Industri Pengolahan Masih Jadi Motor Penggerak Ekonomi Indonesia 2023
Industri pengolahan berkontribusi 0,95 persen dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 yang sebesar 5,05 persen.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sektor industri pengolahan atau manufaktur masih menjadi lapangan usaha yang berkontribusi terbesar pada pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023. Hal ini ditopang permintaan domestik dan eksternal yang relatif masih kuat di tengah ketidakpastiaan ekonomi global.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), industri pengolahan berkontribusi 18,67 persen dari total perekonomian Indonesia sepanjang 2023. Adapun sektor ini mencatat pertumbuhan pada 2023 sebesar 4,64 persen secara tahunan. Dengan kinerja tersebut, industri pengolahan berkontribusi sebesar 0,95 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 yang sebesar 5,05 persen.
”Industri pengolahan tumbuh stabil akibat masih kuatnya permintaan domestik dan global,” ujar Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam jumpa pers rilis Berita Resmi Statistik (BRS) Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Jakarta, Senin (5/2/2024).
Hal ini tecermin dari beberapa subsektor industri pengolahan yang mencatatkan pertumbuhan. Industri logam dasar yang bertumbuh 14,17 persen yang dipengaruhi oleh permintaan luar negeri seperti produk logam dasar besi baja. Selain itu, industri barang logam; komputer; barang elektronik; optik; dan peralatan listrik bertumbuh 13,67 persen sejalan dengan peningkatan produksi industri barang logam, bukan mesin, dan peralatan.
Infografik Sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2023
Pertumbuhan juga dicatat industri alat angkutan yang bertumbuh 7,63 persen ditopang dari peningkatan permintaan domestik sepeda motor. Tak hanya itu, sektor industri kertas dan barang dari kertas; percetakan; reproduksi media rekaman juga bertumbuh 4,52 persen didorong oleh kenaikan permintaan percetakan menjelang Pemilu 2024.
Dunia usaha dalam negeri pun tercatat masih menjaga posisi ekspansif. Hal ini tecermin dari Prompt Manufacturing Index (PMI) yang dirilis Bank Indonesia (BI) di mana pada triwulan keempat 2023 berada pada level 51,20 persen. Ini meningkat dibandingkan dengan triwulan ketiga 2023 yang berada pada level 50,06 persen. Indeks di atas 50 persen menunjukkan dunia usaha sedang dalam posisi ekspansi usaha, sedangkan bila indeks di bawah itu menunjukkan sebaliknya.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan, kenyataan bahwa manufaktur masih menjadi kontributor terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB) berdasarkan lapangan usaha seharusnya tidak menjadi hal yang mengejutkan karena ini sudah terjadi lebih dari 30 tahun. ”Bahkan, untuk 2024 pun kami yakin sektor manufaktur masih akan menjadi sektor penyumbang terbesar untuk PDB 2024,” ujar Shinta, Senin.
Namun, menurut Shinta, yang perlu menjadi catatan adalah pertumbuhan industri pengolahan yang masih lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi. Seperti diketahui pada 2023, pertumbuhan industri pengolahan mencapai 4,64 persen sementara pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 5,05 persen.
Padahal, untuk mewujudkan cita-cita Indonesia menjadi negara maju pada 2045, pertumbuhan industri manufaktur perlu dipacu lebih cepat lagi sehingga besarannya lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi. Sebab, dengan kontribusinya yang paling besar, pertumbuhan industri pengolahan yang cepat bisa mendorong perekonomian nasional lebih cepat lagi.
Selama ini, lanjut Shinta, pelaku usaha dan analis ekonomi selalu menyampaikan kekhawatiran terkait adanya deindustrialisasi yang berpotensi makin cepat terjadi apabila iklim usaha dan investasi di sektor manufaktur tidak dibenahi. Pembenahan ini bisa meningkatkan produktivitas dan daya saing.
”Khususnya agar bisa bersaing dengan produk impor yang ada di dalam negeri dan dengan produk serupa di pasar ekspor,” ujarnya.
Menurut dia, apabila Indonesia ingin industri manufaktur terus menjadi motor pendorong pertumbuhan ekonomi, yang perlu dilakukan adalah pembenahan iklim usaha dan investasi di sektor manufaktur nasional.
Selain itu, pemerintah perlu memfasilitasi adopsi teknologi baru seperti mesin otomasi, robot, kecerdasaan buatan, serta teknologi ramah lingkungan bagi industri manufaktur. Ini agar bisa meningkatkan produktivitas secara eksponensial dan bersaing di pasar domestik serta global. Yang tak kalah penting lainnya adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia sektor manufaktur. Selain itu juga mendorong ekosistem industri manufaktur agar berorientasi ekspor.
Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal menambahkan, peran industri pengolahan sebagai kontributor terbesar terhadap perekonomian itu bersifat semu. Sebab, pengategorian yang dilakukan BPS untuk sektor di luar industri pengolahan, antara lain, seperti transportasi dan pergudangan, serta telekomunikasi itu sejatinya termasuk industri jasa.
”Jadi, kalau kategori-kategori di luar industri pengolahan itu ditambahkan dan digabungkan di dalam industri jasa, sejatinya kontribusi industri pengolahan itu bukan yang terbesar,” kata Yose.
Terlepas dari persoalan pengategorian sektor ekonomi itu, Yose juga melihat pertumbuhan industri pengolahan yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi. Ini salah satunya bersumber dari masih rendahnya investasi yang masuk di sektor industri pengolahan.
Investasi yang masuk pun banyak terkonsentrasi hanya di subsektor pengolahan logam karena masifnya program hilirisasi mineral. Namun, di sektor lainnya, investasi yang masuk relatif sepi.
Selain itu, investasi yang masuk di subsektor industri logam ini pun cenderung padat modal bukan padat karya sehingga kurang optimal dalam menggulirkan pertumbuhan ekonomi. Padahal, Indonesia masih memerlukan investasi industri manufaktur yang bersifat padat karya sehingga menyerap lapangan kerja lebih luas seperti industri tekstil produk tekstil dan alas kaki.