Naik-Turun Harga Nikel dan Potensi Berkah Terselubung
Pasokan berlebih nikel membuat tren harga menurun. Namun, ada potensi produksi bahan baku baterai kendaraan listrik.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA, AGNES THEODORA
·3 menit baca
Turunnya harga nikel belakangan menjadi perbincangan hangat setelah mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Lembong menuturkannya di salah satu siniar. Kondisi kelebihan pasokan atau oversupply produk nikel dari Indonesia, sebagai bagian dari program hilirisasi, disebut menjadi faktor pendorong kondisi itu. Namun, ini juga kesempatan untuk kembali meningkatkan minat pada produksi bahan baku baterai kendaraan listrik
Harga nikel global menunjukkan tren menurun pada 2023, terutama sejak pertengahan tahun. Berdasarkan catatan Trading Economics, harga nikel internasional pada 6 Februari 2023 mencapai 27.563 dollar AS per ton, tetapi kemudian terus turun hingga 16.366 dollar AS per ton pada 25 Desember 2023. Pada akhir triwulan I-2024, harga nikel diperkirakan 15.900 dollar AS per ton.
Harga nikel saat ini nyaris sama dengan triwulan I-2021 atau sekitar setahun setelah pelarangan ekspor bijih nikel pada 2020. Bedanya, kala itu harga justru tengah merangkak naik karena peningkatan permintaan global, sedangkan pasokan terbatas karena Indonesia telah menyetop ekspor bijih nikel. Produk turunan yang bisa diekspor yakni minimal feronikel, nickel pig iron (NPI), ataupun nickel matte.
Analis Industri dan Regional PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Ahmad Zuhdi Dwi Kusuma, Senin (29/1/2024), menyebutkan bahwa gencarnya program hilirisasi nikel oleh Indonesia berpengaruh pada harga. Dalam catatannya, rencana pembangunan smelter pada periode 2020-2024 pun membengkak dari 30 smelter menjadi 111 smelter.
Namun, ia juga menilai ada juga berkah terselubung dari kondisi oversupply dan merosotnya harga nikel. Harga nikel, yang selama ini mahal, memberi tekanan pada produsen lantaran biaya produksi menjadi tinggi. Oleh karena itu, turunnya harga nikel diyakini bisa memberi insentif untuk kembali meningkatkan minat, khususnya untuk jalur bahan baku baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
”Jadi bisa kita ambil sisi positifnya. Dengan harga nikel terkoreksi, barang yang awalnya premium itu jadi murah dan itu bisa memberi insentif untuk pasar kembali ke nikel,” kata Zuhdi saat dihubungi, Senin.
Zuhdi menilai, harga nikel yang selama ini terlalu mahal turut menyebabkan produsen baterai dan mobil listrik beralih dari baterai yang menggunkan nikel ke baterai lithium ferro-phosphate (LFP). Oleh karena itu, turunnya harga nikel pun diyakini kembali menarik minat penggunaan nikel sebagai bahan baku baterai EV.
Adapun produk turunan nikel yang kini membanjiri dunia yakni feronikel dan NPI, yang diproduksi di smelter dengan teknologi rotary kiln electric furnace (RKEF). Nikel jenis itu ada pada jalur baja nirkarat (stainless steel). Sementara produk nikel berupa mixed hidroxyde precipitate (MHP), yang kemudian diolah menjadi nikel sulfat dan kobalt sulfat, dihasilkan oleh smelter berteknologi high pressure acid leaching (HPAL). Produk untuk jalur baterai EV tersebut masih terbatas.
Direktur Pembinaan Program Minerba Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Tri Winarno, dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (16/1/2024), mengakui harga nikel saat ini turun. Dari sebelumnya sekitar 22.000 dollar AS per ton menjadi sekitar 16.000 dollar AS per ton.
Namun, ia menyebutkan bahwa fluktuasi harga tak sepenuhnya bergantung supply-demand. Ada juga pengaruh isu atau faktor-faktor lain, termasuk situasi global.
Hal serupa juga terjadi pada harga batubara internasional saat pemulihan pascapandemi Covid-19 yang melonjak hingga lebih dari 400 dollar AS per ton pada 2022.
Produk antara
Tri menyebut produksi bijih nikel Indonesia pada 2023 sebesar 193,5 juta ton. Menurut data Kementerian ESDM, angka tersebut meningkat dibandingkan produksi tahun 2022 yang mencapai 106,3 juta ton bijih nikel. Adapun pada 2024, produksi bijih nikel diperkirakan meningkat berkisar 5-10 persen dibandingkan 2023, menyusul adanya sejumlah smelter baru yang bakal beroperasi.
Adapun produksi nikel di Indonesia saat ini baru sampai tahap produk antara, yang selanjutnya diekspor.
”(Produksi baru sampai) nickel matte, feronikel, dan nickel pig iron. Itu kan hanya produksi antara. Industri akhirnya masih ada di luar. Harapan kami, hilirisasi akan tercipta multiplier effect (dampak ikutan) dan ada industri lain paling hilir. Namun, (kewenangan) cakupan Kementerian ESDM tak sampai sana (tetapi Kementerian Perindustrian),” kata Tri.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli menuturkan, dampak jangka pendek yang sudah terlihat dari kondisi kelebihan pasokan nikel adalah berhenti sementaranya operasi beberapa perusahaan global. Di Australia, misalnya, menurut dia, penghentian sementara produksi biasa dilakukan saat harga jatuh atau pada kondisi tidak ekonomis.
”Sementara di Indonesia kan belum terasa. Sebagian (smelter) juga masih dalam masa konstruksi. Sebenarnya harga nikel juga jatuh beberapa tahun lalu. Moratorium pembangunan smelter nikel perlu dikaji. Ke depan, juga perlu penyesuaian perencanaan agar ada keseimbangan supply-demand, serta melihat kondisi cadangan nikel kita,” ujar Rizal.