Puncak Emisi Indonesia Berisiko Mundur 7-10 Tahun dari Target Global
Puncak emisi gas rumah kaca Indonesia berisiko mundur 7-10 tahun dari target emisi puncak global.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana penurunan target energi terbarukan yang tertuang dalam draf Rancangan Peraturan Pemerintah atau RPP Kebijakan Energi Nasional dianggap realistis. Namun, konsekuensinya, target puncak emisi gas rumah kaca bisa mundur.
Dewan Energi Nasional (DEN) telah menyampaikan, target porsi energi terbarukan dalam bauran energi primer pada 2025 direncanakan turun dari 23 persen ke 17-19 persen. Ini tertuang dalam pembaruan Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Penyesuaian ini terjadi karena sejumlah asumsi dalam KEN tidak terealisasi. Salah satu asumsi KEN yang tertuang pada PP Nomor 79 Tahun 2014 tentang KEN adalah pertumbuhan ekonomi nasional berkisar 7-8 persen.
Akibat realisasinya di bawah asumsi, realisasi porsi energi terbarukan dalam bauran energi primer hingga akhir 2023 baru mencapai 13,1 persen. Artinya, deviasi antara realisasi dan target awal terlalu lebar.
Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Akmaluddin Rachim, dihubungi pada Jumat (9/2/2024), mengatakan, dengan sisa waktu kurang dari dua tahun, target 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi primer semakin sulit dikejar. Sejumlah faktor menjadi penyebabnya, mulai dari regulasi hingga implementasi.
”Ada upaya untuk membuat target lebih realistis dicapai dengan mempertimbangkan banyak hal. Di sisi lain, yang sebetulnya dibutuhkan ialah komitmen yang lebih serius dalam mencapai target energi terbarukan. Harus ada upaya-upaya yang lebih progresif. Dimulai dengan evaluasi menyeluruh dengan mempelajari kendala-kendala yang ada serta implementasinya,” katanya.
Daerah diberdayakan
Akmaluddin mencontohkan, peta jalan transisi energi perlu lebih rinci dan jelas, terutama terkait tahapan pengurangan pemanfaatan energi fosil, seperti batubara. Jangan sampai, energi terbarukan terus dipacu, tetapi selalu kalah cepat dengan energi fosil, yang lebih banyak tersedia di Indonesia, dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi nasional.
Ia juga mendorong agar daerah lebih mendapat peran dalam pengembangan energi terbarukan. Sebab, selama ini, kebijakan energi terbarukan relatif berada di tingkat nasional, sedangkan sumber daya berada di daerah. Kewenangan pemerintah daerah juga terbatas.
”Kemauan politik menjadi kunci. Provinsi yang benar-benar memiliki perhatian pada transisi energi belum banyak,” katanya.
Kemauan politik menjadi kunci. Provinsi yang benar-benar memiliki perhatian pada transisi energi belum banyak.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam diskusi ”Sinyal ’Ujung’ Transisi Energi” secara daring, Rabu lalu, menuturkan, jika mengikuti laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), puncak emisi gas rumah kaca harus terjadi pada 2025-2028. Selanjutnya, emisi gas rumah kaca harus turun.
Dari penghitungan yang ada, Indonesia baru bisa mewujudkannya pada 2030. Menggunakan permodelan dalam draf RPP pembaruan KEN, emisi puncak baru terjadi pada 2035.
”Artinya, mundur 7-10 tahun dari emisi puncak global. (Dengan posisi itu) Maka kalau mau turun (setelah mencapai puncak) akan sangat curam. Sesuatu yang curam atau ekstrem itu berat. Tak cuma teknologinya, tetapi juga biaya yang lebih mahal,” kata Fabby.
Infrastruktur kurang
Apabila emisi puncak mundur, target Indonesia mencapai emisi nol bersih (net zero emission/NZE) pada 2060 terancam gagal. Fabby khawatir ada sejumlah konsekuensi yang dihadapi jika target-target itu gagal tercapai. Sebab, semakin lamban dekarbonisasi dilakukan, maka suhu bumi bertambah hangat sehingga biaya yang dibutuhkan untuk menanggulangi dampaknya juga semakin besar.
Ia mengemukakan, yang menjadi kunci akselerasi pengembangan energi terbarukan adalah memacu penambahan pembangkit energi terbarukan dan mengurangi energi fosil. ”Suka tidak suka, itu harus dilakukan. Saya cukup optimistis kita bisa membangun semua pembangkit energi terbarukan yang sudah dalam rencana. Dikejar saja semua,” ujarnya.
Sementara itu, Manajer Program Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo mengatakan, pengembangan energi terbarukan mesti konsisten. Dekade ke depan menjadi periode penting untuk melakukan kebijakan-kebijakan yang mendukung transisi energi. ”Kalau terlambat, kita akan kehilangan, tak hanya dari emisi, tetapi juga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” ucapnya.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menekankan, kementeriannya masih berpegangan pada PP Nomor 79 Tahun 2014 sehingga target energi terbarukan dalam bauran energi primer masih 23 persen pada 2025. Sejumlah hambatan yang membuat realisasi energi terbarukan belum sesuai harapan terus diidentifikasi agar dapat diatasi pada tahun-tahun mendatang.
”Isunya sekarang keterbatasan (pengembangan), karena, kita punya infrastruktur enggak? Ini yang harus kita perbaiki. Kami sudah mengidentifikasi bottleneck (macet) ada di mana. (Di antaranya) Kita tidak punya infrastruktur (jaringan transmisi kelistrikan yang mendukung energi terbarukan), lalu perlunya percepatan pertumbuhan konsumsi listrik,” kata Arifin di Jakarta, pekan lalu.