Janji Pengentasan Kemiskinan Masih Jauh Panggang dari Api
Selama intervensi kebijakan masih bersifat konsumtif belaka, angka kemiskinan tidak akan bisa turun signifikan.
Begitu pemilihan umum usai, bukan hanya janji kandidat calon presiden dan wakil presiden yang mulai ditagih publik. Janji presiden petahana yang dalam waktu tujuh bulan akan resmi melepas jabatan pun ikut jadi sorotan.
Salah satu janji Presiden Joko Widodo yang saat ini masih ”jauh panggang dari api” adalah menurunkan angka kemiskinan sampai 7,5 persen pada 2024 di akhir masa jabatannya. Target itu masih jauh dari angka kemiskinan nasional yang menurut data terbaru Badan Pusat Statistik per Maret 2023 masih bertengger di 9,36 persen atau 25,9 juta orang dari total populasi.
Pemerintahan Jokowi juga sempat memasang target ambisius lain untuk menghilangkan kemiskinan ekstrem menjadi nol persen atau setidaknya mendekati nol persen pada 2024. Meskipun angka kemiskinan ekstrem saat ini sudah semakin rendah, yakni 1,12 persen dari total populasi (6 juta orang), cukup sulit untuk menjadikannya nol persen hanya dalam sisa waktu tujuh bulan.
Padahal, anggaran perlindungan sosial di masa pemerintahan Jokowi meningkat signifikan. Selama sembilan tahun kepemimpinan Jokowi, berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, anggaran perlindungan sosial 2014-2023 nyaris Rp 4.000 triliun atau lebih tepatnya Rp 3.663,4 triliun.
Di periode kedua pemerintahan Jokowi, anggaran perlindungan sosial secara berturut-turut adalah Rp 308,4 triliun (2019), Rp 498 triliun (2020), Rp 468,2 triliun (2021), Rp 460,6 triliun (2022), Rp 439,5 triliun (2023), dan naik signifikan lagi sebesar Rp 496,8 triliun pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.
Namun, anggaran yang jumbo itu sejauh ini tidak bisa menurunkan angka kemiskinan sesuai target sasaran pembangunan di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Sebagai perbandingan, dalam periode 2019-2022, anggaran perlindungan sosial mengalami pertumbuhan rata-rata 12,1 persen per tahun.
Sementara, akibat pandemi Covid-19, angka kemiskinan naik dari 9,22 persen pada September 2019 menjadi 10,19 persen pada September 2020 dan hanya turun menjadi 9,71 persen pada September 2021 kemudian turun 1,46 persen menjadi 9,57 persen pada September 2022.
Kita butuh solusi lain yang lebih signifikan menekan kemiskinan, bukan sekadar bansos.
Tidak cukup bansos
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan, ada atau tidaknya pandemi, pada kenyataannya, angka kemiskinan selama ini tidak bisa turun signifikan. Pada periode 2012-2023, angka kemiskinan nasional hanya mampu turun 2,3 persen.
”Ada atau tidak pandemi, kemiskinan tetap di 9-10 persen. Itu tandanya intervensi kebijakan seperti melalui bantuan sosial (bansos) saja tidak bisa jadi solusi jangka panjang untuk mengurangi kemiskinan. Kita butuh solusi lain yang lebih signifikan menekan kemiskinan, bukan sekadar bansos,” katanya, Jumat (1/3/2024).
Terlebih, besaran bansos yang hanya Rp 200.000 sampai Rp 600.000 per bulan tidak akan cukup untuk mengangkat masyarakat miskin untuk naik kelas ke atas garis kemiskinan. Belum lagi perseoalan pendataan yang belum memadai sehingga masih banyak ditemukan exclusion error (orang miskin yang tidak masuk dalam data penerima bantuan) dan inclusion error (orang mampu yang justru masuk ke dalam data penerima bantuan).
