Energi Terbarukan yang ”Dekat tapi Jauh”
Potensi energi terbarukan di dalam negeri mesti dioptimalkan dengan perencanaan matang, berkelanjutan, dan inklusif.
Sebagai negara kepulauan serta memiliki garis pantai kedua terpanjang di dunia, Indonesia terlimpah berbagai jenis energi terbarukan, baik matahari, angin, panas bumi, arus laut ombak, maupun bioenergi. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 3.600 gigawatt (GW), yang didominasi energi surya/matahari.
Namun, pemanfaatannya masih jauh dari yang diharapkan. Kementerian ESDM mencatat, per semester I-2023, kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan baru 12,73 GW. Sementara pada capaian energi terbarukan nonlistrik, yakni realisasi bahan bakar nabati atau BBN (biofuel) per Juni 2023, mencapai 5,68 juta kiloliter (KL).
Sementara berdasarkan persentase, hingga semester I-2023, energi terbarukan dalam bauran energi primer baru 12,5 persen atau hanya bertambah 0,2 persen dari akhir 2022. Padahal, ada target nasional sebesar 23 persen pada 2025. Waktu untuk memenuhi target itu semakin sempit karena tinggal tersisa sekitar dua tahun hingga pengujung 2025.
Dari segi volume, sebenarnya terjadi peningkatan realisasi energi terbarukan dalam lima tahun terakhir, yakni 126 juta barel setara minyak (MMBOE) pada 2018 menjadi 213 MMBOE pada 2022. Namun, besarnya penggunaan energi fosil membuat persentase energi terbarukan masih rendah. Bagaimanapun, energi fosil menjadi jenis energi yang ada di depan mata dan mudah diakses.
Apalagi, seiring usainya pandemi Covid-19, aktivitas perekonomian—membutuhkan banyak energi—dipacu. Sementara lebih dari 67 persen pembangkit listrik di Indonesia berbasis batubara. Porsi bahan bakar minyak (BBM) juga dominan di sektor transportasi.
Sejumlah upaya dilakukan pemerintah, termasuk lewat regulasi Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Namun, selain masih memerlukan aturan-aturan turunan, keterbatasan teknologi dan pembiayaan masih menjadi hambatan dalam pengembangan energi terbarukan.
Energi terbarukan juga tergolong mahal dibandingkan dengan energi fosil yang sudah sekian lama berkembang. Namun, Kementerian ESDM mencatat, keekonomian energi terbarukan sudah membaik. Harga jual listrik pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) di Sulawesi Selatan, misalnya, yang menurun dari 10,9 sen dollar AS per per kilowatt jam (kWh) pada 2016 menjadi 6 sen per kWh untuk 2024.
Baca juga: Kebijakan Energi Diperbarui, Peran Batubara Bakal Dipangkas
Adapun harga jual listrik pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung di Waduk Cirata, Jawa Barat, 5,8 sen dollar AS per kWh. Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, kondisi itu membuat jenis energi tersebut mulai bisa bersaing dengan energi fosil, seperti batubara. ”Apakah EBT ini kompetitif? Sekarang tendensinya ke situ,” katanya, pekan lalu.
Di sisi lain, harga batubara masih ”disubsidi” melalui kebijakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO), yang juga untuk menjamin kondisi kelistrikan nasional. Batubara yang dipasok untuk kebutuhan pembangkit tenaga listrik tenaga uap (PLTU) dipatok 70 dollar AS per ton. Artinya, harga DMO batubara tidak akan terpengaruh harga batubara internasional yang nilainya jauh lebih tinggi.
Adapun sejumlah strategi yang disiapkan Kementerian ESDM, di antaranya, ialah peningkatan kapasitas pembangkit energi terbarukan, implementasi program PLTS atap, mandatori biodiesel B35/B40, dan program co-firing biomassa pada PLTU. Selain itu, pemanfaatan energi terbarukan off-grid (luar jaringan PLN) serta eksplorasi panas bumi oleh pemerintah.
Menteri ESDM Arifin Tasrif menyebut, dari target 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi primer pada 2025, saat ini baru tercapai sekitar setengahnya atau masih jauh jika melihat waktu tersisa yang dua tahun lagi. Oleh karena itu, yang perlu digenjot ialah permintaan (demand) serta pembangunan transmisi kelistrikan untuk mengakses energi terbarukan.
RUU EBET
Di tengah berbagai upaya untuk meningkatkan realisasi energi terbarukan, ada harapan besar pada Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET). RUU tersebut sebenarnya diharapkan tuntas sebelum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada November 2022, tetapi mundur. Pada 2023, RUU tersebut juga molor sehingga belum disahkan hingga pengujung tahun ini.
