Makanan dan Minuman Organik Cepat Saji Mulai Diminati
Makanan olahan tanpa rekayasa genetik dan peduli lingkungan mulai ramai peminat.
JAKARTA, KOMPAS — Popularitas makanan dan minuman olahan organik, yang dibuat tanpa rekayasa genetika dan ramah lingkungan, terus bertumbuh. Permintaan akan produk organik cepat saji menjadi salah satu faktor pertumbuhan tersebut.
Penelitian longitudinal dalam Statistik Pertanian Organik Indonesia (SPOI) 2023, yang rilis pada Januari 2024, mencantumkan hasil survei dalam jaringan kepada 102 responden di Indonesia mengenai tren konsumsi pangan organik.
Dikutip pada Minggu (11/2/2024), survei menunjukkan, kacang-kacangan (50 persen), teh dan kopi (50 persen), makanan ringan (49 persen), serta mi dan pasta organik (43 persen) menjadi favorit dari kategori produk olahan organik.
Minat konsumsi produk siap saji itu setara dengan popularitas konsumsi sayuran (55 persen) dan buah (47 persen) dari kategori pangan segar organik. Sementara itu, produk beras organik yang pertaniannya terus meluas hanya sering dibeli 33 persen responden.
Pengembangan produk olahan organik banyak dilakukan oleh pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). PT Agritama Sinergi Inovasi asa Bandung, Jawa Barat, misalnya, berinovasi dengan kulit buah kopi (cascara) organik menjadi tisane yang dapat diseduh seperti teh. Produk bermerek Netisane itu dipromosikan sebagai minuman herbal dengan kandungan antioksidan tinggi dan beraroma kopi, tetapi rendah kafein.
”Ini ternyata potensi dari limbah produksi kopi organik. Setelah tiga tahun penelitian, keluarlah produk ini di tahun 2020. Dengan ini, kita juga membantu menambah pendapatan petani kopi,” kata Djoko Prakoso, Direktur Development and Marketing Rumah Organik, yang membina produsen tersebut, saat ditemui dalam pameran Merayakan Gastronomi Indonesia, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (9/2/2023).
Produk yang dihasilkan dari kebun penghasil kopi terkenal di Gunung Puntang, Jawa Barat, itu pun berinovasi dengan tidak hanya menyajikan tisane, tetapi juga produk sirup dan hasil seduhan kulit kopi dengan campuran herbal lainnya yang siap minum.
Produsen kacang koro organik seperti Tempro Canavalia asal Bogor, Jawa Barat, juga berinovasi ke produk cepat saji, seperti abon hingga camilan brownies krispi. ”Makanan olahan ini jadi favorit selain tempe dan tepung bumbu dari kacang koro,” ungkap Arifin, penjaga stan Tempro Canavalia, saat ditemui di lokasi yang sama.
Abon dan kukis berbahan kacang-kacangan bernama Latin Canavalia ensiformis itu, tidak hanya untuk konsumen yang sadar akan manfaat kandungan gizi dan penggunaan produk lokal dengan pengolahan ramah lingkungan. Produk itu juga menjadi substitusi produk konvensional yang bisa dikonsumsi vegetarian atau vegan.
Baca juga: Agrowisata untuk Kelestarian Perkebunan Kopi Arabika Organik di Ngada
Laporan Grand View Research tentang Tren Pasar Makanan & Minuman Organik menunjukkan, pasar makanan dan minuman organik global bernilai 231,52 miliar dollar AS pada tahun 2023 dan diperkirakan tumbuh pada tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 13,9 persen dari tahun 2024 hingga 2030.
Adapun di Asia Pasifik akan ada pertumbuhan tahunan majemuk (CAGR) sebesar 18,1 persen dari tahun 2024-2030, yang didorong oleh meningkatnya tren makanan siap saji di kalangan kelas pekerja serta tingginya populasi generasi milenial dan yang lebih muda. China, India, dan Jepang menjadi pasar utama belanja makanan organik jenis ini.
”Selain itu, peningkatan besar dalam permintaan makanan beku karena berkurangnya waktu untuk menyiapkan dan memasak, membuka jalan baru bagi pasar regional untuk makanan beku organik,” demikian pernyataan dalam laporan yang dikutip hari ini.
Tren konsumsi
Petani organik sekaligus bagian dari Yayasan Alifa-Rumah Organik, Bibong Widyarti, berpendapat, makanan organik olahan siap saji bisa semakin populer karena populasi penduduk usia tua yang berkurang dan penduduk muda yang semakin mendominasi.
Konsumen produk organik belum aware dengan produk lokal, sudah dibanjiri produk impor.
”Sebagai contoh, generasi pra-baby boomer lebih senang makan beras organik. Tapi, karena banyak terjadi penurunan jumlah generasi, kurang. Misalnya, dulu, pelanggan beras organik bisa pesan 15-25 kilogram beras organik setahun kepada kami. Sekarang mulai berkurang karena ada anggota keluarga yang meninggal,” tuturnya.
Minat masyarakat untuk mengonsumsi makanan dan minuman siap saji juga membuat beberapa produsen mulai menyajikan kedai atau toko dengan produk tersebut. Namun, kanal penjualan yang paling mudah dan cepat untuk memasarkan produk organik siap saji adalah toko daring.
Survei dalam laporan SPOI 2023 mengungkapkan, alasan masyarakat membeli produk organik di toko daring atau lokapasar karena tertarik harga promosi (65 persen), mudah dalam pembayaran (61 persen), serta mudahnya pengantaran produk (56 persen).
Baca juga: Pengembangan Pertanian Organik Terkendala
Sayangnya, imbuh Bibong, banyak toko daring menjual produk organik impor yang jauh lebih murah dengan sertifikasi yang lebih dipercaya. Situasi ini menghambat pemasaran produk organik lokal, yang memang relatif jauh lebih mahal harganya daripada produk konvensional hingga terhambat di sertifikasi. ”Konsumen produk organik belum aware dengan produk lokal, sudah dibanjiri produk impor,” ujarnya.
Kendati ada potensi untuk terus memasarkan produk olahan organik yang kaya inovasi, saat ini daya beli masyarakat terhadap produk organik tengah menurun. Hal ini terasa setelah melewati masa pandemi Covid-19, yang sempat memopulerkan pangan organik sebagai solusi kesehatan.
Survei konsumen di laporan SPOI menemukan, dari responden yang disurvei pada 2019, sebanyak 23 persen tidak lagi mengonsumsi produk organik di 2022. Dari 23 persen tersebut, sebanyak 65 persen beralasan faktor harga yang mahal yang membuat mereka berhenti mengonsumsi produk organik.
Dari anggaran belanja, mereka yang mampu belanja produk organik di bawah Rp 1 juta per bulan naik menjadi 81 persen di tahun 2022 dari 73 persen pada tahun 2019.
Sementara itu, mereka yang biasa menganggarkan belanja produk organik antara Rp 1 juta dan Rp 2 juta per bulan berkurang, menjadi 5,8 persen pada tahun 2022 dari 12,45 persen di tahun 2019. Penyebab dari penurunan ini adalah masalah ekonomi atau karena sebagian responden telah menanam sendiri produk organik untuk kebutuhan sehari-hari.
Menariknya, survei menemukan, mereka yang menganggarkan belanja produk organik Rp 2 juta-Rp 3 juta per bulan dan di atas Rp 3 juta per bulan meningkat di tahun 2022. Para responden menjelaskan, mereka kini tidak hanya belanja makanan organik segar, tetapi juga merambah produk organik lain, seperti makanan olahan, kosmetik, suplemen kesehatan, perlengkapan kesehatan, dan fesyen.