Curhat ”Gila Kerja” di Medsos, Ada Apa dengan Karyawan Zaman ”Now”?
Generasi Y dan Z dihadapkan pada perubahan industri cepat sehingga mereka kebingungan menentukan jenis karier ideal.
Belum lama ini, di media sosial X (dulu Twitter) muncul topik keluhan gila kerja di usia 20-an yang ramai dibicarakan warganet. Gila kerja yang dimaksud adalah menjalani hidup semata-mata fokus pada mengerjakan pekerjaan. Beban kerja yang dibebankan dianggap terlalu tinggi sehingga membuat hidup hanya diisi untuk menyelesaikan tugas pekerjaan kantor.
Mulanya, kreator dan pemilik akun @hooplaa_ me-repost konten di Tiktok di X. Isinya berupa beberapa tangkapan gambar berisi cerita yang diberi judul ”Cerita Gue Jadi Gila karena Kebanyakan Kerja di Umur 25”.
Cerita yang diklaim berdasarkan kisah nyata itu berisi tentang sosok yang saat usia 21 tahun lulus dengan nilai indeks prestasi komulatif 3,95 dan beasiswa penuh. Setelah itu, sosok bersangkutan diterima kerja di salah satu perusahaan rintisan bidang digital (start up)yang sedang naik daun.
Selama bekerja selalu mendapatkan pekerjaan tanpa henti, kerap mengalami revisi bertubi-tubi, dan notifikasi tenggat masuk setiap hari. Suasana kerja seperti itu dianggap jauh dari situasi ketika masih bersekolah yang kerap mendapat pujian.
Singkatnya, sosok itu akhirnya memutuskan mengundurkan diri di usia 27 tahun karena merasa isi kepalanya penuh dengan kerja keras dan pendapatan yang diterima habis dipakai mencukupi gaya hidup.
Pemilik akun @hooplaa_ sempat menuliskan bahwa dirinya bisa memahami karena memiliki pengalaman mirip. Setelah lima tahun bekerja kantoran, dia memutuskan mengerjakan sesuatu yang sesuai hasrat jiwanya. Dia pun membagikan cuplikan foto mengenai aktivitasnya sebagai kreator konten seputar mengulas barang.
Apa yang diunggah pemilik akun @hooplaa_ tersebut ditonton dua juta kali, repost 8.400 kali, mendapat tanda hati 31.000 kali, dan komentar 372. Di antara komentar yang masuk mengaku memiliki pengalaman sejenis. Misalnya, beban kerja semakin berat sehingga jam tidur tidak teratur dan semakin susah punya waktu berkualitas dengan pasangan sehingga menginginkan pekerjaan yang tidak terlalu menguras pikiran.
Unggahan keluhan dunia kerja yang dilabeli ”keras” seperti itu bukan pertama kali ramai di media sosial. Apalagi, pengunggahnya adalah pengguna media sosial yang mengklaim dirinya pekerja berlatar belakang generasi milenial dan generasi Z.
Generasi milenial adalah mereka yang lahir tahun 1981–1996 sehingga sekarang berusia 28–43 tahun. Adapun generasi Z adalah mereka yang lahir tahun 1997–2012 sehingga sekarang berusia 12–27 tahun.
Southeast Asia Market Unit Lead and Senior Managing Director Accenture, Ng Wee Wei, Selasa (23/1/2024), di Jakarta, mengatakan, secara global memang ada tren karyawan semakin bergantung pada atasan mereka untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, baik dalam hal pekerjaan maupun emosional, kebutuhan relasi, dan kebutuhan kolektif. Tren ini ditemukan oleh Accenture melalui riset.
Wee Wei berpendapat, kesadaran seperti itu bisa berbeda dengan pekerja dari generasi yang lebih tua. Faktor kemajuan teknologi dan perubahan norma budaya turut memengaruhi.
”Generasi Z yang kini mulai ramai masuk dunia kerja merupakan generasi digital dan global pertama. Latar belakang unik ini menempatkan generasi Z merintis karier yang tidak bergantung pada lokasi, berinovasi terhadap sumber pendapatan, dan membentuk kembali paradigma kerja tradisional,” imbuh Wee Wei.
