Gaduh Nikel: Diributkan Elite, Dikeluhkan Warga
Saat elite sibuk saling sindir menjelang pemilu, kualitas hidup warga menurun terdampak aktivitas pertambangan nikel.
Akhir tahun 2023 ditutup dengan miris bagi warga yang tinggal di sekitar perairan Halmahera Timur, Maluku Utara. Aktivitas eksplorasi pertambangan nikel yang masif di kawasan tersebut diduga memicu pencemaran lingkungan yang berdampak pada menurunnya kualitas hidup warga setempat.
Video viral yang direkam warga pada Senin (25/12/2023) menunjukkan hamparan laut Halmahera Timur berubah warna menjadi kuning kecokelatan. Air laut yang tercemar itu tampak meluas hingga ke perairan pulau-pulau kecil di sekitar.
Pencemaran diduga akibat kerukan tambang nikel. Dampaknya, warga setempat yang bermata pencarian nelayan pun tidak bisa melaut dan menangkap ikan untuk konsumsi sehari-hari serta dijual.
Baca juga: Pencemaran di Halmahera Terus Terjadi, Eksplorasi Nikel Diminta Berhenti
Kondisi itu juga diulas dalam Laporan Climate Right International (CRI), ”Nickel Unearthed: The Human and Climate Costs of Indonesia’s Nickel Industry” yang dirilis pada 17 Januari 2024. Laporan itu menyebutkan, aktivitas industri nikel raksasa serta pertambangan nikel lainnya di Maluku Utara telah menyebabkan deforestasi serta pencemaran air dan udara yang mengganggu kualitas hidup penduduk lokal.
Tak hanya itu, aktivitas pertambangan juga menghasilkan efek gas rumah kaca berjumlah besar dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) luar jaringan (captive power plant) yang dioperasikan untuk menjalankan smelter peleburan nikel.
Warga Halmahera Timur tidak sendirian. Sebelumnya, warga di Wawonii Tenggara, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, juga mengeluhkan aktivitas tambang nikel yang diduga mencemari sumber air bersih warga.
Wilman (27), warga setempat, menuturkan, sumber air bersih warga di Wawonii telah digunakan selama puluhan tahun. Namun, baru kali ini mata air itu bercampur lumpur, utamanya saat pertambangan terus beraktivitas membuka lahan dan membangun jalan tambang.
Sumber air tersebut biasanya digunakan warga untuk kebutuhan mandi, makan, dan minum. ”Kalau bercampur lumpur begini, kita sudah tidak bisa apa-apa,” katanya (Kompas, 29/5/2023).
Elite saling sindir
Di saat warga kesulitan hidup akibat aktivitas tambang nikel, ribuan kilometer dari Maluku dan Sulawesi para elite politik dan pejabat di Jakarta sibuk saling sindir tentang kebijakan hilirisasi nikel menjelang Pemilihan Umum 2024. Tak hanya berdebat soal substansi, komentar-komentar ad hominem pun saling dilemparkan.
Kegaduhan soal nikel ini muncul pascadebat calon wakil presiden, pekan lalu, saat cawapres nomor urut 02 dan putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, berkali-kali menyentil nama mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong.
Ribuan kilometer dari Maluku dan Sulawesi, para elite politik dan pejabat di Jakarta sibuk saling sindir tentang kebijakan hilirisasi nikel menjelang Pemilu 2024.
Gibran menuduh Tom Lembong, yang kini mengepalai tim sukses pasangan calon nomor urut 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, melakukan kebohongan publik.
Sebelumnya, Tom Lembong menyebut hilirisasi nikel yang merupakan kebijakan andalan pemerintahan Jokowi telah menghancurkan harga nikel dunia. Akibat hilirisasi yang dilakukan RI, stok nikel dunia surplus besar dan membuat harga nikel di pasar global turun sekitar 30 persen dalam satu tahun terakhir. Ia pun menyebut pemerintah melakukan program hilirisasi yang ugal-ugalan.
Lembong pun menyebut nikel sebenarnya mulai ditinggalkan produsen baterai listrik sebagai sumber bahan baku. Sebagian produsen mobil Tesla di China, ujarnya, telah memproduksi baterai berbahan baku lithium iron phosphate (LFP). ”100 persen dari semua mobil Tesla di China telah menggunakan baterai yang mengandung 0 persen nikel dan 0 persen kobalt,” tuturnya dalam podcast ”Total Politik”.
Baca juga: Debat Cawapres, Pelarangan Tambang di Pulau Kecil Perlu Perhatian
Menteri-menteri Jokowi sontak pasang badan. Dalam konferensi pers ”Kinerja Investasi Tahun 2023” yang digelar di gedung Kementerian Investasi/BKPM, Jakarta, Rabu (24/1/2024), Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menghabiskan sampai 32 menit dari total 48 menit paparannya, yang semestinya untuk menjelaskan hasil realisasi investasi tahunan, hanya untuk menjawab dan menyindir Lembong.
