KPA: Program Pembangunan Justru Melibas Pusat Produksi Ekonomi Rakyat
Program pembangunan banyak mengambil hak tanah masyarakat kecil untuk dialihkan ke perusahaan besar.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan, berbagai program pembangunan pemerintah yang masif di berbagai sektor, mulai dari infrastruktur, pertanian, perkebunan, pertambangan, hingga perikanan, telah menghilangkan hak masyarakat atas tanah. Padahal, banyak pusat produksi ekonomi masyarakat di wilayah itu.
Mengutip data KPA, setidaknya ada 1,7 juta hektar Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang tersebar di 851 desa di seluruh Indonesia. Di lokasi-lokasi itu, hak masyarakat atas tanah terenggut, sebagian karena adanya program pembangunan pemerintah.
Sebelumnya, itu adalah pusat-pusat produksi ekonomi masyarakat. Tapi justru malah hilang karena berbagai pembangunan.
“Di lokasi itu dulu ada kegiatan pertanian padi, perkebunan buah, tambak ikan, dan area tangkap ikan. Sebelumnya, itu adalah pusat-pusat produksi ekonomi masyarakat. Tapi justru malah hilang karena berbagai pembangunan,” ujar Dewi di sela-sela acara Lokakarya Regional 6 Negara Asia tentang Upaya Pengawasan Konflik Tanah, Jakarta (27/2/2024).
Program pembangunan pada akhirnya banyak dinikmati oleh perusahaan-perusahaan swasta besar. Ia mencontohkan, program peningkatan produksi sawit yang mengubah tanah masyarakat jadi kebun sawit. Hasilnya, perusahaan-perusahaan raksasa yang mengusai ribuan hektar tanah kebun sawit. Masyarakat hanya menjadi buruh tani sawit di sana.
Sejarah berulang
Ke depan, Dewi melanjutkan, hal serupa akan kembali terulang pada program hilirisasi tambang mineral. Ia memprediksi berbagai kawasan industri hilirisasi tambang mineral hanya akan kembali dikuasai oleh segelintir perusahaan bermodal besar. Sementara masyarakat pemilik hak atas tanah hanya akan menjadi buruh atau bahkan penonton pada gilirannya nanti.
“Pembangunan kita saat ini masih menempatkan masyarakat sebagai obyek bukan subyek,” ujar Dewi.
Ia menjelaskan, pihaknya bukan antipembangunan ekonomi. Reforma agraria yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria justru semestinya bisa mendorong pembangunan ekonomi masyarakat.
Ada desa yang tidak bisa mendapatkan program bantuan desa karena status tanahnya bermasalah dan tumpang tindih.
Dewi memberi contoh, ada desa yang tidak bisa mendapatkan program bantuan desa karena status tanahnya bermasalah dan tumpang tindih. Pembangunan jalan beraspal dari pemerintah daerah pun tidak dilakukan karena status tanahnya tidak clean and clear. Hal itu justru membuat potensi ekonomi daerah itu tidak bisa dioptimalkan.
”Reforma agraria itu tidak hanya sekadar sertifikasi tanah yang sudah jelas clean and clear. Tetapi semestinya, reforma agraria itu menyentuh persoalan penyelesaian konflik status tanah, menyasar pembangunan yang bisa mengentaskan rakyat dari kemiskinan di pelosok untuk masyarakat terpinggirkan,” ujar Dewi.
Pihak perusahaan pun, Dewi menambahkan, bisa dilibatkan dalam reforma agraria. Hal ini misalnya dengan memberi peran perusahaan sebagai pembeli dari hasil produksi ekonomi masyarakat.
Sengketa dominan
Analis Kebijakan Ahli Madya Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM), Mimin Dwi Hartono, mengatakan, persoalan konflik agraria selalu menjadi perhatiannya. Pada 2023, aduan mengenai konflik agraria mencapai 582 aduan atau sekitar seperempat dari total laporan yang mencapai 2.422 aduan.
Ia menjelaskan, tren global menyuarakan atau mengadvokasi bahwa hak atas tanah adalah hak asasi manusia. Indonesia pun kini tengah bergerak ke sana. “Kehilangan hak atas tanah berdampak pada kehilangan hak atas pekerjaannya, hak atas pangan, dan hak atas air,” ujar Mimin.
Pada 2023, aduan mengenai konflik agraria mencapai 582 aduan atau sekitar seperempat dari total laporan yang mencapai 2.422 aduan.
Pada Lokakarya Regional 6 Negara Asia tentang Upaya Pengawasan Konflik Tanah dikemukakan pula ragam persoalan soal konflik agraria di negara-negara Asia lainnya. Hal itu dipaparkan dalam forum Asian NGO Coalition for Agrarian Reform and Rural Development.
Di dalam forum itu terdapat enam lembaga swadaya masyarakat bidang advokasi reforma agraria yang berasal dari enam negara Asia. Selain Indonesia, terdapat Filipina, Kamboja, Nepal, India, dan Bangladesh.
Dari paparan masing-masing negara, mengemuka bahwa persoalan konflik agraria di enam negara Asia tersebut nyaris serupa dan punya benang merah yang sama. Semuanya menghadapi persoalan konflik agraria di sektor terkait pembangunan infrastruktur, pertanian, perkebunan, pertambangan, dan perikanan.
Pemerhati Agraria dari Xavier Science Foundation (XSF) Filipina, Roel R Ravanera, mengatakan, ada fenomena serupa yang mendera enam negara Asia, yaitu tanah menjadi suatu komoditas yang dikompetisikan. Ketika menjadi komoditas, maka pihak yang punya modal besar yang punya kemungkinan besar untuk menang.
Setiap tahun, forum ini berkumpul untuk saling diskusi dan belajar persoalan konflik agraria antarnegara. ”Dengan belajar, kita bisa adopsi strateginya. Tentu dengan melihat konteks dan keunikan tiap masing-masing negara,” ujar Dewi.