Imbas Pemilu, Investasi Dalam Negeri Jadi Andalan
Di tengah tahun politik, pertumbuhan investasi asing terhambat. Efek “multiplier“ dari investasi pun dinilai minim.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia memberikan tanggapan kepada awak media sesuai konferensi pers, di Gedung Kementerian Investasi BKPM, Jakarta, Jumat (30/6/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah gejolak tahun politik yang memanas, investasi dalam negeri lebih diandalkan untuk mengerek realisasi investasi sepanjang tahun 2023. Porsi investasi dalam negeri terus meningkat, sementara investasi asing tergerus. Pemerintah mengakui upaya menarik investasi pada bulan-bulan menjelang pemilihan umum lebih sulit dari biasanya.
Secara umum, berdasarkan data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal, total investasi yang masuk sepanjang tahun 2023 mencapai Rp 1.418,9 triliun. Capaian itu sebenarnya melampaui target, yakni 101,3 persen dari target Rp 1.400 triliun yang ditetapkan Presiden dan 129 persen di atas target rencana strategis (renstra) pemerintah yang sebesar Rp 1.099,8 triliun.
Sepanjang tahun, investasi dalam negeri (penanaman modal dalam negeri/PMDN) tercatat Rp 674,9 triliun atau tumbuh 22,1 persen secara tahunan. Sementara, meski nominalnya lebih besar, investasi asing (penanaman modal asing/PMA) hanya tumbuh 13,7 persen.
Baca juga: Pemilu, Konsumsi Meningkat Tetapi Investasi Melambat
Di tengah dinamika tahun politik yang memanas sejak pertengahan tahun 2023, investasi dalam negeri pun jadi andalan. Data BKPM menunjukkan, komposisi PMDN terus meningkat dari triwulan I sampai triwulan IV. Sebaliknya, porsi investasi PMA terus menurun.
Awalnya, pada triwulan I (Januari-Maret), porsi investasi PMDN hanya 46,2 persen, meningkat jadi 46,7 persen pada triwulan II (April-Juni), 47,6 persen pada triwulan III (Juli-September), dan 49,6 persen pada triwulan IV (Oktober-Desember).
Sementara porsi investasi PMA terus turun dari awalnya 53,8 persen pada triwulan I menjadi 53,3 persen (triwulan II), 52,4 persen (triwulan III), dan 50,4 persen (triwulan IV).
Sebagai perbandingan, berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, pergerakan investasi asing biasanya stabil, bahkan meningkat dari triwulan ke triwulan. Pada 2022, misalnya, porsi investasi PMA pada triwulan IV adalah 55,6 persen, naik dari triwulan III (54,8 persen), triwulan II (54 persen), dan triwulan I (52,1 persen).
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta, Rabu (24/1/2024), mengatakan, investasi asing memang tidak tumbuh sebesar tahun-tahun sebelumnya. Ada dua faktor yang membuat pertumbuhan investasi asing terhambat.
Di tahun politik ini minta ampun mulut kita mencoba meyakinkan orang (untuk investasi).
Pertama, baseline (basis) target investasi yang dari tahun ke tahun terus meningkat signifikan sesuai permintaan Presiden Joko Widodo. Pada 2021, misalnya, basis target investasi hanya Rp 900 triliun. Target itu meningkat tinggi menjadi Rp 1.200 triliun pada 2022 dan Rp 1.400 triliun pada 2023.
Kedua, faktor tahun politik yang membuat ketidakpastian meningkat. Hal itu membuat investor asing ragu-ragu menanamkan modal di Indonesia. ”Perlu diakui, tahun politik ini tidak gampang. Di tahun politik ini minta ampun mulut kita mencoba meyakinkan orang (untuk investasi). Harus pakai berbagai macam cara,” tutur Bahlil.
Ia mengibaratkan Kementerian Investasi seperti tenaga penjualan dan pemasaran (salesperson) negara yang tugasnya ”merayu” pengusaha untuk berinvestasi di Indonesia. Tugas itu semakin berat menjelang tahun politik karena banyak investor asing yang menanti hasil pemilu dan arah kebijakan pemerintahan berikutnya.
”Jujur saja saya tidak bisa tutupi, memang ada sebagian investor itu wait and see. Namun, di atas itu sebenarnya masih ada kepercayaan (investor). Makanya, itu jadi tantangan bagi kami untuk tetap meyakinkan investor bahwa sekalipun di tahun politik seperti ini, kita tetap clear,” ujarnya.
Baca juga: Presiden Akui Hilirisasi Nikel Tak Serta-merta Turunkan Angka Kemiskinan di Sulawesi Tengah
Kualitas dipertanyakan
Di sisi lain, meski realisasi investasi berhasil melampaui target, dampak ikutan (multiplier effect) berupa penyerapan tenaga kerja dari capaian investasi masih minim. Sepanjang tahun 2023, investasi ribuan triliun yang masuk hanya mampu menciptakan 1,8 juta penciptaan lapangan kerja.
Meski naik dari tahun sebelumnya yang sebanyak 1,36 juta lapangan kerja, jumlah itu masih terhitung minim dibandingkan dengan nilai investasi besar yang masuk dalam beberapa tahun terakhir.
Bahlil mengakui, penyerapan tenaga kerja memang belum berbanding lurus dengan realisasi investasi. Namun, pemerintah memang sedang fokus menarik investasi padat modal dan teknologi demi mengerek pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih masif.
”Kalau kita hanya berpikir padat karya, sampai ayam tumbuh gigi pun negara ini tidak akan maju, karena padat karya itu, mohon maaf, gajinya terukur. Kalau kita hanya ciptakan lapangan kerja dengan gaji Rp 4-5 juta terus, bagaimana kita mau naik kelas,” kata Bahlil.
Kalau kita lupa pada investasi padat karya, kita bisa terancam bonus demografi dan kita mengorbankan kualitas demi tercapainya target realisasi.
Peneliti Center of Investment Trade and Industry di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, menilai, naiknya porsi investasi PMDN di satu sisi adalah hal baik karena menunjukkan minat dan kapasitas pengusaha dalam negeri untuk menanamkan modal di negeri sendiri. Di sisi lain, itu menunjukkan kalau investor asing masih wait and see akibat kondisi politik domestik yang panas dan gaduh.
Namun, ia mengingatkan, hal yang lebih penting dari pencapaian target kuantitas adalah kualitas investasi. Sejauh ini, meski dengan nilai investasi yang jumbo, penciptaan lapangan kerja di dalam negeri masih saja minim. Angka kemiskinan di daerah sentra hilirisasi masih tinggi. Pertumbuhan ekonomi pun tetap berjalan di tempat.
Oleh karena itu, pemerintah tidak bisa mengabaikan investasi padat karya. Meski nilai investasinya tidak terlalu besar, investasi padat karya masih sangat penting untuk menjawab tantangan bonus demografi dan menyerap mayoritas masyarakat yang belum bisa terserap di investasi padat modal dan teknologi.
“Harus berjalan beriringan. Kalau kita lupa pada investasi padat karya, kita justru bisa terancam bonus demografi dan kita mengorbankan kualitas demi target realisasi bisa tercapai. Akhirnya memang perlu dipertanyakan, dampak dari investasi yang besar ini lari ke mana? Tersumbatnya di mana?” tutur Heri.