Pembahasan Makan Siang Gratis dalam RAPBN 2025 Dinilai Tidak Tepat
Transisi kebijakan anggaran dari rezim lama ke baru semestinya melalui APBN-Perubahan seperti praktik selama ini.
Oleh
AGNES THEODORA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan alokasi program makan siang gratis dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN 2025 dinilai terlalu terburu-buru dan ”lancang” secara teknokratis. Semestinya program rezim baru dibahas dalam APBN Perubahan yang akan disusun setelah resmi menjabat, bukan disisipkan masuk oleh pemerintah petahana sebelum penetapan resmi hasil pemilu keluar.
Penetapan pemenang hasil Pemilu 2024 baru akan diumumkan pada 20 Maret 2024. Namun, sejak 26 Februari 2024 lalu, pemerintahan Joko Widodo sudah mulai membahas alokasi anggaran untuk makan siang gratis, program unggulan pasangan calon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dalam RAPBN 2025.
Hal itu dibahas dalam sidang kabinet paripurna di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (26/2/2024) lalu, dalam rangka perumusan Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025. Dokumen KEM-PPKF itu nantinya akan menjadi landasan dalam penyusunan RAPBN 2025.
Peneliti Anggaran Publik dari Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) Bernard Allvitro menilai, pembahasan rencana program makan siang gratis dalam RAPBN 2025 terkesan sangat prematur. Lepas dari fakta bahwa Prabowo-Gibran saat ini memang unggul di sejumlah hasil hitung cepat, pengumuman resmi pemenang Pemilu 2024 belum keluar.
”Ini bentuk kelancangan teknokratis. Berjalan tanpa memperhatikan hasil akhir pemilihan presiden yang resmi dikeluarkan KPU. Memang benar rencana kerja pemerintah itu perlu berkesinambungan dalam masa transisi pergantian presiden dan wakil presiden, tetapi pembahasan itu seharusnya dilakukan setelah KPU mengumumkan secara resmi hasil pilpres,” katanya, Rabu (28/2/2024).
Menurut Bernard, pembahasan anggaran program makan siang gratis Prabowo-Gibran dalam RAPBN yang disusun pemerintahan Jokowi sebelum hasil definitif keluar itu semakin menguatkan keraguan soal netralitas Presiden Jokowi dalam Pemilu 2024.
”Proses penghitungan suara pilpres masih berlangsung. Tidak patut seorang presiden yang menjabat sudah membahas program dari pasangan calon mendatang, mendahului lembaga yang resmi berwenang menyampaikan hasil pilpres,” kata Bernard.
Presiden SBY saat itu tidak memasukkan program-program unggulan dan janji kampanye Jokowi dalam APBN 2015 yang ia susun.
Ada mekanisme APBN-P
Penyusunan ”APBN Transisi” memang cukup kompleks. Sebab, rancangan APBN mesti disusun oleh pemerintahan petahana untuk dijalankan oleh pemerintahan selanjutnya. Meski rumit, selama ini, transisi kebijakan anggaran dari rezim lama ke baru itu bisa dilakukan melalui penyusunan APBN Perubahan.
Hal itulah yang dilakukan pada tahun 2014 saat transisi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Jokowi. Presiden SBY saat itu tidak memasukkan program-program unggulan dan janji kampanye Jokowi dalam APBN 2015 yang ia susun.
Akan tetapi, pemerintahan SBY memberi keleluasaan fiskal untuk memudahkan Jokowi menambahkan program-programnya dalam APBN Perubahan 2015. Pemerintahan SBY pun menyusun APBN 2015 dalam bentuk baseline budget alias bentuk anggaran yang disusun dengan tujuan utama untuk memperhitungkan kebutuhan dasar penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan ke masyarakat.
Dalam APBN 2015 itu, pemerintahan SBY tidak mencantumkan program baru yang signifikan, agar menyediakan ruang fiskal yang lebih luas bagi program-program Jokowi. Hal itu tampak lewat defisit fiskal yang diturunkan serta pengurangan penerbitan Surat Utang Negara (SUN).
Program-program Jokowi pun akhirnya baru resmi dianggarkan dalam APBN pada 13 Januari 2015, lewat pembahasan APBN Perubahan yang disusun oleh pemerintahan Jokowi setelah ia resmi dilantik pada 20 Oktober 2014.
Menurut perhitungan Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, kebutuhan anggaran untuk tahap awal program pembagian makan siang dan susu gratis bagi anak sekolah, anak balita, dan ibu hamil akan memakan Rp 100 triliun-Rp 120 triliun. Sementara itu, berdasarkan hitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), anggaran yang diperlukan Rp 185,2 triliun.
Adapun anggaran inisial untuk program tersebut adalah Rp 400 triliun. Anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo mengatakan, program itu memang diharapkan sudah bisa dijalankan sesegera mungkin. Targetnya, jika sudah masuk dalam RAPBN 2025, bisa langsung dieksekusi pada Januari 2025.
”Bisa saja kita memulai dengan budget yang jauh di bawah (Rp 120 triliun). Untuk tahun pertama ini bergantung ruang fiskal yang tersedia dalam RAPBN 2025 dan kesiapan mencari sumber penerimaan baru,” kata Drajad.
Skenario terburuk (defisit fiskal 3 persen) itu bisa terjadi jika kita mengalokasikan lebih dari Rp 100 triliun untuk rencana kebijakan yang populis.
Melihat manuver pemerintah di masa transisi ini, ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal, mewanti-wanti pentingnya memperhatikan tata kelola APBN yang sehat dan bijak di tengah kondisi ekonomi global yang masih penuh risiko.
”Pemerintah akan menghadapi tantangan fiskal ke depan dengan adanya kebijakan-kebijakan seperti makan siang gratis. Itu bisa saja memperlebar defisit fiskal dan level utang negara,” kata Fithra.
Ia memperkirakan, defisit fiskal pada APBN 2025 bisa saja menyentuh rentang 2,5 persen sampai 3 persen dari produk domestik bruto (PDB)—mepet dengan batas aman yang diatur oleh undang-undang. Artinya, tahun depan, negara bisa saja menyerap utang Rp 586 triliun sampai Rp 690 triliun untuk membiayai berbagai program dan kebijakan baru Prabowo-Gibran.
”Skenario terburuk (defisit 3 persen) itu bisa terjadi jika kita mengalokasikan lebih dari Rp 100 triliun untuk rencana kebijakan yang populis. Ini bukan sinyal baik buat posisi Indonesia di mata lembaga pemeringkat utang global,” ujarnya.
Pelebaran defisit itu dapat dihindari jika pemerintahan baru nantinya mampu menaikkan rasio pajak (tax ratio) sebesar 1 persen. ”Kalau rasio pajak bisa naik 1 persen, kita bisa menekan defisit fiskal menjadi hanya 2 persen. APBN bisa tetap sehat meskipun harus menopang program-program populis,” kata Fithra.