Menurut Bahlil, ucapan Lembong bahwa nikel akan ditinggalkan produsen mobil listrik adalah kebohongan publik. LFP, ujarnya, hanya dipakai oleh sebagian mobil Tesla. Jarak tempuh mobil listrik dengan baterai berbahan baku nikel disebutnya masih lebih baik dibandingkan LFP.
Pemain baterai listrik terbesar dunia juga sudah berinvestasi di Indonesia dan masih menggunakan nikel sebagai bahan baku. ”Nikel ini komoditas kritikal dunia. Jadi, jangan dianggap remeh barang ini. Dalam pertarungan diplomasi geopolitik, (posisi nikel) ini luar biasa,” kata Bahlil.
Ia juga membantah anggapan kalau hilirisasi nikel RI membuat harga komoditas itu turun. Menurut dia, harga nikel yang naik turun murni karena mekanisme pasar. Sebaliknya, Indonesia justru diuntungkan oleh hilirisasi nikel karena nilai tambah ekonomi meningkat dan ekspor nikel tumbuh pesat.
Di sisi lain, RI juga mulai menjajaki investasi baterai listrik berbasis LFP setelah ditemukannya cadangan lithium di Grobogan, Jawa Tengah. ”Yang penting negara kita untung,” kata Bahlil.
Gaduh soal nikel akhir-akhir ini bisa dijadikan momen untuk mengevaluasi tata kelola pengembangan industri hilir nikel.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan juga ikut pasang badan lewat unggahan di akun Instagram pribadinya. Ia mengakui, tren penggunaan LFP untuk bahan baku baterai kendaraan listrik memang sedang meningkat. Namun, bukan berarti nikel ditinggalkan.
”Suplai baterai berbasis nikel itu masih dilakukan oleh perusahaan LG (Korea Selatan) untuk model mobil listrik yang diproduksi Tesla di Shanghai,” kata Luhut.
Momen evaluasi
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai, gaduh soal nikel akhir-akhir ini bisa dijadikan momen untuk kembali berkaca soal tata kelola pengembangan industri hilir nikel. Sebenarnya, isu tentang pentingnya evaluasi tata kelola hilirisasi sudah sering diangkat jauh sebelum isu nikel panas dibahas di debat capres-cawapres.
Ia menyoroti empat masalah yang perlu dievaluasi. Pertama, penyerapan tenaga kerja yang belum maksimal. Saat ini, warga lokal belum ikut menikmati dampak multiplier dari hilirisasi nikel karena dianggap tidak memadai dari sisi kapasitas. Kedua, isu pencemaran lingkungan akibat tata kelola tambang yang buruk sehingga justru merusak mata pencarian utama warga.
Baca juga: Kemiskinan Naik di Sentra Pengolahan Nikel, Efek Ganda Hilirisasi Belum Optimal
”Banyak orang lokal tidak cocok masuk dari sisi skill ke industri smelter karena memang belum maksimal disiapkan. Di sisi lain, keberadaan smelter justru merusak mata pencarian warga yang sebelumnya bekerja sebagai petani dan nelayan karena lahan pertanian dan perairan mereka tercemar,” katanya.
Ketiga, isu tata kelola jual-beli nikel yang merugikan pelaku di hulu tambang karena harga bijih nikel yang jauh di bawah harga internasional. Keempat, tren pergeseran industri baterai listrik di masa depan yang perlu diakui tidak selamanya akan bergantung pada nikel belaka, tetapi mulai melirik LFP.
”Jangan sampai kita salah langkah, defensif dan terjebak euforia nikel, padahal dinamika bisa saja berubah dan berpengaruh ke investasi yang sudah ditanamkan. Intinya ada banyak catatan yang semestinya diperbaiki, apalagi kalau ke depan industrialisasi hilir ini akan kita perluas ke komoditas lain juga. Jangan sampai kelemahan di nikel terjadi pada komoditas lain,” katanya.
Peneliti Center of Investment Trade and Industry dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, menambahkan, dampak investasi hilirisasi tambang bernilai jumbo semestinya bisa dimaksimalkan untuk kesejahteraan masyarakat.
”Masalahnya, dengan nilai investasi sebesar itu, pertumbuhan ekonomi kita tetap stagnan. Modal yang masuk besar, tetapi di belakangnya kecil. Ini berarti ada proses yang ’tersumbat’ dan itu yang semestinya bisa dijawab dengan perbaikan tata kelola yang serius,” ujar Heri.