Pengembangan pertanian organik yang berkelanjutan terus menemui masalah. Padahal, pertanian organik berkontribusi pada ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Petani organik masih kesulitan mengembangkan pertaniannya meski potensi hasil tani organik besar seiring meningkatnya kesadaran hidup sehat. Sejumlah kendala yang muncul ialah tanah yang butuh perawatan lama, belum adanya insentif harga memadai untuk produsen produk pertanian organik, tersumbatnya pemasaran hasil tani organik, dan permodalan yang belum menyentuh semua petani.
Direktur Aliansi Organis Indonesia (AOI) Pius Mulyono mengatakan, petani organik semestinya mendapat insentif dari pemerintah. Sebab, selain memperbaiki mutu lingkungan, perluasan sistem pertanian organik bisa mengurangi beban anggaran subsidi pupuk.
Berdasarkan data Statistik Pertanian Organik Indonesia dari AOI, jumlah luas lahan pertanian organik tahun 2016-2017 meningkat 38,4 persen. Adapun pada 2017-2018 peningkatan luas lahan pertanian organik hanya 17,3 persen. Pada 2018, total luas lahan pertanian organik sekitar 215.000 hektar (ha) yang ditanami berbagai komoditas organik, seperti beras, kelapa, pisang, kakao, sayuran, jeruk, dan teh.
”Pertanian organik pada dasarnya dapat berkontribusi dalam mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan. Namun, pemerintah justru melakukan berbagai upaya yang menimbulkan permasalahan baru, seperti proyek lumbung pangan (food estate) di banyak daerah di Indonesia,” kata Pius saat diskusi ”Pertanian Organik Solusi Pangan Berkelanjutan”, di Jakarta, Selasa (13/12/2022).
Pius menjelaskan, beragam persoalan hanya bisa dihadapi jika pemerintah, petani, dan warga bekerja bersama untuk menjamin kedaulatan pangan berkelanjutan. Apalagi, kebijakan dan regulasi juga dapat memihak kepada petani organik sehingga menghasilkan dukungan dan program yang tepat sasaran.
Kehadiran sistem penjaminan partisipatif (participatory guarantee system/PGS) dapat menjadi salah satu solusi untuk menjawab tantangan mahal dan sulitnya akses sertifikasi organik bagi petani kecil di Indonesia.
Hal serupa diungkapkan Bibong Widyarti, petani organik dan juga peneliti pertanian organik. Menurut Bibong, keberadaan pasar menjadi persoalan yang terus dialami oleh petani organik. Petani hampir selalu tidak bisa menentukan harga, ditambah dengan ongkos produksi juga lebih mahal karena menggunakan pupuk organik.
Beragam persoalan hanya bisa dihadapi jika pemerintah, petani, dan warga bekerja bersama untuk menjamin kedaulatan pangan berkelanjutan.
Menurut dia, insentif bisa berupa kredit modal usaha dengan bunga rendah dan kemudahan mengurus sertifikasi. Diperlukan kebijakan harga yang mendukung pertanian organik. ”Padahal, hasil pertanian organik diyakini lebih sehat dan lebih bernilai secara ekonomi jika dijual, tetapi regulasi saat ini belum mampu mendorong pertanian berkelanjutan,” kata Bibong.
Pada kesempatan yang sama, Koordinator Pangan dan Pertanian Direktorat Pangan dan Pertanian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Noor Avianto mengatakan, pertanian organik menjadi bagian dari pangan berkelanjutan dan dapat mendorong tumbuhnya ekonomi sirkular. Karena itu, pemerintah dalam peta jalan pertanian organik berencana membangun ketahanan pangan Indonesia yang mencakup harga untuk petani organik dan pemasaran dari masyarakat.
Menurut Koordinator Perumusan Standar Keamanan dan Mutu Pangan Bappenas Diah Ariyani, arah kebijakan pengembangan pangan organik ke depannya ialah mendorong revisi Regulasi Sistem Pertanian Organik dan Revisi Standar Organik Nasional atau SNI Pertanian Organik. Harapannya, ini dapat mengakomodasi lebih banyak perkembangan dalam praktik pertanian organik di Indonesia.
Apalagi, Bappenas terus menegaskan bahwa pertanian organik merupakan solusi pangan karena sistem produksinya mengarah kepada petani kecil untuk meningkatkan pendapatan. Dalam memastikan produksi pangan yang berkelanjutan itu maka akses terhadap pangan yang beragam dan partisipasi dalam perlindungan sumber daya alam dan lingkungan terus ditingkatkan.