Harga Pangan Dunia Cenderung Turun kendati Risiko Masih Ada
Harga pangan dunia diperkirakan akan semakin turun pada 2024 dan 2025, masing-masing sebesar 2 persen dan 3 persen.
Harga sejumlah komoditas pangan dunia, kecuali beras, terus turun seiring membaiknya prospek pasokan global. Kendati begitu, sejumlah risiko masih ada, seperti dampak perubahan cuaca, pembatasan perdagangan, dan hambatan distribusi.
Hal ini terungkap dalam hasil pemantauan pasar Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) bersama lembaga pengelola Sistem Informasi Pasar Pertanian (AMIS) G20 pada 5 Februari 2024 serta analisis pangan Bank Dunia pada akhir Januari 2024. Ketiga lembaga dunia itu menyebutkan, pasar komoditas pangan pada awal tahun relatif tenang atau tidak terlalu bergejolak.
Pasar komoditas pangan pada awal tahun relatif tenang atau tidak terlalu bergejolak.
Harga gandum, jagung, dan kedelai berada di titik terendah dibandingkan dengan dua tahun terakhir. Gandum, misalnya, per Januari 2024, harga rata-ratanya sebesar 283,9 dollar AS per ton. Harga tersebut lebih rendah dibandingkan dengan harga rerata gandum pada 2022 dan 2023, masing-masing senilai 430 dollar AS per ton dan 340,4 dollar AS per ton.
Demikian juga kedelai. Per Januari 2024, harga rata-rata kedelai mencapai 547 dollar AS per ton. Harga tersebut telah turun dibandingkan dengan harga rerata kedelai pada 2022 dan 2024 yang masing-masing 675 dollar AS per ton dan 598 dollar AS per ton.
Tren penurunan harga gandum dan kedelai pada tahun ini tidak terlepas dari sentimen positif pasar atas pembaruan proyeksi produksi kedua komoditas itu. Produksi gandum yang semula diperkirakan sebanyak 787,1 juta ton direvisi menjadi 788,5 juta ton lantaran panen gandum di Kanada meningkat.
Adapun kedelai, produksinya diperkirakan berubah tipis dari 395,2 juta ton menjadi 395,5 juta ton. Gangguan produksi kedelai di Brasil mampu dikompensasi oleh sedikit peningkatan produksi di Argentina dan Amerika Serikat.
Baca juga: Bappenas: RI dan Dunia Hadapi Tiga Isu Prioritas Pangan
Namun, khusus beras, harganya cenderung tinggi. Per Januari 2024, harga rerata beras Thailand dengan kadar pecah 5 persen mencapai 660 dollar AS per ton. Harga tersebut jauh di atas harga rerata beras pada 2022 dan 2023 yang masing-masing 436,8 dollar AS per ton dan 553,7 dollar AS per ton.
Kenaikan harga beras dunia itu terjadi lantaran produksi beras dunia turun akibat dampak El Nino. FAO dan AMIS memangkas proyeksi produksi beras 2023/2024, dari 524,9 juta ton menjadi 524,6 juta ton.
Selain itu, kenaikan harga beras juga dipicu oleh pengetatan kebijakan ekspor beras India. India membatasi ekspor beras putih non-Basmati, mengenakan bea masuk beras pratanak sebesar 20 persen, dan menetapkan harga ekspor minimum beras Basmati sebesar 950 dollar AS per ton.
Melemah sepanjang 2023
Ekonom senior Bidang Pertanian World Bank’s Prospects Group, John Baffes, mengatakan, secara umum, indeks harga pangan telah melemah sepanjang 2023, rerata 9 persen lebih rendah dibandingkan dengan 2022. Penurunan indeks tersebut mencerminkan tingginya panen meskipun Prakarsa Biji-bijian Laut Hitam tidak diperbarui, serta sejumlah pembatasan perdagangan pangan dan dampak El Nino masih berlanjut.
”Harga pangan global diperkirakan akan semakin turun pada 2024 dan 2025, masing-masing sebesar 2 persen dan 3 persen, seiring dengan membaiknya prospek pasokan global,” ujarnya dalam ulasannya tentang ”Food Prices Mirroring Past Peaks Despite Continuous Drop”.
