Meski energi fosil masih amat menggoda dengan triliunan cuan yang dihasilkan, kelestarian lingkungan di atas segalanya.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
The Economist pada Jumat (2/2/2024) melaporkan perolehan laba Chevron dan Exxon Mobil, dua perusahaan raksasa migas Amerika Serikat, untuk kinerja tahun 2023. Dalam artikel berjudul ”Perky Petroleum Profits” tersebut, masing-masing membukukan laba 21,4 miliar dollar AS dan 36 miliar dollar AS. Capaian itu ”hanya” sepertiga dari apa yang mereka peroleh sebelumnya pada tahun 2022, tetapi merupakan yang terbesar kedua dalam satu dekade terakhir.
Dalam artikel itu ditulis pula bahwa capaian kinerja kedua perusahaan tersebut membuat para investor ”happy”. Sementara Aramco, perusahaan migas milik Arab Saudi, membukukan laba 161,1 miliar dollar AS untuk kinerja tahun 2022. Apa yang didapat Aramco jelas lebih besar dari gabungan Chevron dan Exxon Mobil sekaligus. Sulit mencari kata yang lebih tinggi dari happy untuk menggambarkan perasaan investor Aramco atas capaian itu.
Untuk di dalam negeri, PT Pertamina (Persero) sebagai satu-satunya perusahaan migas milik negara dilaporkan membukukan laba untuk kinerja 2022 sebesar 3,81 miliar dollar AS. Meski ketika dirupiahkan menjadi Rp 56,6 triliun, perolehan itu serasa ”tidak ada apa-apanya” dibandingkan yang didapat Chevron ataupun Exxon Mobil. Terlebih lagi Aramco.
Dengan menggunakan kurs Jisdor Bank Indonesia pada 7 Februari 2024, dengan 1 dollar AS adalah Rp 15.685, maka Chevron mengumpulkan laba Rp 335,65 triliun dan Exxon Mobil meraih Rp 564,66 triliun. Sudah siap dengan perolehan Aramco di 2022? Fantastis, perolehannya setara Rp 2.526,85 triliun. Beda tipis dengan penerimaan negara ini yang sebanyak Rp 2.635,8 triliun untuk tahun anggaran 2022.
Tentu saja, penerimaan negara tersebut bukan hanya dari minyak, melainkan juga ditopang utamanya dari penerimaan pajak Rp 2.034,5 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 595,6 triliun. Selebihnya adalah penerimaan lain-lain.
Apabila dibedah lebih dalam, penerimaan dari komoditas minyak (dan gas bumi) di Indonesia masih terbilang penting dan ”lumayan”. Pada 2022, misalnya, PNBP dari migas menyumbang Rp 148,7 triliun atau setara 25 persen dari total PNBP pada 2022. Perolehan PNBP dari migas di 2022 tersebut melonjak signifikan dibandingkan perolehan pada 2021 yang sebanyak Rp 96,6 triliun.
Dua faktor utama yang memengaruhinya adalah harga minyak mentah dunia dan capaian produksi siap jual (’lifting’) minyak dalam negeri.
PNBP dari migas mulai turun pada 2023 lalu, sebanyak Rp 117 triliun. Dua faktor utama yang memengaruhinya adalah harga minyak mentah dunia dan capaian produksi siap jual (lifting) minyak dalam negeri. Adapun pada 2024 ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan perolehan PNBP migas sebanyak Rp 110,2 triliun.
Transisi energi
Barangkali itu yang membuat laju transisi energi di RI tersendat-sendat. Transisi energi ini adalah mengurangi (lantaran belum bisa sama sekali meninggalkan) pemakaian energi fosil, seperti minyak, gas bumi, dan batubara dengan beralih ke sumber energi terbarukan. Ragam energi terbarukan di Indonesia adalah tenaga bayu, air, surya, panas bumi, dan biomassa.
Target bauran energi terbarukan dalam bauran energi nasional sebesar 23 persen pada 2025 diproyeksikan ”mustahil” tercapai. Realisasi untuk 2023 lalu baru 13,1 persen. Bahkan, pemerintah melalui Dewan Energi Nasional berencana merevisi target bauran energi terbarukan pada 2025 menjadi ke 17-19 persen, bukan lagi 23 persen.
Alasan mengubah target bauran energi terbarukan adalah angka pertumbuhan ekonomi yang tak sesuai dengan target 23 persen. Saat target itu disusun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, proyeksi pertumbuhan ekonomi RI adalah 7-8 persen. Nyatanya, dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhannya sekitar 5 persen saja. Atas kondisi itulah, target bauran energi terbarukan hendak direvisi.
Di samping itu, tak mudah memang mengurangi dan kemudian beralih sama sekali dari energi fosil ke energi terbarukan. Selain faktor ”rupiah” yang diuraikan di bagian awal tulisan, ada banyak faktor lain yang menyebabkan transisi energi di Indonesia berjalan lamban. Mulai dari masalah payung hukum dan aturan turunannya, biaya atau investasi, sumber daya manusia, hingga persoalan penguasaan teknologi berikut industri manufakturnya. Belum lagi masalah intermitensi sumber energi terbarukan.
Indonesia sudah terlampau lama dimanja dengan pasokan energi fosil. Harga bahan bakar minyak murah (disubsidi) hingga tarif listrik dari hasil pembakaran batubara yang juga murah membuat ada rasa enggan bergegas ke energi terbarukan. Apalagi, cadangan batubara Indonesia melimpah ruah. Sebagai catatan, bahan bakar batubara berperan 65 persen dalam bauran energi primer pembangkit listrik di Indonesia.
Selain faktor ’rupiah’ yang diuraikan di bagian awal tulisan, ada banyak faktor lain yang menyebabkan transisi energi di Indonesia berjalan lamban.
Namun, satu hal yang patut diingat bagi pengambil kebijakan baik di eksekutif maupun legislatif adalah sumber energi fosil suatu saat nanti akan habis cadangannya. Harganya pun amat ”cair”, yakni bisa mahal sekali dan murah sekali. Lalu, ada tanggung jawab merawat Bumi dan mewariskannya kepada generasi selanjutnya.
Pemakaian energi fosil terbukti menghasilkan emisi gas rumah kaca yang menimbulkan efek pemanasan global pemicu perubahan iklim. Belum lagi praktik penambangan batubara yang tak ramah lingkungan. Jadi, meski energi fosil masih amat menggoda dengan triliunan cuan yang dihasilkan, kelestarian lingkungan dan Bumi yang lebih baik berada di atas segala-galanya. Jangan sampai generasi berikutnya tidak happy akibat gagalnya transisi energi di negeri ini.