Kenaikan Inflasi dan Penurunan Indeks Manufaktur Lemahkan IHSG
Kenaikan inflasi dan rendahnya pertumbuhan manufaktur menjadi sentimen negatif untuk Indeks Harga Saham Gabungan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Laporan ekonomi Indonesia mutakhir yang dirilis pada awal Maret 2024 menjadi sentimen negatif bagi pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan. Laporan yang dimaksud adalah meningkatnya inflasi dan turunnya indeks manufaktur Indonesia pada Februari 2024.
Pada sesi pertama perdagangan Jumat (1/3/2024), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 44 poin atau 0,61 persen ke level 7.271, dari level pada penutupan perdagangan hari sebelumnya. Phintraco Securitas dalam laporan tertulisnya menyebut merahnya IHSG dipicu respons negatif pasar terhadap rilis data inflasi Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan, inflasi nasional pada Februari 2024 naik menjadi 0,37 persen secara bulanan dari 0,4 persen pada bulan sebelumnya. Secara tahunan, tingkat inflasi sebesar 2,75 persen, naik dari 2,57 persen di Januari 2024. Penyumbang terbesar kenaikan ini adalah inflasi beras yang mencapai 0,21 persen.
Laporan ini diprediksi membuat IHSG melanjutkan pelemahan hingga penutupan perdagangan pada pekan ini. "Secara teknikal, terdapat sinyal yang menunjukkan potensi pelemahan pada perdagangan kedua hari ini," kata analis Phintraco Securitas.
Selain data inflasi, Pilarmas Investindo Sekuritas juga menyebutkan, landainya kinerja manufaktur pada Februari 2024. Data Indeks Manajer Pembelian atau Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global hari ini menunjukkan indeks manufaktur di posisi 52,7 atau lebih rendah dari sebelumnya di level 52,9.
Laporan itu menyebut, aktivitas manufaktur menurun seiring lemahnya permintaan, terutama dari luar negeri. Namun, dua tahun terakhir, indeks PMI Manufaktur Indonesia berada di atas 50, setelah melemah karena kondisi pandemi Covid-19. Indeks di atas 50 menunjukkan manufaktur Indonesia dalam fase ekspansif, berlawanan dengan fase kontraksi di bawah 50.
Aktivitas manufaktur menurun seiring lemahnya permintaan, terutama dari luar negeri.
"Namun demikian pasar juga masih khawatir dengan kondisi manufaktur Tiongkok yang tetap berada di zona kontraksi sehingga dikhawatirkan akan berimbas pada manufaktur iIndonesia mengingat Tiongkok merupakan salah satu negara partner perdagangan Indonesia," sebut Pilarmas Investindo Sekuritas.
Kinerja Negeri Tirai Bambu jadi perhatian dengan PMI manufaktur Tiongkok yang masih menunjukkan level kontraksi di 49,1 poin. Ini menunjukkan belum adanya pemulihan yang berarti pada sektor manufaktur Tiongkok, sebagai penggerak perekonomian negara-negara partner dagangnya.
Pertumbuhan manufaktur atau industri pengolahan di Indonesia yang melambat dan di bawah pertumbuhan ekonomi nasional menjadi sinyal negatif, beberapa tahun terakhir. Situasi ini menjadi salah satu faktor yang membuat masyarakat kelas ekonomi menengah sulit naik level.
Data BPS menunjukkan, pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) manufaktur mencapai 4,64 persen secara tahunan pada 2023, lebih rendah dari pertumbuhan PDB riil pada periode sama sebesar 5,05 persen secara tahunan. Kinerja ini membuat industri pengolahan mempunyai andil 0,95 persen atau 18 persen terhadap angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023.
Namun, jika dilihat trennya beberapa tahun ke belakang, pertumbuhan PDB manufaktur tidak mengalami kenaikan signifikan. Setelah mencatatkan minus 2,93 persen pada 2020, pertumbuhan PDB manufaktur berangsur-angsur kembali tumbuh positif, 3,39 persen pada 2021 dan 4,89 persen pada 2022.
Pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) manufaktur mencapai 4,64 persen secara tahunan pada 2023, lebih rendah dari pertumbuhan PDB riil pada periode sama sebesar 5,05 persen secara tahunan.
Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Adlina, dalam catatannya, Kamis (29/2024), berpendapat, pertumbuhan industri padat karya harus lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi agar peluang kerja formal dapat dimanfaatkan oleh kelas menengah. "Dengan bekerja secara formal, kelas menengah memperoleh pendapatan lebih tinggi dan terlindungi oleh jaminan sosial," ujarnya.
Pertumbuhan ini, menurut Adlina, harus diikuti dengan pengendalian produk impor yang membanjiri pasar. Variabel lain yang penting adalah ekspansi produk manufaktur ekspor dengan meningkatkan efisiensi ekosistem bisnis dalam negeri yang masih rawan korupsi dan kolusi.
Selain meningkatkan pertumbuhan manufaktur, upaya mengangkat kelas menengah juga bisa diupayakan dengan mendorong Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) ke pasar ekspor.
"Pertumbuhan sektor industri manufaktur yang lebih lambat dibandingkan pertumbuhan ekonomi, membuatkan industri padat karya runtuh sehingga penyerapan tenaga kerja di sektor formal menurun. Pengembangan UMKM bisa jadi satu solusi," kata Adlina.
Masukan ini mendukung temuan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas terbaru yang menunjukkan, kelas menengah berada dalam posisi rentan. Kesimpulan ini didapat dari pengolahan data mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012–2021.
Ditemukan, ada kesenjangan sisa gaji per bulan antara kelas menengah dan kelas kaya usia produktif (15–64 tahun) pada tahun 2021. Sisa gaji warga kelas atas Rp 1,59 juta per orang per bulan nilainya setara dengan 3,64 kali lebih besar dari warga kelas menengah.
Dengan rata-rata sisa gaji kelas menengah pada 2021 senilai Rp 435.888 per bulan, tidak banyak uang yang bisa ditabung dan diinvestasikan. Kondisi ini menyulitkan kelas menengah yang jumlahnya 38,5 juta jiwa (20,7 persen dari penduduk Indonesia) naik kelas menjadi orang kaya.