Banjirnya Produk Nikel dan Disorientasi Hilirisasi
Untuk jangka pendek, moratorium smelter dinilai perlu dikaji. Untuk jangka panjang, perlu perencanaan yang matang.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA, AGNES THEODORA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya hilirisasi atau peningkatan nilai tambah nikel dinilai kurang perencanaan matang dari hulu ke hilir. Selain masih belum siapnya industri penyerap di dalam negeri, produk setengah jadi seperti feronikel dan nikel pig iron juga telanjur membanjiri dunia dan turut menyebabkan harga nikel internasional merosot. Ini menjadi pelajaran untuk pengembangan komoditas lain.
Larangan ekspor bijih nikel, sebagai upaya peningkatan nilai tambah, diberlakukan sejak 2020. Sejak itu, bijih nikel wajib diolah di dalam negeri. Apabila sudah menjadi produk turunannya (setengah jadi), seperti feronikel, nikel pig iron, dan nikel matte, baru boleh diekspor.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ada lonjakan volume ekspor feronikel (Kode HS 72026000) dari 1,5 juta ton pada 2019 menjadi 5,7 juta ton pada 2022. Nilainya meningkat dari 2,5 miliar dollar AS pada 2019 menjadi 13,6 miliar dollar AS pada 2022. Ekspor didominasi ke China. Selain itu, India, Korea Selatan, dan Taiwan.
Berdasarkan data Lembaga Survei Geologi Amerika Serikat (United States Geological Survey/USGS), produksi nikel Indonesia pada 2022 diperkirakan 1,6 juta ton setara nikel murni atau meningkat dibandingkan produksi tahun 2021 yang hanya 1 juta ton. Jumlah produksi tahun 2022 itu setara dengan 48,5 persen total produksi dunia, yakni 3,3 juta ton. Adapun cadangan nikel Indonesia diperkirakan 21 juta ton setara nikel murni.
Adapun harga nikel global menunjukkan tren menurun pada 2023. Berdasarkan catatan Trading Economics, harga nikel internasional pada 6 Februari 2023 sebesar 27.563 dollar AS per ton, tetapi kemudian terus turun hingga 16.366 dollar AS per ton pada 25 Desember 2023. Pada akhir triwulan I-2024, harga nikel diperkirakan 15.900 dollar AS per ton.
Analis Industri dan Regional PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Ahmad Zuhdi Dwi Kusuma, Senin (29/1/2024), mengatakan, tak dimungkiri, Indonesia memiliki andil terkait turunnya harga nikel. Per Oktober 2023, produksi nikel Indonesia tumbuh sekitar 12 persen, sedangkan permintaan akan nikel yang mayoritas datang dari China tidak tumbuh terlalu tinggi, hanya di kisaran 16 persen. Itu membuat pasokan nikel tidak terserap dengan maksimal.
Apalagi, pendirian smelter nikel ”membengkak” dari target awal sebanyak 30 smelter pada periode 2020-2024 menjadi 111 smelter. Hal tersebut membuat produksi bertambah lebih tinggi dari yang diperkirakan.
”Meski tumbuh 16 persen, itu di bawah ekspektasi pasar karena awalnya permintaan nikel dari China bisa lebih dari 16 persen secara tahunan per Oktober. Jadi, produksi naik, tetapi konsumsi kurang dengan kondisi ekonomi China yang melambat dengan prospek demand yang lemah itu, wajar terjadi koreksi harga di pasar,” ujar Zuhdi.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli berpendapat, oversupply itu diakibatkan, antara lain, tiadanya perencanaan jangka panjang terkait produksi nikel di Indonesia. Misalnya, mengejar investasi, tetapi kita tidak melihat kondisi supply-demand ke depan. Selain itu, juga keseimbangan nikel dengan jumlah industri yang dibangun. Semakin banyak smelter dibangun, kebutuhan bijih nikel semakin besar. Sementara cadangan nikel pun terbatas.
Oversupply itu diakibatkan, antara lain, tiadanya perencanaan jangka panjang terkait produksi nikel di Indonesia.
Menurut dia, dalam waktu dekat, perlu pengkajian mendalam moratorium pembangunan smelter nikel baru di Indonesia. Bahkan, kalau perlu, yang sudah direncanakan dibatalkan agar pasokan tidak semakin berlebih, kecuali yang sudah dalam tahap konstruksi.