Menurut Co-founder & Career Coach Sehat Jiwa Puspita Alwi, membicarakan kerja dan kesehatan jiwa selalu kompleks karena ini bukan hanya terkait individu dengan pekerjaannya, melainkan juga individu dengan tempat bekerja; sikap individu dan perusahaan menyikapi perubahan industri; serta sistem dan kepastian lapangan kerja dari pemerintah.
Pekerja dari generasi milenial dan Z dihadapkan pada lebih banyak pilihan profesi untuk bekerja, pilihan definisi kesuksesan karier, paparan lingkungan bekerja yang etis atau tidak di media sosial, dan informasi sistem kerja yang berlaku di suatu negara.
Generasi ini juga dihadapkan pada perubahan industri cepat disertai teknologi digital sehingga pada akhirnya membuat mereka sendiri kebingungan menentukan jenis karier ataupun kehidupan yang ideal.
”Jadi, tidak bisa langsung disimpulkan bahwa generasi karyawan sekarang itu generasi yang lemah (karena kerap mengunggah konten keluhan beban kerja yang keras),” ucap Puspita.
Baca juga: Bagaimana Mengantisipasi ”Quiet Quitting”?
Dramatisasi
Praktisi sumber daya manusia dan kreator konten karier, keluarga, dan keuangan Samuel Ray memandang, fenomena keluhan dunia kerja yang keras di media sosial sudah terjadi sejak generasi milenial mulai masuk dunia kerja. Pekerja generasi milenial, karena fenomena itu, sampai dilabeli me generation. Pekerja generasi Z mempunyai wadah mengeluh yang luas karena mereka pengguna native media sosial, seperti Tiktok.
Hanya saja, hal yang patut dikritisi adalah cerita-cerita kerasnya dunia kerja bukan kisah yang benar-benar nyata. Ada kemungkinan, ceritanya didramatisasi demi memikat di media sosial.
”Saat ini mereka (pekerja generasi milenial dan Z) menguasai jagat media sosial sehingga seakan-akan mengeluh terus. Padahal, saya yakin jika generasi lebih tua sudah tersedia media sosial pasti dipakai sebagai wadah mengeluh,” katanya.
Samuel juga menyebutkan, faktor perubahan teknologi membuat cara memperoleh pendapatan semakin bervariasi. Akibatnya, ada kecenderungan karyawan dari generasi milenial dan Z tidak lagi tertarik mempunyai karier stabil seperti generasi baby boomers yang menganut prinsip lifetime employement.
Baca juga: Alasan Keseimbangan Hidup dan Gaji, Banyak Pekerja Cari Pekerjaan Baru
Norma baru
”Bagi perusahaan, menyikapinya cukup menganggap sebagai norma baru. Anggap media sosial bukan sebagai kanal yang asing, tetapi sesuatu yang biasa. Dengarkan generasi muda dan sesuaikan dengan kebijakan kantor untuk mengakomodasi mereka,” imbuh Samuel.
Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia Maria Puspitasari berpendapat, perusahaan sekarang dituntut untuk membangun ketahanan dalam organisasi. Hal ini berkaitan dengan tiga elemen strategi.
Pertama, strategi kopi yang berkaitan dengan mengatasi masalah-masalah yang muncul akibat perubahan lanskap organisasi berbasis teknologi digital yang berdampak pada ekspektasi dan perilaku karyawan.
Dengarkan generasi muda dan sesuaikan kebijakan kantor untuk mengakomodasi mereka.
Strategi kedua adalah adaptif terhadap perubahan perilaku dan sikap karyawan dalam revolusi industri. Ketiga, strategi transformatif yang berhubungan dengan bagaimana organisasi bisa keluar dari situasi pelik.
”Internet mengambil alih seluruh proses pemaknaan generasi muda terhadap dunia kerja. Sejumlah orangtua mereka mungkin juga kurang adaptif atau sibuk bekerja sehingga luput memberikan pemahaman,” kata Maria.
Mengatasi realitas ini, perusahaan harus turut mengambil alih mengubah pola pikir, supaya mereka tetap bertahan.
Baca juga: Detoksifikasi Budaya hingga Pengunduran Diri dengan Kekesalan