Sebagai sumber penghidupan bagi nelayan, laut memberikan hasil yang tak menentu.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·4 menit baca
Fajar pagi masih berupaya membuka mata diiringi sederet awan yang seakan menghalangi sinarnya. Tak terasa, perjalanan Ekspedisi Rupiah Berdaulat 2024 di ujung timur dan utara Borneo telah memasuki hari keempat. Kali ini, tim ekspedisi menjajaki Desa Talisayan, Kecamatan Talisayan, Kabupaten Berau, Kalimatan Timur, Selasa (27/2/2024).
Rombongan ekspedisi yang terdiri dari Bank Indonesia (BI), TNI Angkatan Laut, Baznas, bersama dengan empat wartawan dari tiga media nasional telah berkumpul di tank deck atau geladak paling bawah Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) dr Soeharso (SHS) 990 untuk bersiap meluncur ke Talisayan. Demi keselamatan, perjalanan hari itu dimulai lebih dini mengingat perairan menuju Talisayan diperkirakan surut lebih cepat sehingga KRI SHS 990 tak bisa berlama-lama di situ.
Pada perjalanan kali ini, rombongan diangkut KRI SHS 990 menuju Talisayan dengan menggunakan kapal nelayan. Sekitar 15 menit perjalanan, air laut yang sebelumnya biru kehijauan telah berganti keruh kecoklatan.
Kini tak ada lagi hamparan pasir putih yang sebelumnya tampak menyambut rombongan di Pulau Derawan dan Pulau Maratua. Pemandangan tersebut berganti menjadi deretan rumah-rumah kayu berdiri kokoh di atas perairan dengan beberapa kapal pencari ikan yang bersandar.
Tak jauh dari situ, ikan tangkapan nelayan berjajar di atas meja. Lalat silih berganti hinggap dari ikan satu ke ikan lain.
Di tengah hiruk-pikuk transaksi jual-beli, petugas kasir datang menghampiri pedagang ikan di pasar tersebut. Sembari membawa peti perak berisi uang layak edar emisi tahun 2022, petugas kasir itu menawarkan layanan penukaran uang layak edar.
Tawaran tersebut disambut dengan baik oleh salah seorang pedagang. Wajar, sebab sejumlah uang yang ia terima dari pembeli tampak telah lusuh. Pedagang itu pun segera menukarkan uangnya menjadi uang emisi tahun 2022 dalam kondisi layak edar.
Di tengah penukaran uang oleh para pedagang ikan, Agus (54), nelayan setempat, baru saja kembali ke dermaga. Dengan langkah sedikit lunglai, ia memanggul ikan tangkapannya di atas bahu sembari menenteng ikan berbentuk memanjang, Alu-alu namanya.
”Ikan ini (alu-alu) sudah mati. Jadi, harganya lebih murah. Mau bagaimana lagi, yang penting bisa dijual,” katanya sembari berjalan menuju pasar ikan.
Setibanya di lapak salah seorang pedagang, Agus menimbang ikan hasil melaut itu, antara lain alu-alu, oteh, dan kepiting. Dengan berat keseluruhan 37 kilogram, lelaki asal Kota Baru, Kalimantan Selatan, itu mendapatkan Rp 221.000.
Hasil tersebut didapat setelah menebar jala selama semalaman di perairan yang berjarak sekitar 2 kilometer dari rumahnya. Dalam satu minggu, Agus hanya melaut 3-4 kali atau dua hari sekali.
Setiap kali melaut, lelaki yang tinggal bersama istri dan dua anaknya itu mendapatkan hasil tak menentu. Terkadang 20 kilogram (kg), kadang 15 kg, bahkan kadang pulang dengan tangan kosong.
Kondisi ini berbeda saat Agus tiba di Talisayan lebih dari dua dekade lalu. Kala itu, Agus bisa membawa tangkapan hingga ratusan kilogram berbekal bentangan jala.
”Sekarang sudah banyak kapal nelayan modern (kapal pukat lengkong). Ikan-ikan kecilnya ikut terbawa. Jadi, nelayan di sini harus melaut lebih jauh lagi, sekitar 50 kilometer dari sini ke arah Pulau Maratua,” imbuhnya.
