Target 23 persen energi terbauran dalam bauran energi primer pada 2025 nyaris tidak mungkin terkejar.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
Target porsi energiterbarukan sebesar 23 persen dalam bauran energi primer pada 2025 muskil dikejar. Sebab, hingga akhir 2023, realisasinya baru 13,1 persen atau meningkat hanya 0,8 persen dari 2022. Kini, mencuat rencana penurunan target menjadi 17-19 persen energi terbarukan pada 2025 yang akan dituangkan dalam revisi Kebijakan Energi Nasional. Realistis atau pelemahan komitmen?
Mengacu data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), masih rendahnya bagian (share) energi terbarukan dalam bauran energi primer tak terlepas dari kenyataan energi bersih belum mampu beradu cepat dengan energi fosil, khususnya batubara yang porsinya meningkat dari 38,4 persen (2022) menjadi 40,46 persen (2023). Adapun minyak bumi turun dari 32,9 persen menjadi 30,18 persen, begitu juga gas bumi dari 16,4 persen menjadi 16,3 persen.
Bagaimana tidak, realisasi produksi batubara Indonesia pada 2023 mencapai 775,2 juta ton atau tertinggi sepanjang sejarah. Hal itu dipicu, antara lain, meningkatnya permintaan dari domestik dan mancanegara. Harga pun terjaga. Pemerintah memperkirakan kondisi produksi batubara serupa masih akan terjadi hingga 2035 sebelum kemudian menurun. Di sisi lain, sejumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru juga mulai beroperasi.
Saat produksi batubara digenjot, pemanfaatan atau konsumsi energi terbarukan belum terakselerasi optimal meskipun ada kenaikan dari 217 juta barel setara minyak (BOE) pada 2022 menjadi 238,1 juta BOE pada 2023. Di sektor pembangkitan listrik, ada penambahan 539 megawatt (MW) kapasitas terpasang energi terbarukan yang membuat realisasinya menjadi 13.155 MW pada 2023.
Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM mencatat beberapa faktor yang membuat energi terbarukan belum optimal. Di antaranya, mundurnya operasi sejumlah pembangkit energi terbarukan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 serta kendala tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
Seiring digenjotnya pertumbuhan ekonomi nasional, sementara jenis energi yang banyak tersedia masih didominasi fosil, bagaimana nasib target 23 persen energi terbarukan pada 2025?
Dewan Energi Nasional (DEN) telah menyusun sejumlah skenario yang tertuang dalam draf rancangan peraturan pemerintah (RPP) pembaruan Kebijakan Ekonomi Nasional (KEN), salah satunya adalah penurunan target menjadi 17-19 persen energi terbarukan dalam bauran energi primer pada 2025. Pertimbangan utamanya, tak tercapainya asumsi pertumbuhan ekonomi dalam KEN, yakni 7-8 persen. Pada RPP pembaruan KEN, pertumbuhan ekonomi disesuaikan pascapandemi Covid-19, yakni 4-5 persen.
Namun, Kementerian ESDM enggan berbicara tentang target energi terbarukan dalam draf RPP pembaruan KEN. Mereka tetap berpegangan pada KEN yang masih berlaku kini, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014. Target bauran energi terbarukan pada 2025 tetap 23 persen meski tenggat waktu semakin mepet dan realisasi energi terbarukan selalu di bawah target.
Di mata internasional
Melihat dinamika yang terjadi, dengan segala hambatan yang ada, target 23 persen energi terbauran dalam bauran energi primer pada 2025 nyaris tidak mungkin terkejar. Boleh jadi, penurunan target itu merupakan upaya penyesuaian dengan kondisi yang berkembang, juga agar terlepas dari bayang-bayang target 23 persen yang terus menghantui. Apalagi, komitmen Indonesia dalam transisi dari energi fosil ke energi rendah emisi, ”23 persen” kerap digaungkan meski kenyataannya sukar digapai.
Kendati demikian, penurunan target dianggap sebagai pelemahan komitmen yang bisa merembet pada komitmen-komitmen lainnya. Masalahnya, Indonesia punya sederet target dan komitmen dalam transisi energi, termasuk emisi nol bersih (net zero emission/NZE) pada 2060. Target bukan sembarang target. Sebab, negara-negara lain berikrar serupa, meski tahun targetnya berbeda-beda.
Apalagi, dalam Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) atau draf investasi Just Energy Transition Partnership (JETP), disepakati porsi energi terbarukan dalam bauran pembangkit listrik (bukan energi primer) ditarget 44 persen pada 2030. Sementara hingga akhir 2023, realisasinya (energi terbarukan + bahan bakar nabati/BBN) 13,15 persen atau menurun dari 2022 yang 14,12 persen.
JETP ialah komitmen pendanaan senilai 20 miliar dollar AS yang berasal dari dana publik negara-negara maju (International Partners Group/IPG) yang dipimpin Amerika Serikat dan Jepang, serta dari swasta. Pendanaan didominasi pinjaman lunak. Selain pengakhiran dini operasi PLTU batubara, juga dikejar, antara lain, pendanaan pembangunan jaringan transmisi kelistrikan.
Pada akhirnya, berapa pun target energi terbarukan dalam KEN yang baru kelak mesti ditetapkan melalui perencanaan serta permodelan matang. Evaluasi secara menyeluruh terkait gagal terpenuhinya target mendesak dilakukan.
Selain itu, evaluasi juga mesti diikuti keseriusan dalam setiap tahapan, serta lompatan, agar tidak sekadar business as usual. Target pun mesti terintegrasi dengan kebijakan lain, termasuk tahapan beranjak dari energi fosil.
Penurunan target dianggap sebagai pelemahan komitmen yang bisa merembet pada komitmen-komitmen lainnya.
Melesetnya asumsi pertumbuhan ekonomi dalam KEN ataupun dalam program 35.000 MW—yang kemudian menyebabkan kelebihan pasokan listrik di sistem Jawa-Bali—menjadi pelajaran berharga. Keseimbangan pasokan dan permintaan (supply and demand) mesti dipikirkan dan dikaji matang, serta diselaraskan dengan kondisi saat ini dan prediksi pada tahun-tahun mendatang.
Di sisi lain, sederet kendala pengembangan energi terbarukan juga mesti dicarikan solusinya secara bertahap dan berkelanjutan. Bukan di Kementerian Energi saja, tetapi juga berkoordinasi dengan lintas kementerian/lembaga. Pemanfaatan melimpahnya sumber daya lokal yang mendukung ketahanan energi penting. Namun, berpindah ke energi rendah emisi telah menjadi keniscayaan demi terjaganya bumi di masa depan.
Di tengah tahun politik, pada 2024, Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) dikejar untuk disahkan dengan harapan kendala-kendala dapat dipangkas. RPP KEN, yang ditargetkan rampung serta disahkan pada Juni 2024, juga diharapkan tidak molor.
Titik keseimbangan kelak akan menjadi jawaban pemenuhan energi di masa mendatang. Energi yang tersedia berdasarkan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia terjangkau bagi masyarakat, tetapi juga rendah emisi demi keberlanjutan kehidupan manusia di bumi.