KPR 35 Tahun, Membantu atau Membebani?
Skema KPR 35 tahun dianggap berat, tidak menjawab akar masalah, dan justru menjerat generasi muda dalam utang.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tengah menggodok skema kredit pemilikan rumah atau KPR dengan jangka waktu hingga 35 tahun. Rencana KPR 35 tahun ini ditujukan terutama bagi kalangan generasi Z dan milenial untuk bisa membeli rumah.
Peluang KPR 35 tahun itu terbuka lebar bagi generasi Z dan milenial mengingat jumlahnya kini mencapai 75 juta orang. Apalagi, kekurangan perumahan saat ini mencapai 12,7 juta rumah.
Sejumlah pihak menilai tenor yang lebih panjang tersebut akan semakin mengurangi beban cicilan sehingga harga rumah dapat semakin terjangkau.
Namun, bagaimana respons generasi muda?
Baca juga: KPR 35 Tahun Dinilai Jadi Solusi ”Backlog” Rumah
Tidak menarik karena masa utang lebih lama, bunga yang dibayar semakin banyak, dan tidak manusiawi.
KPR 35 tahun ini tidak menarik karena otomatis masa utang menjadi lebih lama, bunga yang dibayar semakin banyak, dan tidak manusiawi. Apalagi dalam waktu 35 tahun, spending kita bukan cuma rumah, justru akan lebih besar karena ada tanggungan, dari anak sampai orangtua.
Masalah generasi muda itu adalah kejomplangan upah terhadap harga aset. Kita gak perlu nambah masalah dengan harus ngutang seumur hidup. Justru kita perlu bantuan pemerintah untuk meregulasi harga dan kepemilikan rumah, karena salah satu faktor harga tinggi adalah adanya pihak-pihak yang bisa beli rumah lebih dari dua atau tiga dengan generational wealth mereka dan menyewakan atau menjualnya lagi dengan harga melambung, plus faktor lain yang bikin harganya semakin tinggi lagi.
Baca juga: Milenial Kian Sulit Gapai Rumah Impian
Selama ini saya memutuskan belum beli rumah karena harga rumah yang mahal dan ketakutan terhadap utang. Secara finansial pun tidak mampu kalau mau KPR dengan tenor di bawah 10 tahun. Belum lagi pertimbangan lain, seperti jarak rumah dari kantor, banyak lokasi banjir yang tidak bisa kita deteksi dari awal, takut salah pilih developer, masalah SHM dan kepemilikan dokumen karena banyak aset sengketa, plus masih banyak suap dalam berurusan dengan akta sehingga tidak ada trust. Ini yang seharusnya diberesin.
Menurut saya, niat pemerintah kasih fasilitas KPR 35 tahun bukan niat baik, mereka juga tahu itu. Make it make sense to us, stop thinking we are all morons. Kalau kondisinya seperti ini, saya lebih baik ngontrak supaya tidak terikat utang dan bisa fokus.
Theresia Yoslin Tambunan (26 tahun), karyawan swasta di Jakarta
Bagi saya, skema ini tidak menarik. Sistem KPR tetap memberatkan. Bunganya tetap besar dan mencekik. Memperpanjang tenor sama dengan mempermahal total biaya KPR yang kita bayarkan.
Pemerintah semestinya bangun rusun khusus seperti di Singapura, di tengah kota. Rusunawa untuk masyarakat menengah-bawah, rusunami untuk masyarakat menengah tapi dengan harga wajar. Bukan dengan harga dan skema KPR.
Memang pemerintah harus mau mengeluarkan subsidi yang besar untuk pemenuhan kebutuhan tempat tinggal. Toh negara punya banyak lahan di tengah kota. Mindset negara jangan cuma penien nyari untung dengan nyewain lahan itu ke pengusaha, tapi harus berpikir untuk menyediakan ruang tempat tinggal bagi warganya. Apalagi, kebutuhan tempat tinggal itu kebutuhan pokok. Jangan dibisnisin semua pengadaannya.
Kebutuhan tempat tinggal itu kebutuhan pokok. Jangan ’dibisnisin’ semua pengadaannya.
Selama ini hambatan pertama punya rumah tentu skema KPR yang memberatkan. Harga rumah Rp 400 juta-Rp 500 juta, tapi begitu masuk skema KPR, total biaya sampai rumah lunas bisa Rp 1 miliar-Rp 1,5 miliar. Bank dan negara beralasan harga rumah 10-15 tahun mendatang sampai segitu. Tapi, kan, rumah itu untuk kita huni, bukan buat diinvestasikan. Di sini mindset antara kita dan bank dan negara ajaudah beda. Kita mindset-nya pemenuhan kebutuhan. Mereka mindset-nya bisnis.