Kendati demikian, Agus tetap melaut di pesisir dekat rumahnya. Meskipun tidak lagi banyak, hasilnya tetap dibutuhkan untuk biaya menyekolahkan anak. Salah satu dari lima anaknya bahkan berhasil menempuh pendidikan tinggi di Samarinda, Kalimantan Timur, dari hasil melaut.
Sekarang sudah banyak kapal nelayan modern (kapal pukat lengkong). Ikan-ikan kecilnya ikut terbawa. Jadi, nelayan di sini harus melaut lebih jauh lagi, sekitar 50 kilometer dari sini ke arah Pulau Maratua.
Dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan, bapak lima anak itu tetap legawa. Ia tak menuntut lebih dari apa yang diberikan oleh laut. Sebab, berapa pun ikan yang berhasil ditangkap selalu cukup untuk memenuhi kebutuhannya.
”Kalau dapatnya segitu, mau bagaimana lagi? Yang penting keluarga bisa makan dan anak-anak bisa sekolah. Cukup tidak cukup, bagaimana caranya harus cukup. Kadang harus berutang juga untuk mencukupi kebutuhan,” ujar Agus.
Kepada anak bungsunya, Agus berpesan agar anak tersebut tidak seperti bapaknya. Menurut dia, menjadi nelayan bukanlah profesi. Makin ke sini, makin tak menjamin. Hal ini disampaikan supaya anak-anak tidak menjadi seperti bapaknya.
Kondisi serupa lebih kurang juga dialami Saddang (66). Di saat menginjak usia yang tak lagi muda, Saddang mulai jarang melaut. Selain karena faktor usia, ikan tangkapan nelayan kini sudah tidak seberapa.
Sembari mengenang masa kejayaannya dulu, kakek bercucu enam itu menceritakan, dahulu sekali melaut ia mampu membawa 1 kuintal ikan ke darat. Namun, kondisi berubah seiring berkembangnya teknologi menangkap ikan yang tak jarang mengeksploitasinya, seperti kapal pukat lengkong.
”Sekarang, paling-paling 10 kg saja kalau melaut. Belum lagi ongkosnya karena makin jauh makin banyak ikannya,” ujarnya.
Dua kisah nelayan tradisional itu kiranya memberikan pelajaran hidup terkait ilmu ikhlas. Meski tak bisa berbuat banyak terhadap kondisi yang dihadapi, para nelayan tetap melaut demi menyambung hidup bersama keluarganya.
Sebelumnya, laporan Forum Rembuk Iklim Pesisir 2023 dari Dewan Pimpinan Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) yang dirilis pada Sabtu (27/1/2024) menunjukkan, peta jalan kebijakan pembangunan di sektor perikanan dan kelautan Indonesia dalam 10 tahun terakhir tidak memperlihatkan dukungan dan realisasi yang berpihak terhadap pembangunan kesejahteraan nelayan tradisional. Kebijakan publik dinilai justru menciptakan, melanggengkan, serta meluaskan ketimpangan baru sektor industri perikanan raksasa dan pariwisata dengan kelompok nelayan kecil (Kompas.id, 27/1/2024).
Hasil survei yang dikumpulkan melalui Forum Rembuk Iklim Pesisir 2023 juga memperlihatkan pemenuhan aspek hak dasar oleh negara terhadap kelompok nelayan tradisional masih cenderung terabaikan. Hal itu mendorong sebagian nelayan menanggalkan pekerjaannya untuk beralih menjadi buruh di lapangan kerja lain. Hal itu sejalan dengan rilis Badan Pusat Statistik, yakni selama tahun 2010-2019 terjadi penurunan jumlah nelayan hingga mencapai 330.000 orang.
Ketua Umum DPP KNTI Dani Setiawan dalam kesempatan itu mengatakan, salah satu yang perlu didorong untuk membantu nelayan tradisional adalah penggunaan teknologi penangkapan ikan serta perluasan jangkauan skema perlindungan sosial bagi nelayan yang mengalami kecelakaan akibat cuaca ekstrem. Selain itu, pemulihan ekosistem pesisir secara masif dari hulu ke hilir dan perbaikan infrastruktur permukiman pesisir. Pemerintah juga perlu menginisiasi alternatif pekerjaan atau pendapatan tambahan bagi keluarga nelayan, termasuk usaha pengolahan ikan.
Sebab, Agus, Saddang, dan para nelayan di Desa Talisayan kini sudah merasakannya susahnya hidup sebagai nelayan.