Semua daftar inventarisasi masalah (DIM) sejatinya selesai dibahas oleh tim panitia kerja, pemerintah dan Komisi VII DPR. Namun, masih perlu diharmonisasi. Pemerintah telah menyampaikan pandangan terhadap RUU EBET kepada Komisi VII DPR pada Senin (20/11/2023). Namun, dalam beberapa pokok persoalan, internal pemerintah, antarkementerian, belum satu suara.
RUU EBET memuat, antara lain, mekanisme nilai ekonomi karbon, substansi amonia sebagai salah satu sumber energi baru, dan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) pada energi terbarukan. Selain itu, urgensi pembentukan badan khusus energi terbarukan dan penggunaan dana energi baru dan energi terbarukan. Juga kerja sama jaringan atau sistem sewa transmisi milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau power wheeling.
Tarik-menarik soal power wheeling rupanya belum usai. Kementerian ESDM mendorong agar power wheeling bisa dimuat dalam RUU EBET supaya pemanfaatan energi terbarukan teroptimalkan. Sebelumnya, awal 2023, pemerintah, lintas kementerian, bersepakat tak memasukkan skema itu dalam DIM RUU EBET karena dianggap dapat membebani keuangan negara dan PLN.
Oleh karena itu, tahun 2024 akan menentukan sejauh mana perjalanan RUU EBET untuk disahkan menjadi undang-undang. Apabila pembahasan berjalan mulus hingga disahkan, UU itu akan menjadi acuan regulasi untuk mengakselerasi energi terbarukan. Sebaliknya, jika masih pembahasan masih alot, pengesahannya terancam terus tertunda. Tantangan lainnya: tahun 2024 merupakan tahun politik lantaran ada hajatan pemilu.
Selain itu, pada 2024, Dewan Energi Nasional (DEN) menargetkan disahkannya pembaruan Kebijakan Energi Nasional (KEN). Adapun KEN yang berlaku saat ini berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014. Namun, target dalam KEN sulit untuk tercapai karena asumsi pertumbuhan ekonomi yang meleset (asumsi pertumbuhan ekonomi dalam KEN sebesar 7-8 persen per tahun).
Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) KEN, ada sejumlah perubahan dibandingkan dengan KEN sebelumnya. Misalnya, jika sebelumnya porsi energi terbarukan 30 persen dan fosil 70 persen, kini sebaliknya, yakni energi terbarukan 70 persen dan fosil 30 persen. Di sisi lain, ada penyesuaian target. Pada 2025, target energi terbarukan dalam bauran energi primer tak lagi 23 persen, tetapi 17-19 persen.
”
affordable
”
Fokus
Pakar energi sekaligus Guru Besar bidang Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Deendarlianto mengatakan, pascapandemi Covid-19, permintaan (demand) energi tumbuh, salah satunya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Artinya, energi akan dikonsumsi lebih banyak. Dalam hal ini, sayangnya energi terbarukan belum bisa bersaing dengan fosil.
Harga DMO batubara yang dipatok 70 dollar AS per ton, guna memastikan pasokan listrik nasional, dinilai sebagai sesuatu yang perlu. Namun, kala para pengusaha batubara lebih senang menjual produknya ke luar negeri karena harga internasional lebih tinggi, seperti yang terjadi pada 2022, seharusnya menjadi cambuk pengembangan energi lain.
Baca juga: Energi Terbarukan Harus Fokus pada Potensi Lokal
”Tingginya harga batubara internasional seharusnya mendorong kita untuk memacu energi terbarukan (tidak bergantung pada satu jenis sumber energi). Teknologi serta inovasi perlu terus disiapkan, termasuk hidrogen. Selain itu, investasi swasta juga mesti masuk dan tak semua dilakukan pemerintah. Kunci semua itu ialah regulasi yang praktis dan menjadi daya tarik investasi,” ujarnya.
Lebih jauh, Deendarlianto menilai perlu strategi pengembangan energi terbarukan yang khusus, fokus, dan terencana dengan matang. Saat ini, ia melihat belum ada strategi yang betul-betul matang dan mengarah pada pengembangan energi terbarukan secara berkelanjutan. Berubah-ubahnya kebijakan, pada pemerintahan yang berbeda, membuat segalanya tidak pasti.
Kendati masih banyak hambatan dan tantangan, energi terbarukan sejatinya berkait dengan masa depan lingkungan dan bumi. Potensi yang melimpah di dalam negeri mesti dioptimalkan di atas perencanaan matang, berkelanjutan, dan inklusif. RUU EBET menjadi harapan dalam meniti langkah menuju target emisi nol bersih (net zero emission/NZE) 2060. Lebih dari itu, implementasinyalah yang krusial.