PHK Mendominasi Kasus Hubungan Industrial
Ada tren kenaikan pengaduan. Diduga, itu dipengaruhi oleh tingginya kesadaran pekerja terhadap hak-hak mereka.
JAKARTA, KOMPAS — Kasus pemutusan hubungan kerja atau PHK mendominasi kasus hubungan industrial selama tahun 2023. Penyelesaian secara mediasi masih menjadi favorit. Posisi serikat pekerja perlu diperkuat untuk memperkuat posisi pekerja agar lebih lanjut bisa ambil bagian dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kepala Pusat Pengembangan Kebijakan Ketenagakerjaan Kementerian Tenaga Kerja Muhyiddin, Sabtu (3/2/2024), di Jakarta, mengatakan, pada Januari - Desember 2023 terjadi lebih dari 10.000 kasus hubungan industrial. Sebanyak 7.275 kasus merupakan kasus perselisian PHK, 2.554 kasus perselisihan hak, 387 kasus perselisihan kepentingan, dan 51 kasus perselisihan antarserikat pekerja/buruh.
”Khusus kasus perselisihan PHK, dari total 7.275 kasus, terdapat 1.153 kasus diselesaikan secara bipartit, 5.942 kasus selesai dengan mediasi, dan 3 kasus selesai karena putusan pengadilan. Masih sisa 177 kasus yang belum selesai,” ujarnya.
Di luar kasus perselisihan PHK, kasus yang berhasil diselesaikan melalui mekanisme bipartit mencapai 1.734 kasus, selesai dengan mediasi 8.236 kasus, dan selesai karena diputuskan hakim pengadilan hubungan industrial 3 kasus.
Menurut Muhyiddin, ada tren kenaikan pengaduan. Dia menduga itu dipengaruhi oleh tingginya kesadaran pekerja terhadap hak-hak mereka. ”Kalau melihat penyelesaian kasus melalui bipartit dan mediasi yang mencapai 97,52 persen, kami rasa dua cara itu sudah optimal,” kata Muhyiddin.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Anis Hidayah, mengatakan, dari 5.301 pengaduan dugaan pelanggaran hak asasi manusia sepanjang 2022 yang masuk ke Komnas HAM, sebanyak 171 pengaduan merupakan pengaduan ketenagakerjaan. Kasus-kasus ketenagakerjaan yang diadukan ke Komnas HAM antara lain pemberangusan serikat pekerja, pemotongan upah tanpa persetujuan, upah tidak layak, dan kasus kecelakaan kerja di smelter nikel Morowali.
”Kasus ketenagakerjaan termasuk salah satu kasus yang selama ini cukup banyak dilaporkan baik oleh individu pekerja maupun serikat pekerja/buruh. Pengaduan mereka masuk ke Komnas HAM sejak lama,” ujarnya.
Anis menilai, banyaknya kasus ketenagakerjaan yang masuk ke Komnas HAM menunjukkan kebijakan ketenagakerjaan belum mampu menciptakan kesejahteraan pekerja. Apalagi, pasca-Omnibus Law Cipta Kerja, kondisi pekerja semakin penuh tantangan. Ia bahkan meminta Omnibus Law Cipta Kerja dikaji ulang.
Baca juga: Satu Dekade, Tren Kenaikan Upah Minimum Buruh Terus Merosot
Di tengah tekanan ekonomi terutama pada sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) serta alas kaki, kondisi pekerja pabrik relatif tidak ada perubahan satu dekade terakhir. Praktik kerja kontrak, kekerasan berbasis jender, dan tidak dapat cuti melahirkan masih kerap ditemui.
Aktivis buruh Kokom Komalawati memberi contoh, pada Februari 2023 sempat viral kasus lembur paksa di salah satu pabrik manufaktur di Jawa Tengah yang kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat dan daerah. Namun, pabrik yang sama kemudian melakukan pelanggaran norma perburuhan lainnya, seperti ancaman berserikat, mutasi dan demosi sepihak, dan PHK dengan dalih habis kontrak.
”Sekarang berkembang relokasi pabrik alas kaki dan TPT. Pabrik direlokasi, membawa pesanan dari brand, dan menerapkan kondisi sistem kerja yang sama,” katanya.
Baca juga: Buruh Penggerak Industri yang Kian Terpinggirkan
Dalam kondisi itu, lanjut Kokom, pergerakan serikat pekerja/buruh secara umum justru cenderung elitis terutama dalam satu dekade terakhir. Hal itu dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Regulasi diduga membuat pekerja susah berserikat. Di sisi lain belum banyak serikat yang membuat terobosan inovasi sehingga berdampak pada pekerja.
Salah satu serikat pekerja yang rajin memberdayakan anggotanya bahkan masyarakat sekitar adalah serikat pekerja Panasonic Gobel (FSPPG) di Cipayung, Jakarta Timur. Serikat yang beranggotakan 5.000 orang itu selain bertugas menyelesaikan hubungan industrial, yang kebanyakan selesai dengan mediasi, juga memiliki balai latihan kerja (BLK) komunitas terkait mesin pendingin. Aset puluhan miliar itu mereka bangun dari iuran anggota, bantuan pemerintah, dan pemilik perusahaan. Hingga kini, sudah 8.000 lebih peserta yang ikut pelatihan di sana. Serikat juga menyelenggarakan pelatihan internal karyawan, mulai dari menjadi outbound trainer, kelas memasak, hingga parenting.
