Kebijakan Energi Diperbarui, Peran Batubara Bakal Dipangkas
Penyusunan draf Rancangan PP Kebijakan Energi Nasional oleh Dewan Energi Nasional telah tuntas. Kemudian, akan memerlukan beberapa proses berikutnya hingga PP KEN yang baru akan ditetapkan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Energi Nasional atau DEN telah merampungkan draf Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional, yang nantinya akan memperbarui regulasi yang lama. Peran energi fosil, yaitu minyak dan batubara, akan diminimalkan.
Kebijakan energi yang berlaku saat ini mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. PP ini menyebutkan, dalam memproyeksikan kebutuhan energi nasional hingga 2050, diperhitungkan parameter yang berpengaruh dan asumsi yang digunakan.
Anggota DEN dari unsur pemangku kepentingan, Herman Darnel Ibrahim, dalam Energy Transition Conference and Exhibition di Jakarta, Rabu (18/10/2023), mengatakan, penyusunan draf Rancangan PP Kebijakan Energi Nasional telah tuntas. Kemudian, akan memerlukan beberapa proses berikutnya hingga PP KEN yang baru akan ditetapkan.
”Tekanannya adalah grand strategy dalam mengutamakan keamanan pasokan dan keterjangkauan harga. Kemudian, meningkatkan serta menjaga konservasi dan efisiensi energi berlangsung di semua aktivitas masyarakat,” ujar Herman.
Seperti KEN sebelumnya, KEN terbaru juga akan memaksimalkan peran energi terbarukan dan meminimalkan energi fosil. ”Kalau di KEN sebelumnya (pengurangan fosil) hanya pada bahan bakar minyak (BBM), sekarang batubara juga. Sementara gas menjadi energi yang digunakan sementara dalam transisi,” ujar Herman. Juga ada penggunaan energi nuklir untuk menyeimbangkan dan mencapai target dekarbonisasi.
Hal tersebut bagian dari upaya menjawab tantangan transisi energi di Indonesia. ”Tantangannya antara lain penyediaan dan penguasaan teknologi terutama sistem ketenagalistrikan untuk menerima energi terbarukan yang intermiten (bergantung cuaca). Lalu, dukungan pendanaan, kesiapan sumber daya manusia, strategi dekarbonisasi, serta konsistensi kebijakan dan regulasi,” katanya.
Sementara itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) juga masih dalam pembahasan rapat panitia kerja pemerintah dan DPR. Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Nasdem Sugeng Suparwoto mengatakan, progres RUU itu terbilang lambat, antara lain karena ada perdebatan di pemerintah, antar-kementerian, terkait power wheeling. Hal itu membuat daftar inventarisasi masalah (DIM) lama tak diserahkan kembali oleh pemerintah ke DPR.
Power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan listrik akhirnya tak dimasukkan ke dalam DIM dan pembahasan oleh panitia kerja RUU EBET, yang terdiri dari pemerintah dan DPR. ”Pada masa reses sekarang pun sebenarnya bisa dilanjut. Namun, karena satu dan lain hal, akan masuk dalam masa sidang (berikutnya) 3 November 2023,” ujar Sugeng.
Ia mengemukakan, selain menjalankan fungai legislasi, penganggaran, dan pengawasan, DPR juga siap menjalankan fungsi lain yang penyelesaian masalah (problem solving). Menurut Sugeng, apa saja yang menjadi hambatan dalam pengembangan energi ke depan dapat didiskusikan di Komisi VII, baik dari sisi politis maupun terkait dengan keekonomian.
Inklusif dan berkelanjutan
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menuturkan, ketahanan energi dan transisi energi ialah dua fokus kunci dalam kebijakan pembangunan sektor energi untuk mencapai emisi nol bersih (NZE) 2060. Itu juga mesti disertai penyediaan sisi suplai energi yang berkeadilan, inklusif, dan berkelanjutan.
”Ke depan, kita tidak bisa lagi mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi tidak memperhatikan soal pengurangan emisi. Pertumbuhan ekonomi dan pengurangan emisi itu bisa kita lakukan bersama dengan adanya transisi energi,” ujar Suharso.
Suharso menuturkan, dalam transisi energi, cara-cara konvensional mesti ditinggalkan demi terciptanya peluang ekonomi yang lebih baik. Energi bersih secara kelayakan (feasibility) finansial tergolong mahal. Namun, pemerintah akan melihatnya dari sisi kesinambungan (viability). Sebab, hal-hal itu akan bersentuhan dengan semua sektor pembangunan.
Di sisi lain, masih ada pekerjaan rumah, salah satunya dalam pengakhiran dini operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara. ”Ada masalah teknologi dan refinancing. Bappenas terus mendorong blended financing (pembiayaan campuran). Kami juga berharap konsumsi bahan bakar fosil berkurang dan menurunkan importasi (minyak mentah dan BBM) kita,” ujarnya.
Apalagi, kata Suharso, harga energi fosil di tingkat global terus berfluktuasi. Setelah terdampak konflik bersenjata Rusia-Ukraina pada 2022, tahun ini juga meletus perang Hamas dengan Israel, yang berpotensi menyebabkan kondisi serupa. Oleh karena itu, ketergantungan pada harga energi fosil yang masih diimpor Indonesia mesti dikurangi.