhan kewajiban perusahaan platform digital dan memfasilitasi penyelesaian sengketa.
Tanpa sanksi
Ketika ditanya mengenai penegakkan hukum bagi platform digital yang tidak mau menunaikan kewajiban kerja sama dengan perusahaan pers penerbit berita, Usman hanya menjawab bahwa peraturan setingkat perpres apa pun memang tidak akan memuat sanksi atau denda.
Meski demikian, pemerintah percaya platform digital akan mau mengikuti amanat Perpres Nomor 32 Tahun 2024 karena mendistribusikan konten berita telah menjadi bagian dari keuntungan pendapatan mereka.
”Sebelum Perpres Nomor 32 Tahun 2024 terbit, kami menemukan ada suatu platform digital telah bekerja sama dengan enam perusahaan pers penerbit berita. Kalau itu, sifatnya sukarela,” ucapnya.
Terkait komite yang bertugas memastikan pemenuhan kewajiban platform digital dan memfasilitasi penyelesaian sengketa, Usman menambahkan, jumlah anggota maksimal mencapai 11 orang. Dengan kata lain, jumlah anggota di bawah 11 masih dibolehkan. Sejauh ini, pihak Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan sudah membahas siapa pakar yang akan duduk sebagai anggota.
Kelemahan
Secara terpisah, peneliti di Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), Engelbertus Wendratama, berpendapat, Perpres Nomor 32 Tahun 2024 mengandung beberapa kekurangan. Sebagai contoh, perpres itu tidak secara eksplisit menyebut nama platform digital yang disasar sebagai platform yang mendistribusikan ataupun mengomersialisasikan konten berita. Perpres yang sama juga tidak secara eksplisit dan langsung menyebutkan kewajiban bagi hasil antara platform digital — penerbit berita.
Pasal 5 Perpres Nomor 32 Tahun 2024 berbunyi, perusahaan platform digital wajib mendukung jurnalisme berkualitas dengan enam hal. Salah satunya adalah wajib bekerja sama dengan penerbit berita. Kemudian, Pasal 7 Ayat (2) Perpres Nomor 32 Tahun 2024 hanya merinci empat bentuk kerja sama, yaitu lisensi berbayar, bagi hasil, berbagi data pengguna agregat berita, dan bentuk lainnya yang disepakati.
”Jika bunyi pasal 7 ayat (2) begitu, kami menganggapnya tidak ada kejelasan apakah skema bagi hasil merupakan bentuk kerja sama yang diwajibkan atau hanya opsi yang boleh diambil oleh platform digital,” ujar Engelbertus.
Dosen Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara, Ignatius Haryanto, memiliki pandangan berbeda. Menurut dia, Perpres Nomor 32 Tahun 2024 sudah cukup untuk mengatur kepentingan Google, Meta, dan platform digital lainnya. ”Tinggal bagaimana pelaksanaan isi perpres itu bisa adil. Lalu, komite yang diamanatkan dalam Perpres Nomor 32 Tahun 2024 dapat segera berjalan,” ucap Haryanto.