Serikat mengawal kinerja anggotanya agar mencapai tujuan perusahaan. Saat kinerja perusahaan meningkat, kesejahteraan mereka pun menanjak. ”Bahkan, di masa Covid-19 pun kami bisa berproduksi karena serikat dan manajemen bahu-membahu menjaga diri, di saat yang lain tutup, serikat pekerja menjaga. Di masa itu, karena tingginya permintaan barang, bonus diberikan sampai 9 kali gaji,” kata Presiden Federasi Serikat Pekerja Panasonic Gobel (FSPPG) Djoko Wahyudi.
Namun, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan, Indrasari Tjandraningsih, mengatakan, selama satu dekade terakhir, pergerakan dan ruang gerak serikat pekerja/buruh semakin terbatas sebagai dampak dari kebijakan pemerintah melalui regulasi tentang pengupahan yang tercantum di PP No 78/2015 serta Omnibus Law Cipta Kerja dan PP turunannya. Pembatasan ini harus ditarik mundur. Sejak UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, sistem alih daya dalam produksi dilegalkan sehingga perekrutan pekerja untuk mengisi pos kerja kontrak meluas.
”Pekerja takut berserikat karena takut tidak diperpanjang kontraknya dan kehilangan pekerjaan. Ibarat main biliar, kebijakan pemerintah lewat hubungan kerja kontrak menghantam sekaligus tiga hal, yaitu kepastian kerja, minat berserikat, dan hak berunding serikat pekerja,” ujarnya. Kekuatan serikat pekerja adalah pada keanggotaan. Jika keanggotaan semakin rendah, semakin hilang pula kekuatan, pengaruh, dan kesempatan berundingnya.
Baca juga: Pekerja Muda Enggan Bergabung dengan Serikat Pekerja
Seperti diketahui, serikat pekerja berada di berbagai level nasional, provinsi, dan daerah, serta pabrik. Ketiga level itu memiliki peran yang berbeda. Di level nasional ada konfederasi yang fungsinya di arena kebijakan. Di tingkat pabrik pengurus serikat, perannya adalah berunding dengan pengusaha mengenai aturan hubungan kerja di pabrik/perusahaan.
Dalam dua dekade terakhir, lanjutnya, serikat pekerja/buruh tetap memperjuangkan kepentingan pekerja, tetapi dalam kondisi yang lebih sulit. Pasalnya, keberpihakan dan pengakuan pemerintah terhadap serikat buruh semakin hilang.
”Serikat pekerja/buruh perlu lebih terlibat dalam proses kebijakan ketenagakerjaan secara proaktif, tidak hanya reaktif. Melobi kebijakan dengan cara yang strategis dan efektif melalui konsep-konsep alternatif mengenai pentingnya perlindungan pekerja untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pentingnya kebijakan ketenagakerjaan yang lebih adil. Serikat pekerja juga perlu memperkuat diri dengan data,” tutur Indrasari.
Serikat pekerja/buruh perlu lebih terlibat dalam proses kebijakan ketenagakerjaan secara proaktif, tidak hanya reaktif.
Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker Indah Anggoro Putri menyampaikan, terkait PHK, Kemenaker selalu memandang bahwa PHK merupakan jalan terakhir dan satu-satunya jika bisnis mengalami masalah ketahanan finansial. Implementasinya pun harus berdasarkan kesepakatan dengan pekerja atau serikat pekerja. Hak dan kewajiban pekerja - pengusaha harus diselesaikan dalam proses PHK.
Upaya menahan pengambilan keputusan PHK, Kemenaker selalu menyarankan beberapa hal. Pertama, manajemen harus mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat diefisiensikan, seperti semua kerja di jam normatif saja dan bonus tahunan dihilangkan. Semuanya itu harus disampaikan dan disepakati pekerja atau serikat pekerja.
Hal kedua, pekerjaan dengan pihak ketiga, termasuk alih daya, bisa dikurangi atau dihapus. Terakhir, manajemen bisa menjual aset-aset pasif perusahaan untuk menahan kekuatan perusahaan.
Pelaksana Tugas Harian Ketua Umum Kadin Indonesia Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan, semisal ada keluhan pelanggaran ketenagakerjaan yang dilaporkan kepada pelaku usaha anggota Kadin, maka lembaganya akan melakukan mediasi.
”Sebagai bentuk mitigasi, kami terbuka untuk melakukan komunikasi dengan teman-teman di sektor tenaga kerja. Kami pun selalu menjembatani ekspektasi teman-teman di dunia usaha dan ekspektasi teman-teman tenaga kerja,” ujar Yukki.
Yukki menilai, satu hal yang sangat penting untuk mencegah terjadinya konflik antara pelaku usaha dan tenaga kerja adalah transparansi. Komunikasi yang inklusif serta keterbukaan di antara dunia usaha dengan tenaga kerja penting untuk menghilangkan kesenjangan ekspektasi yang tinggi antara perusahaan dan buruh.
Baca juga: Kadin dan Pemerintah Jaga Kinerja Ekspor dan Investasi
Beberapa sektor yang tengah mengalami kondisi sunset industry diharapkan membuka kondisi ini kepada para tenaga kerja mereka. Pasalnya, dari sisi kebutuhan hidup para tenaga kerja setiap tahunnya akan selalu mengalami peningkatan.
”Nah, ini yang butuh transparansi, perlu diberikan pemahaman secara terbuka. Kadang-kadang, ekspektasinyaenggak ketemu, makanya ada yang namanya program pensiun dini, kesepakatan bila terjadi PHK kalau perusahaan tidak berkembang atau tutup semua sudah diatur berbasis pada ketentuan,” ujarnya.
Persoalan terkait upah, misalnya, yang terus menjadi perhatian industri dan pengusaha di Indonesia ataupun pengusaha yang akan melakukan investasi di Indonesia. Bagi pengusaha, hal ini juga menjadi tolok ukur dunia usaha untuk melakukan ekspansi bisnis atau investasi di Indonesia.