Kedua, soal lokasi. Rumah KPR yang terjangkau di Jabodetabek itu rata-rata di wilayah penyangga yang jauh dari pusat kota. Alhasil, kami sebagai kelas menengah harus keluar ongkos lebih. Di sisi lain kami juga harus nyisihin duit buat bayar cicilan. Dengan kondisi kayak begitu, gimana kami mau punya tabungan?
Untuk saat ini, bagi saya kontrak rumah di Jakarta masih jadi opsi, karena ongkos untuk bekerja dan beraktivitas di pusat kota tidak besar. Saya juga bisa spend uang lebih untuk ditabung dan diinvestasikan di instrumen investasi yang aman. Rasanya lebih rasional aja. Jadi, kalo ada kebutuhan mendesak, misalnya keluarga harus masuk rumah sakit dan harus nambahin biaya yang gak ditanggung BPJS, kami siap.
Rakhmat Nur Hakim (34 Tahun), praktisi komunikasi di Jakarta
Skema ini rencananya memberi cicilan lebih terjangkau, jadi setidaknya memunculkan harapan dan optimisme supaya generasi milenial dan Z benar-benar bisa punya rumah. Sebagai pekerja swasta yang sangat rentan dengan kondisi ekonomi global, masih santer dengar berita pemutusan hubungan kerja (PHK) dari beragam industri, sekaligus masih menyambi freelance, aku enggak jamin pendapatanku meningkat atau sekadar stabil dari tahun ke tahun. Belum lagi pertumbuhan income yang tidak sebanding dengan inflasi.
Rasa-rasanya untuk punya komitmen berutang jangka panjang 35 tahun itu menyeramkan. Belum lagi berbicara angka harapan hidup. Aku sudah berusia akhir 20-an tahun, 30 tahun lagi sudah lansia dan cicilan belum selesai. Enggak bisa bayangin.
Baca juga: Jurus Jitu agar Milenial Punya Rumah, Bangun Hunian "Low Rise" dan Potong Pajak
Untukku pribadi, selama belum bisa beli rumah tunai, tidak masalah untuk kontrak dulu. Aku lebih takut komitmen utang jangka panjang karena belum ada pasokan rumah terjangkau.
Aku memang pernah tertarik KPR, tapi dengan pertimbangan tadi, rasanya urung. Skema wacana KPR 35 tahun bagiku belum bisa mengubah pandanganku untuk memang tidak ambil KPR. Lebih baik, sekarang menabung dan investasi saja untuk membeli tanah di kampung.
Angela Shinta Dara (27), karyawan humas perusahaan swasta di Jakarta
Menurut saya, rerata masyarakat memiliki kondisi ekonomi yang stabil pada usia 25 tahun. Jika memulai KPR pada usia 25 tahun dan mengambil jenis cicilan 35 tahun, maka kondisi normalnya rumah baru akan lunas di usia 60 tahun. Hal ini patut dipertimbangkan, terutama perihal risiko-risiko yang akan terjadi sepanjang proses pelunasan. Usia nonproduktif sendiri, menurut saya di 55 tahun. Bagaimana dengan sisa waktu pelunasannya? Apakah ini berarti masyarakat diminta bekerja hingga 60 tahun atau akan diwariskan ke anak (generasi selanjutnya)?
Setelah mempertimbangkan pos biaya lain, termasuk dana pendidikan anak, maka yang paling memungkinkan dipilih KPR bertenor 15 tahun. Hal itu dengan pertimbangan tidak terlalu lama dan tidak terlalu mahal (lebih kurang 30 persen gaji UMR).
Untuk memiliki rumah bertenor 35 tahun, perlu ada jaminan kesehatan bagi konsumen. Pekerjaan yang tetap dan pendapatan stabil juga dibutuhkan guna menjamin keselamatan konsumen ketika mencicil selama itu. Dengan semakin bertambahnya usia dan harga rumah yang semakin tidak affordable, maka sulit untuk meyakinkan diri bisa membeli rumah.
Selama ini, syarat membeli rumah selalu membebani konsumen. Jika konsumen merasa tidak terbebani, kemungkinan dalam proses pelaksanaannya ada hal yang menunjukkan kurangnya kualitas barang yang dijual (spesifikasi bangunan yang ”dipangkas”). Sebagai kebutuhan primer (papan), rumah harusnya menjadi hal yang mudah untuk didapat. Konsumen memiliki rumah yang ideal (setidaknya memenuhi standar gedung yang aman), tidak perlu desain yang muluk bila ingin punya rumah.
Kristanto Suryo Saputro (28), desainer/arsitek di Jakarta