Kelas Menengah Indonesia, Berusaha Tetap Keren meski Gaji Pas-pasan
Tuntutan berpenampilan menarik menguras kantong pekerja muda kelas menengah.
Oleh
AGUIDO ADRI, SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kelas menengah Indonesia yang berusia muda, tetap berusaha untuk menjaga penampilan di meski gaji mereka terhitung pas-pasan. Kebutuhan akan gaya hidup kekinian berusaha mereka penuhi sembari berupaya memenuhi kebutuhan hidup lainnya yang tak kalah mendesak.
Dari 102,48 juta penduduk Indonesia yang berusia 17-40 tahun, sebanyak 48,49 juta orang atau 47,32 persen tergolong dalam kelompok masyarakat calon kelas menengah. Adapun yang tergolong kelas menengah sebesar 21,01 juta orang (20,51 persen), sedangkan yang termasuk kelompok kaya hanya 463.469 orang (0,45 persen).
Oleh Komisi Pemilihan Umum, mereka yang tergolong berusia 17-40 tahun dikategorikan sebagai pemilih muda. Sebagian dari kelompok kelas menengah berusia muda ini menyadari bahwa gaji mereka tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan harian karena berbagai tanggungan yang harus dibayar. Meski begitu, mereka juga menyadari bahwa tampil fashionable merupakan hal penting bahkan tuntutan dari pekerjaan.
Seperti Revan Herdiawan (22), koki di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, misalnya. Dia mengaku harus menyisihkan sedikit dari gajinya untuk membeli pakaian agar tetap tampil keren.
"Pakaian baru maksimal beli sekali-dua kali setahun. Lebihnya beli bekas saja. Banyak kok yang bekas tapi masih bagus dan murah. Kecuali sepatu, saya beli baru. Nah, kalau ini handphone, bekas," kata Revan, Senin (26/2/2024).
Revan pun selalu menyisihkan Rp 25.000-Rp 50.000 per bulan dari total gajinya sekitar Rp 6,5 juta untuk membeli pakaian. Saat membeli pakaian, Revan selalu menyesuaikan dengan dana di kantongnya. Baginya, tidak harus mahal dan bermerek terkenal.
"Tampil fashionable di luar jam kerja dengan pakaian bekas, tidak masalah. Masih bisa terlihat keren kok, asal sesuai tidak berlebihan dan rapi," kata pria asal Lenteng Agung, Jakarta Selatan, itu.
Begitu pula dengan Afiah Ratna (27), karyawan swasta di kawasan Senayan. Tampil rapi dan terlihat fashionable merupakan tuntutan pekerjaan yang harus terpenuhi. Menjadi wanita karier dengan lingkungan pekerjaan yang selalu menuntut berpenampilan rapi itu ternyata cukup membebani Ratna karena ia hanya berpenghasilan Rp 10 juta per bulan.
"Tidak sering sih (beli pakaian), tapi setidaknya empat bulan sekali beli baru untuk pakaian. Itu, belum make up loh. Total bisa Rp 2,5 juta per bulan touch up penampilan. Itu menurut ku sudah nekan banget. Paling enggak untuk touch up aku harus nyisihin Rp 3 juta. Dulu di awal beli pakaian baru, sekarang bekas pun sikat dan murah pas diskon," ujarnya.
Kebutuhan untuk selalu tampil menarik dari rambut hingga kaki itu ternyata cukup membebani Ratna. Gaji Rp 10 juta yang semula ia anggap besar pun ternyata tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hariannya.
Satu-satunya yang meringankan pengeluaran Ratna yaitu masih tinggal di bersama orangtuanya. Meski begitu, ia masih harus membantu untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga sebesar Rp 2 juta per bulan.
"Orangtua sudah pensiun, otomatis hanya mengandalkan uang pensiun. Saya juga masih punya adik yang masih kuliah. Belum lagi kalau hitung biaya transportasi dan makan di luar. Untungnya mama selalu siapin aku bekal, tapi itu cuma untuk sekali makan," katanya.
Dengan pemasukan yang terbatas, peneliti lembaga swadaya masyarakat di Jakarta Lilis Shofiyanti (31), memutuskan untuk berhemat sekitar enam bulan terakhir. Ia juga menerapkan gaya hidup minimalis. Isi lemarinya tak berlebihan. Semua pakaiannya dikurasi secara sadar, fungsional, dan semuanya bisa dipadukan satu sama lain.
Ada beberapa pakaian wajib di lemarinya yang mudah dipadukan dengan pakaian lain. Beberapa di antaranya adalah kemeja hitam, kemeja putih, kemeja nude, kulot berwarna netral, jaket, serta kaos dan sweater berwarna nude, pastel, dan abu-abu.
Kalau pun harus membeli pakaian atau sepatu baru, ia menunggu tawaran diskon di toko luring dan flash sale (jual cepat) di lokapasar. Ia berusaha membeli barang asli, bukan bajakan, yang kualitasnya bagus. Dengan begitu barang miliknya akan berumur panjang. Ia juga sesekali membeli barang second atau bekas, tetapi dengan mereknya asli.
“Mendingan beli yang ori (asli) saat diskon. Kalau duitnya belum kesampaian, berarti harus nabung dulu supaya barang yang diinginkan terbeli,” ucapnya.
“Ini juga aku terapkan untuk beli buku. Sebetulnya aku enggak terlalu sering beli baju. Aku malah sering kalap beli buku, ha-ha-ha,” tambahnya.