”Untuk jangka panjang, perlu penyesuaian perencanaan. Ini tak hanya nikel, tetapi juga komoditas lainnya. Kalau cadangan terbatas, smelter atau refinery yang kita bangun juga dibatasi agar ada keberlanjutan. Juga, agar asas manfaatnya dirasakan masyarakat secara jangka panjang. Apabila habis dalam 10 tahun, misalnya, harus dipikirkan lagi mau dikemanakan tenaga kerjanya?” ucap Rizal.
Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Akmaluddin Rachim, mengatakan, tujuan hilirisasi mineral sejatinya untuk peningkatan nilai tambah yang seharusnya juga menetes hingga masyarakat terbawah. Dalam perkembangannya, selain oversupply, problem dampak lingkungan masih mendera. Selain itu, persoalan kecelakaan kerja di smelter-smelter nikel berulang terjadi.
”Ada disorientasi hilirisasi terkait nikel ini sehingga perlu dievaluasi serta kaji ulang ke mana arahnya. Pengambilan kebijakan yang salah arah bisa disebabkan karena terlalu bernafsu dalam mendorong penambangan dan hilirisasi nikel,” kata Akmaluddin.
Secara umum, kini ada dua proses pengolahan bijih nikel di Indonesia. Pertama. pirometalurgi dengan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) yang menghasilkan feronikel, nickel pig iron, dan matte. Produk dari smelter jenis RKEF yang saat ini melimpah. Produk setengah jadi ini bagian dari jalur produksi nikel menjadi baja nirkarat (stainless steel).
Kedua, proses hidrometalurgi dengan teknologi high pressure acid leaching (HPAL) yang menghasilkan mixedd hidroxyde precipitate (MHP) untuk kemudian diproses lagi menjadi nikel sulfat dan kobalt sulfat. Smelter jenis ini masih sedikit di Indonesia. Produk smelter ini ada pada jalur produksi nikel untuk bahan baku baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
Kondisi diperhatikan
Deputi Bidang Hilirisasi dan Investasi Strategis Kementerian Investasi/BKPM Heldy Satrya Putera mengatakan, di tengah tren penurunan harga nikel dunia, pemerintah tetap akan memperhatikan kondisi keseimbangan permintaan dan penawaran pasar. Meski demikian, belum ada kepastian terkait wacana moratorium investasi smelter nikel berteknologi RKEF.
Sebelumnya, sejak pertengahan 2023, muncul desakan dari kalangan pengusaha nikel agar pemerintah segera melakukan moratorium smelter nikel setengah jadi karena produksi olahan bijih nikel kadar tinggi, seperti feronikel, nickel pig iron (NPI), dan nickel matte domestik yang sudah berlebih, sehingga berdampak pada menurunnya harga nikel di pasar.
”Tetap kami perhatikan. Kalau memang sudah terlalu banyak suplainya, otomatis (moratorium). Tetapi ini, kan, nanti akan kita ciptakan juga demand-nya, supaya seimbang. Tetapi, (wacana moratorium) ini masih perlu kita bahas bersama untuk keputusannya,” kata Heldy.
Ia mengakui saat ini sudah terjadi oversupply untuk olahan nikel di tier 1. Oleh karena itu, pemerintah sekarang sedang berupaya menarik investasi masuk di pengolahan tier 2. Namun, hal itu tidak mudah karena sifat industri pengolahan tier 2 yang lebih kompleks. ”Bukannya investor belum masuk (ke tier 2). Sudah ada, tetapi perlu persiapan. Apalagi industrinya akan lebih complicated. Butuh persiapan lebih banyak dibandingkan investasi smelter,” ujarnya.
Menurut dia, untuk investasi pengolahan nikel tahap lanjut seperti pabrik baterai sel saat ini sudah mulai berproses. Ia mencontohkan LG dan Hyundai yang sudah mulai tahap awal pembangunan pabrik dan siap memproduksi. ”Sudah masuk persiapan konstruksi, sudah groundbreaking dan bahkan sudah selesai pemasangan tiang pancangnya,” kata Heldy.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengakui, hilirisasi di sektor nikel saat ini baru setengah jadi dengan nilai tambah yang terbatas berkisar 40-50 persen. ”Tetapi, sekarang sudah mulai sampai 70 persen dan ke depan kita ingin mencapai 100 persen, salah satunya lewat ekosistem baterai mobil listrik,” katanya.