Belanja Kelas Menengah-Atas Turun, Ritel Modern Berinovasi
Ritel modern berinovasi untuk menarik kalangan menengah-atas berbelanja di dalam negeri.
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat ekonomi menengah atas masih menjadi penopang utama konsumsi produk ritel meskipun kontribusinya melambat di tengah ketidakpastian ekonomi. Untuk menggairahkan daya beli mereka, ritel modern berinovasi.
Ekonom senior Indef, Aviliani, menjelaskan, sekitar 80 persen pertumbuhan konsumsi di dalam negeri mayoritas dikontribusi oleh 40 persen total penduduk Indonesia berkategori ekonomi menengah dan 20 persen masyarakat ekonomi teratas. Kontribusi setiap kategori pada konsumsi adalah 35 persen dan 45 persen.
”Sektor ritel sekarang sudah tumbuh hampir sama sebelum masa pandemi Covid-19 karena sejak pandemi dinyatakan selesai, demand (permintaan) kembali. Ini terlihat dari pertumbuhan konsumsi sudah 55 persen dari PDB, investasi sudah 30 persen,” ujarnya dalam bincang santai bertajuk ”Geliat Ekonomi dan Ritel Pascapemilu di Indonesia” di Jakarta, Jumat (23/2/2024).
Baca juga: Tahan Belanja, Sektor Ritel Terpuruk
Namun, kemampuan belanja masyarakat kalangan menengah dan teratas terus menurun pada 2023. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, konsumsi rumah tangga pada triwulan IV-2023 hanya tumbuh 4,47 persen secara tahunan. Ini turun dari triwulan III-2023 yang tumbuh 5,06 persen secara tahunan dan triwulan IV-2022 yang tumbuh 4,5 persen secara tahunan.
Sepanjang 2023, pertumbuhan konsumsi hanya 4,82 persen, lebih rendah dari 2022 sebesar 4,94 persen yang menjadi titik balik pemulihan ekonomi pascapandemi. Laju konsumsi itu juga jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yang menyentuh 5,04 persen.
Belanja di luar negeri
Aviliani memperkirakan, pertumbuhan ekonomi secara umum pada 2024 akan sama seperti 2023 yang memang tidak cukup baik. Faktornya antara lain ketidakpastian atas kebijakan penurunan suku bunga dalam waktu dekat dan inflasi di negara maju yang masih cukup tinggi.
Ketidakpastian itu membuat orang cenderung menahan belanja, di antaranya karena risiko depresiasi rupiah dan masih tingginya bunga utang.
Baca juga: Impor Barang dari Lokapasar di Bawah 100 Dollar AS Diatur
Namun, bagi mereka yang masih mampu belanja, ada faktor lain, seperti kebijakan pajak barang mewah dan impor. Hal ini membuat masyarakat mampu enggan berbelanja produk impor di dalam negeri.
”Bagi masyarakat ekonomi menengah atas, kemampuan belanjanya bukan turun, melainkan karena mereka pilih belanja ke luar negeri. Ini terlihat dari capital outflow yang semakin tinggi karena mereka sudah mulai belanja ke luar negeri,” ujarnya.
Bea masuk
Direktur SOGO Indonesia Handaka Santosa, pada kesempatan sama, mengungkapkan, masyarakat ekonomi menengah dan atas yang menyukai produk impor terbebani biaya belanja tinggi karena adanya pajak impor. Pajak yang dimaksud seperti bea masuk hingga bea masuk tindak pengamanan bagi perusahaan.
Pada kategori pakaian jadi, tarif pajak berkisar 20 persen hingga maksimal 94 persen dari harga per unit produk. Pajak pengamanan produk impor itu berlaku sejak akhir 2021.
Pada kategori pakaian jadi, tarif pajak berkisar 20 persen hingga maksimal 94 persen dari harga per unit produk.
”Kalau di luar negeri pajaknya hanya 10-20 persen, bahkan nol seperti di Singapura dan Malaysia. Apa pengusaha tidak complain? Tidak karena kami limpahkan ke customer sehingga pengusaha enggak ada risiko apa-apa. Namun, orang setelah memilih barang lebih pilih belanja di dalam atau luar negeri,” tutur Handaka.
Guna menarik minat masyarakat mampu untuk berbelanja produk-produk di dalam negeri, sejumlah peritel berinovasi pada tahun ini. Salah satunya adalah dengan menambah koleksi produk bermerek di outlet-outlet mereka di kota-kota Indonesia.
Kombinasi produk
Contohnya, di pengujung Februari 2024, SOGO membawakan koleksi produk merek ternama seperti Ted Baker, Max & CO, Christy, Roncato, Kent & Crew, United Colors of Benetton, Airceloom, Von Dutch, dan Toms & Asana. Produk premium karya lokal juga diperbanyak dan dijajarkan dengan merek internasional untuk memberi lebih banyak pilihan kepada setiap pengunjung.
Inovasi lain dengan mencampurkan kategori produk dalam satu lantai. Sebagai contoh, gerai produk kecantikan bersanding dengan gerai kopi. Lalu, di lantai dua yang didominasi produk pakaian wanita diisi juga dengan kedai minuman pada salah satu sudutnya.
Inovasi lain dengan mencampurkan kategori produk dalam satu lantai.
”Semua itu kebutuhan dan kita mencari peluang supaya bisa mendatangkan untung supaya bisa menyerap tenaga kerja dan meningkatkan ekonomi kita. Semua tergantung dari pilihan kita, apa yang ada selalu disediakan. Ini dilakukan sebagai tujuan belanja one-stop-shopping,” tuturnya.
Mirae Asset Sekuritas dalam laporan berjudul ”Investment Playbook: Strategic Expansion of Outlets to Capitalize on Demographic Opportunities” yang terbit 19 Februari 2024 menyebutkan, ritel di Indonesia memiliki potensi pertumbuhan yang signifikan. Hal ini didukung oleh pertumbuhan penduduk perkotaan dan pendapatan yang tahan terhadap tantangan.
Penjualan ritel di mal atau pusat perbelanjaan terus mengalami kebangkitan pascapandemi. Tren ini terindikasi dari peningkatan kunjungan dan pendapatan perusahaan ritel. Adapun pertumbuhan ritel di masa depan akan didorong oleh model omnichannel, ekspansi toko, dan integrasi generative artificial intelligence (GenAI).
”Tantangan sebenarnya bagi peritel adalah mempertahankan momentum ini lebih jauh lagi. Perlu pemahaman yang tajam tentang preferensi konsumen yang terus berubah dan adaptasi terhadap lanskap pascapandemi. Berfokus pada pengalaman omnichannel, personalisasi, dan penawaran berbasis nilai akan sangat penting dalam mempertahankan pelanggan dan menumbuhkan loyalitas jangka panjang,” jelas laporan tersebut.
Baca juga: Ritel dan Mal Terus Berinovasi
Peritel juga diminta untuk menciptakan pengalaman yang lebih dari sekadar transaksi, serta menumbuhkan interaksi dan kedekatan yang membuat pembeli mau kembali. Peritel juga diharapkan bersiap dengan risiko investasi, misalnya aksi pemboikotan produk atau toko, hilangnya kepercayaan merek, dan kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan. Risiko lain adalah keuntungan yang lebih rendah dari yang diharapkan setelah ekspansi dan depresiasi rupiah.