Harga pangan global diperkirakan akan semakin turun pada 2024 dan 2025, masing-masing sebesar 2 persen dan 3 persen, seiring dengan membaiknya prospek pasokan global.
Kendati begitu, AMIS dan Bank Dunia menekankan masih ada beberapa risiko yang perlu dicermati dan dimitigasi. Pertama, harga beras yang masih tinggi akibat penurunan produksi dan pembatasan ekspor.
Kedua, gangguan rantai pasok global di Terusan Panama dan Laut Merah. Ketiga, perubahan cuaca yang akan memengaruhi musim tanam dan panen pada tahun ini.
Beras dan minyak goreng
Di Indonesia, harga sejumlah komoditas pangan masih tinggi dan cenderung naik. Dua di antaranya adalah beras dan minyak goreng. Hal itu terungkap dalam Rapat Pengendalian Inflasi Daerah yang digelar Kementerian Dalam Negeri secara hibrida di Jakarta, Senin (5/2/2024).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada pekan pertama Februari 2024, harga rata-rata nasional beras mencapai Rp 14.107 per kilogram (kg), naik 0,93 persen dalam sepekan. Harga tersebut jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah Rp 10.900-Rp 11.800 per kg berdasarkan zonasi.
Baca juga: Potensi Surplus Beras Dihantui Risiko Banjir dan Bera
Adapun harga rerata minyak goreng pada pekan pertama Februari 2024 Rp 17.571 per liter, naik 0,25 persen secara mingguan. Harga tersebut di atas HET minyak goreng untuk rakyat yang ditetapkan pemerintah Rp 14.500 per liter.
Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, harga beras naik lantaran stok beras lebih rendah dibandingkan dengan permintaan. Rendahnya stok beras itu dipengaruhi oleh penurunan produksi gabah kering giling (GKG) pada Januari-Februari 2024.
Baca juga: Alarm Disrupsi Perdagangan Dunia Berbunyi
”Produksi GKG diperkirakan baru akan meningkat pada Maret 2024. Peningkatan produksi itu akan membuat neraca produksi dan konsumsi beras mulai surplus pada bulan tersebut,” katanya.
BPS memperkirakan, pada Januari dan Februari 2024, neraca produksi dan konsumsi beras defisit masing-masing sebesar 1,63 juta ton dan 1,15 juta ton. Neraca beras diproyeksikan baru akan surplus beras pada Maret 2024, yakni sebesar 970.000 ton. Surplus beras tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan Maret 2023 yang mencapai 2,59 juta ton.
Kewajiban pasok domestik
Sementara itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyatakan kenaikan harga minyak goreng dipengaruhi rendahnya realisasi kewajiban memasok kebutuhan domestik (DMO) minyak goreng. Ini tidak terlepas dari masih menumpuknya hak ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya yang merupakan insentif pemenuhan DMO.
Direktur Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Bambang Wisnubroto mengatakan, sejak November 2023 hingga Januari 2024, realisasi DMO berada di bawah target bulanan 300.000 ton yang ditetapkan pemerintah.
Capaian DMO yang rendah disebabkan oleh menumpuknya hak ekspor CPO dan produk turunannya, yakni mencapai 5,9 juta ton.
Pada November dan Desember 2023, realisasi DMO masing-masing sebesar 85 persen dan 82 persen. Kemudian pada Januari 2024, realisasinya anjlok menjadi 69 persen.
”Capaian DMO yang rendah disebabkan oleh menumpuknya hak ekspor CPO dan produk turunannya, yakni mencapai 5,9 juta ton. Jumlah itu setara tiga bulan ekspor komoditas-komoditas tersebut. Hak ekspor tak digunakan lantaran pasar ekspor masih lesu,” katanya.
Saat ini, pemerintah tengah mencari solusi agar ekspor tetap berjalan berbarengan dengan pemenuhan DMO minyak goreng. DMO minyak goreng diperlukan terutama untuk menjaga stabilitas stok dan harga minyak goreng di dalam negeri, terutama saat Ramadhan-Lebaran nanti.