Meta Yakin Tidak Wajib Bayar Konten ke Perusahaan Media
Meta menyebutkan, secara global, lebih dari 90 persen penayangan organik pada tautan artikel diunggah penerbit berita.
Oleh
MEDIANA, STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meta, perusahaan teknologi pemilik aplikasi Facebook, Instagram, dan Whatsapp, yakin bahwa mereka tidak diwajibkan membayar konten berita. Meta telah menjalani konsultasi dengan Pemerintah Indonesia terkait keluarnya Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas atau disebut juga perpres hak cipta penerbit.
”Setelah menjalani beberapa kali konsultasi dengan pemangku kebijakan, kami memahami bahwa Meta tidak akan diwajibkan untuk membayar konten berita yang diposting oleh para penerbit berita secara sukarela ke platform kami,” kata Direktur Kebijakan Publik Asia Tenggara Meta Rafael Frankel, dalam pernyataan resmi di Jakarta, Rabu (21/2/2024) malam.
Laporan NERA Economic Consulting yang ditugasi oleh Meta menunjukkan, secara global, lebih dari 90 persen penayangan organik pada tautan artikel dari penerbit berita merupakan tautan yang diunggah sendiri oleh penerbit. Meta menilai perusahaan media massa penerbit berita memilih menggunakan platform media sosial milik Meta karena mendapatkan keuntungan dari distribusi konten mereka secara gratis dan peningkatan lalu lintas ke laman mereka.
Selama bertahun-tahun, Meta telah bermitra dengan para penerbit berita, seperti program pengecekan fakta dari pihak ketiga. Baru-baru ini, Whatsapp Channels juga diluncurkan guna membantu penerbit berita memperluas jangkauan pengguna mereka.
Warganet, menurut Frankel, tidak datang ke aplikasi Facebook ataupun Instagram hanya untuk konten berita. Orang dewasa yang mencari berita di Facebook turun sekitar sepertiga antara tahun 2016 dan 2022, yakni dari 45 persen menjadi 30 persen.
Adalah perusahaan media massa penerbit berita yang secara sukarela memutuskan membagikan konten berita mereka di aplikasi media sosial yang dimiliki oleh Meta, bukan sebaliknya.
Meski begitu, Meta menilai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas yang baru ditandatangani Presiden Jokowi pada Selasa (20/2/2024) sebagai sebuah kemajuan jurnalisme di Indonesia.
Orang dewasa yang mencari berita di Facebook turun sekitar sepertiga antara tahun 2016 dan 2022, yakni dari 45 persen menjadi 30 persen.
”Kami menghargai kemajuan yang telah dicapai pemangku kebijakan dalam memastikan bahwa Peraturan Presiden tentang Tanggung Jawab Platform Digital dalam Mendukung Jurnalisme Berkualitas mengakui manfaat yang didapatkan oleh penerbit berita dalam layanan yang kami sediakan,” tuturnya.
Sejauh ini, Meta belum memerinci lebih jauh tindak lanjut mereka setelah terbitnya Perpres No 32/2024. Dalam beberapa kasus serupa di negara lain, seperti di Kanada, Korea Selatan, dan Australia, Meta sampai mengambil langkah ekstrem, yakni memblokir platform mereka di negara tersebut.
Sebelumnya, mendampingi Menkominfo Budi Arie Setiadi saat berkunjung ke Menara Kompas, Jakarta, Senin (12/2/2024), Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Usman Kansong mengatakan, pembahasan rancangan perpres hak cipta penerbit sempat berlangsung alot. Salah satu penyebabnya adalah Meta yang bersikap keras meminta mau dikecualikan.
”Meta tidak akan melakukan tindakan ekstrem seperti di negara lain. Kami sudah bertemu dengan pengambil keputusan langsung di Meta. Kami harus menyamakan visi dengan mereka dan para pemengaruh yang beberapa waktu lalu menyerukan diri mereka akan dirugikan,” kata Usman.
Presiden Joko Widodo menandatangani perpres hak cipta penerbit pada Selasa (20/2/2024) dan langsung mengumumkannya saat menghadiri puncak peringatan Hari Pers Nasional di Jakarta. Melalui perpres ini, perusahaan platform digital diwajibkan bekerja sama, memberikan perlakuan adil ke semua perusahaan pers, dan mendesain algoritma distribusi berita yang mendukung jurnalisme berkualitas.
Budi menyampaikan bahwa Kemkominfo akan segera menindaklanjuti pengesahan perpres itu untuk mendukung jurnalisme berkualitas dan keberlanjutan industri media konvensional. ”Secepatnya kita rumuskan, nanti dikabari semuanya,” katanya.
Mengutip CNBC, Rabu (24/2/2021), Australia telah mengeluarkan News Media and Digital Platforms Mandatory Bargaining Code yang bertujuan agar bisnis media berita diberi imbalan yang adil atas konten yang mereka hasilkan sehingga dapat membantu mempertahankan jurnalisme kepentingan publik di Australia. Baik Facebook (nama lama Meta) maupun Google telah berjuang melawan hukum tersebut sejak tahun 2020.
Namun, dua hari sebelum regulasi itu dikeluarkan, Facebook menyatakan akan memulihkan halaman berita di Australia, membatalkan keputusan sebelumnya yang memblokir akses ke konten berita di Australia sebagai pembalasan terhadap rancangan peraturan yang diusulkan itu.
Kanada juga telah mengeluarkan peraturan serupa, Online News Act, pada September 2023, tetapi mengalami tentangan. Meta dikabarkan memberlakukan larangan mengunggah konten berita sebagai respons terhadap regulasi itu.
Dosen Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara, Ignatius Haryanto, berpendapat, membantu keberlanjutan bisnis media massa atau tidak, dibutuhkan waktu untuk melihat sejauh mana dampak yang dihasilkan dari pelaksanaan perpres hak cipta penerbit. Di Australia, misalnya, praktik regulasi perpres hak cipta penerbit menguntungkan media massa berskala besar.
”Maka, harus diperhitungkan pula bagaimana supaya media massa kecil tetap mendapatkan keadilan dalam hal pembagian royalti,” ujarnya.
Perpres hak cipta penerbit, menurut dia, belum cukup ideal untuk mendukung keberlanjutan bisnis media secara jangka panjang. Bentuknya yang berupa perpres memiliki kekuatan yang tidak akan lebih kuat daripada undang-undang.