Pendanaan pendidikan yang diberikan oleh Danacita diklaim telah memenuhi standar dan bersifat alternatif.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Danacita mengklaim telah memberikan alternatif pembiayaan khusus di bidang pendidikan secara selektif sesuai dengan tingkat risiko dan ketentuan yang berlaku. Di sisi lain, pengalaman dalam memberikan layanan pendanaan pendidikan oleh perusahaan berbasis teknologi finansial tersebut juga dapat menjadi rambu-rambu bagi pemerintah yang tengah membahas skema pinjaman pendidikan atau student loan.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Utama Danacita Alfonsus Wibowo sebagai klarifikasi terhadap mencuatnya polemik yang ramai di media sosial mengenai pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) di Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui skema pinjaman daring (pindar). Danacita dan ITB telah menandatangani memorandum of understanding (MoU) pada 10 Agustus 2023 guna menjalin kerja sama untuk memberikan alternatif pembiayaan UKT.
Seluruh layanan pembiayaan diberikan 100 persen untuk keperluan biaya pendidikan dan bersifat sebagai alternatif pendanaan atau tidak ada unsur paksaan.
Wibowo menegaskan, seluruh layanan pembiayaan diberikan 100 persen untuk keperluan biaya pendidikan dan bersifat sebagai alternatif pendanaan atau tidak ada unsur paksaan. Dengan adanya layanan tersebut, mahasiswa atau orangtua/wali yang mengalami kesulitan biaya diharapkan bisa mendapatkan akses pendidikan.
”Prinsipnya, kami memberikan pembiayaan hanya kepada lembaga pendidikan dan itu (pembiayaan) dilakukan secara langsung atau tidak melalui rekening pribadi dari mahasiswa atau orangtua/wali sehingga dapat tepat guna. Dalam memberikan pembiayaan, kami juga menerapkan prinsip kehati-hatian agar pendanaan yang diberikan sesuai dengan kemampuan dari penerima dana,” katanya pada konferensi pers di Jakarta, Jumat (2/2/2024).
Dalam menyalurkan pembiayaan, Wibowo melanjutkan, Danacita menerapkan analisis dan verifikasi untuk menilai kemampuan penerima dana. Salah satu tolok ukur yang ditetapkan terhadap penerima dana adalah berusia di bawah 21 tahun atau belum memiliki penghasilan. Mereka wajib mengajukan pinjaman bersama dengan orangtua/wali.
Direktur Danacita Harry Noviandry menyebutkan, pihaknya turut menerapkan batas kemampuan membayar penerima pinjaman (repayment capacity) sebesar 50 persen dari penghasilan. Hal ini dilakukan sebagai langkah meminimalkan risiko sekaligus mengedepankan prinsip kehati-hatian.
Salah satu tolok ukur yang ditetapkan terhadap penerima dana adalah berusia di bawah 21 tahun atau belum memiliki penghasilan.
”Memang repayment capacity sebagaimana diatur oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dibuat secara khusus untuk pendanaan konsumtif. Meski bukan kewajiban bagi fintech produktif, kami menerapkan itu (batas repayment capacity) agar dapat lebih prudent dan lebih konservatif,” ujarnya.
Lebih lanjut, Danacita mengenakan suku bunga kredit sebesar 0,07 persen per hari atau setara 25,2 persen per tahun dengan rentang tenor 6-24 bulan. Bunga itu di bawah ambang batas maksimal suku bunga pinjaman daring yang ditetapkan oleh OJK, yakni 0,1 persen per hari untuk jenis pinjaman produktif.
Sebagai Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI), Danacita tercatat telah berizin dan diawasi oleh OJK berdasarkan Keputusan Anggota Komisioner OJK Nomor KEP-68/D.05/2021 per 2 Agustus 2021.
Sejak 2018, Danacita telah menjalin kolaborasi dengan 148 mitra pendidikan dan menyalurkan pinjaman kepada 27.440 penerima dengan total saldo pinjaman per Desember 2023 senilai Rp 375,99 miliar dan tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) atau pinjaman bermasalah sebesar 2,69 persen.
Menurut Harry, keberadaan platform pembiayaan alternatif di bidang pendidikan ini dapat memberikan rambu-rambu bagi pemerintah yang kini tengah membahas skema pinjaman pendidikan (student loan). Terkait dengan hal itu, Danacita selaku pelaku usaha terbuka untuk berdiskusi dengan pemerintah.
”Kami sudah berdiskusi dengan AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia) dan tentunya kami ingin berpartisipasi bukan hanya sebagai bidang industri yang berbeda, melainkan dapat berkolaborasi dengan pemerintah. Kami bisa berbagi pengalaman kami selama enam tahun ini mengenai bagaimana bisnis student loan ini berjalan sehingga posisi kami sebagai sharing partner yang bisa memberikan dosanddon’ts untuk student loan di masa yang akan datang,” lanjut Harry.
Butuh pengawasan
Meski bersifat sebagai alternatif pembiayaan yang tidak mengikat dan dapat menjadi pilihan, keberadaan pinjaman daring untuk keperluan pembiayaan pendidikan tidak lepas dari berbagai risiko. Oleh sebab itu, pemerintah perlu turut menyiapkan skema pembiayaan pendidikan yang tepat sasaran dan tepat guna.
Secara terpisah, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengatakan, skema pendanaan pendidikan melalui platform pinjaman daring memerlukan pengawasan khusus seiring bertambahnya pengguna. Hal ini mengingat terdapat fenomena maraknya gagal bayar oleh penerima pinjaman (borrower) yang didominasi oleh kalangan mahasiswa.
”Pasalnya, pangsa pasar pinjaman daring ini besar dan prosesnya juga mudah, tetapi kualitas calon borrower tidak dipersiapkan dengan baik sehingga dikhawatirkan pada akhirnya akan merugikan industri fintech P2P(peer to peer) lending dan mahasiswa. Di sisi lain, kita juga tidak bisa memungkiri, akses masyarakat ke pembiayaan perbankan masih sangat rendah dengan kebutuhan pembiayaan yang cukup tinggi,” paparnya saat dihubungi dari Jakarta.
Nailul berpendapat, Indonesia terlihat belum berani menerapkan skema pinjaman pendidikan sebagai alternatif pembiayaan melalui pinjaman daring. Berbeda dengan di Amerika Serikat yang menerapkan skema pembayaran cicilan setelah mahasiswa lulus dan bekerja, di Indonesia pembayaran dicicil saat kuliah. Artinya, pembayaran dilakukan orangtua.
Apabila tidak ada kesanggupan dari orangtua untuk melakukan pembayaran cicilan, pinjaman tersebut akan memiliki risiko gagal bayar yang besar. Oleh sebab itu, salah satu solusinya adalah menerapkan skema student loan tanpa bunga atau bunga dibayarkan oleh pemerintah.
”Kita bisa mengadopsi student loan di luar negeri, tetapi harus membebankan pada pajak khusus. Pemerintah bisa menjadi debtors mewakili peserta didiknya dan membayar cicilan itu ke perbankan. Lebih lanjut, pemerintah juga akan mendapatkan skema pajak khusus ketika mahasiswanya bekerja kelak,” tuturnya.