”Di negara lain, bantuan itu bahkan sampai sebesar upah minimum agar living cost bisa terpenuhi dan masyarakat bisa menabung atau bikin usaha. Kita hanya Rp 200.000 untuk sangat sedikit bisa menutupi living cost. Di sisi lain, kemampuan fiskal kita juga tidak mungkin bisa sampai sebesar itu,” papar Esther.
Baca juga: Menanti Pemerintah Buka-bukaan Data Kemiskinan yang Sebenarnya
Alih-alih sekadar bansos yang sifatnya konsumtif, kebijakan intervensi untuk pengentasan warga dari kemiskinan semestinya juga bersifat produktif. Perlu ada kebijakan nasional yang sifatnya komprehensif dan terkoordinasi, lengkap dengan dukungan anggaran yang kuat, untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia (SDM).
Menurut Esther, secara teoretis, jika ingin kesejahteraan masyarakat tumbuh dan pertumbuhan ekonomi berkualitas, SDM harus ditingkatkan kualitasnya. Mereka mesti dibekali modal serta kemampuan untuk menguasai teknologi dan meningkatkan kapasitas diri agar bisa terserap di pasar kerja.
Ia menyayangkan fokus kebijakan politik anggaran pemerintah yang belum cukup akomodatif untuk mengatasi hal tersebut. Upaya pembangunan kualitas SDM masih cenderung berupa jargon yang belum diiringi peta jalan kebijakan yang komprehensif. Kebijakan masih lebih fokus pada anggaran konsumtif, seperti bansos.
Pemerintahan berikutnya, seperti tampak dari program unggulan pasangan calon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang saat ini unggul di berbagai hasil hitung cepat, justru berpotensi mengalokasikan anggaran besar untuk program konsumtif baru, seperti makan siang gratis.
Program penanggulangan kemiskinan ke depan perlu bersifat lebih fleksibel.
Meski perbaikan gizi masyarakat dibutuhkan, program tersebut dinilai masih problematik dari segi mekanisme penyaluran, kecukupan anggaran, serta potensi dampak penggandanya (multiplier effect) ke masyarakat.
”Kalau masyarakat kita tidak dipintarkan, hanya terus diberi bantuan sosial yang tidak seberapa, mereka tidak akan bisa naik kelas. Angka kemiskinan, ya, akan tetap begini-begini saja. Kalaupun turun, hanya di kisaran 1 persen, tidak signifikan. Untuk menutupi biaya hidup sehari-hari pun bansos hanya bisa meng-cover beberapa waktu saja,” tuturnya.
Pendekatan fleksibel
Senada, peneliti utama di The SMERU Research Institute, Asep Suryahadi, mengatakan, dengan angka kemiskinan yang sudah relatif rendah, upaya menurunkan angka kemiskinan memang tidak bisa lagi hanya bergantung pada bansos. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan mendatang jika ingin signifikan menurunkan angka kemiskinan.
Bansos, ujarnya, tetap dibutuhkan, tetapi hanya efektif untuk menopang kebutuhan hidup masyarakat miskin di saat krisis, seperti pandemi, serta bersifat sementara. Bansos juga efektif ketika angka kemiskinan masih di level yang cukup tinggi.
Untuk Indonesia yang saat ini sudah naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah ke atas, intervensi yang dibutuhkan perlu bersifat lebih produktif dan jangka panjang. Perlindungan sosial tentu tetap dibutuhkan, tetapi perlu pendekatan yang lebih bersifat tailor made atau disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan masing-masing rumah tangga miskin.
”Untuk ini, diperlukan peranan yang lebih besar dari fasilitator program penanggulangan kemiskinan untuk melakukan diagnostik dan menyusun program bantuan yang sesuai untuk masing-masing rumah tangga miskin itu. Artinya, program penanggulangan kemiskinan ke depan perlu bersifat lebih fleksibel,” tutur Asep.
Baca juga: Mitos Kuda dan Burung Gereja