Permintaan perkantoran ramah lingkungan meningkat di tengah stagnasi pasar ruang sewa perkantoran.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Permintaan terhadap gedung perkantoran yang lebih ramah lingkungan cenderung meningkat di tengah stagnasi pasar gedung perkantoran. Gedung bersertifikasi hijau tidak hanya berkembang pada perkantoran grade A dan premium, tetapi juga mulai dibidik oleh gedung-gedung grade B.
Konsultan properti Knight Frank Indonesia, dalam paparan Jakarta Property Highlight H2-2023, merilis, permintaan gedung perkantoran yang menerapkan prinsip prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) terus meningkat, terutama pascapandemi Covid-19. Ruang sewa perkantoran yang ramah lingkungan dan mengantongi sertifikat hijau (green building) umumnya diminati oleh perusahaan multinasional.
Di kawasan pusat bisnis (CBD) Jakarta, gedung-gedung perkantoran yang sudah menerapkan prinsip ESG dan bersertifikasi hijau didominasi oleh gedung-gedung premium grade A dan grade B. Namun, tren hijau juga diikuti beberapa gedung grade B untuk menarik penyewa.
Deputy of Chairperson Green Building Council Indonesia Tiyok Prasetyoadi, saat dihubungi di Jakarta, Senin (26/2/2024), mengemukakan, adaptasi gedung-gedung perkantoran di Jakarta untuk menerapkan prinsip bangunan ramah lingkungan dan sertifikasi hijau terus berkembang dari gedung perkantoran grade A hingga grade B. Penerapan prinsip bangunan ramah lingkungan telah disadari berimplikasi pada penghematan biaya pemeliharaan dan operasional gedung.
Selama ini, kebanyakan gedung yang menerapkan sertifikasi hijau merupakan gedung perkantoran baru. Namun, kesadaran untuk sertifikasi hijau mulai diterapkan pula pada gedung-gedung yang sudah dibangun dan beroperasi. Pada gedung-gedung yang sudah berdiri, umumnya dilakukan retrofitting dan renovasi untuk menerapkan prinsip bangunan hijau. Retrofitting merupakan upaya memperbaiki dan/atau memperkuat struktur bangunan yang sudah ada.
Tiyok menambahkan, setelah retrofitting dan renovasi secara konservatif, gedung perkantoran dapat mencapai penghematan operasional cukup signifikan. Penghematan energi rata-rata bisa mencapai 30 persen dan daur ulang air bisa menghemat penggunaan air hingga 60-80 persen. Di samping itu, pengelolaan manajemen operasional gedung.
Permintaan tumbuh
Senior Advisor Research Knight Frank Indonesia Syarifah Syaukat mengemukakan, sepanjang 2023, luas gedung perkantoran hijau di Jakarta mencapai 1 juta meter persegi (m²). Luasan itu bertambah 15 persen dari stok bangunan hijau yang diperhitungkan tahun 2022. Permintaan gedung perkantoran dengan sertifikasi hijau terus tumbuh dengan tingkat keterisian (okupansi) relatif stabil di sekitar 70 persen.
“Ini optimisme yang tumbuh di tengah tantangan di sektor perkantoran. Gedung perkantoran hijau tetap mewarnai pertumbuhan dari sektor perkantoran di Jakarta,” ujar Syarifah, pekan lalu.
Mengutip sertifikasibangunanhijau.com, bangunan hijau yang sudah bersertifikasi hijau ”greenship@ yang diterbitkan oleh Green Building Council Indonesia (GBCI) meliputi 58 gedung baru, dan 39 bangunan gedung yang sudah berdiri. Sementara itu, 14 gedung yang sudah berdiri sudah terdaftar, 39 gedung baru dalam tahap pengakuan desain, dan 59 proyek bangunan baru dalam tahap pendaftaran sertifikasi. Greenship merupakan perangkat tolok ukur bangunan hijau di Indonesia yang disusun oleh GBCI.
Beradaptasi dengan permintaan gedung sertifikat hijau yang sedang tren merupakan keharusan.
Sementara itu, bangunan hijau yang bersertifikasi ”Edge” (Excellence in Design for Greater Efficiencies), sertifikasi bangunan dan pengelolaan gedung yang efisien-ramah lingkungan, yang diterbitkan International Finance Corporation, di antaranya 98 gedung tersertifikasi, 54 gedung dalam tahap awal sertifikasi, dan 20 proyek gedung yang terdaftar.
Menurut Syarifah, kendati permintaan ruang kantor bersertifikasi hijau tumbuh di kalangan perusahaan multinasional, tidak demikian halnya dengan perusahaan dalam negeri. ”Penyewa akan berpikir gedung ESG harga sewanya lebih mahal ketimbang nonsertifikat green building karena umumnya merupakan gedung premium grade A dan grade A,” ujarnya.
Associate Director Occupier Strategy and Solutions Knight Frank Indonesia Rina Martianti mengemukakan, minat perusahaan multinasional terhadap gedung bersertifikat hijau terus meningkat, sejalan dengan arahan dari perusahaan global untuk mendorong prinsip keberlanjutan. Penyewa dari perusahaan multinasional kian mempertimbangkan untuk menyewa ruang perkantoran yang bersertifikat hijau. Misalnya, beberapa penyewa di gedung perkantoran grade B dengan luasan besar melakukan penyesuaian dengan pindah ke gedung hijau dengan sertifikasi hijau.
”Landlord (pemilik gedung perkantoran) harus beradaptasi untuk memenuhi permintaan penyewa. Beradaptasi dengan permintaan gedung sertifikat hijau yang sedang tren merupakan keharusan,” ujar Rina.
Tiyok mengemukakan, hambatan utama yang muncul adalah tidak seluruh gedung memiliki cukup biaya investasi untuk menyesuaikan teknologi, peralatan, dan perbaikan tata kelola. Padahal, penghematan energi, air dan listrik membutuhkan investasi. ”Biaya investasi terkadang menimbulkan kendala, apakah dibebankan ke penyewa atau pemilik gedung,” ujarnya.
Sebelumnya, lembaga konsultan internasional PricewaterhouseCooper (PwC) melalui laporan ”Global Consumer Insights Pulse Survey” periode Juni 2022, Februari 2023, dan Juni 2023 menyebutkan, prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) telah memengaruhi perilaku konsumen. Survei global yang dilakukan terhadap 9.000 responden dari 25 negara ini menunjukkan bahwa konsumen bersedia membayar 5-10 persen lebih mahal untuk produk atau jasa yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Sebanyak 50 persen responden menaruh kepercayaan pada perusahaan yang mengusung prinsip ESG, sedangkan 40-50 persen responden memilih produk dari material yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.