Infrastruktur, tambang mineral, dan ritel akan menguat karena ditopang anggaran belanja negara.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
Di tengah tekanan perekonomian global yang masif, beberapa sektor usaha dinilai akan mengendalikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun politik 2024. Sektor tersebut adalah infrastruktur, tambang mineral, dan ritel yang akan menguat karena ditopang anggaran belanja negara.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan, proyeksi ini terbaca dari Survei Peta Jalan 2024 yang dilakukan asosiasi tersebut terhadap sejumlah perusahaan dalam negeri, baik publik maupun privat. ”Ketiga sektor itu jadi leading sector di tahun 2024,” kata Shinta, di Jakarta, Kamis (18/1/2024).
Ia menjelaskan, harapan itu terkembang atas rencana-rencana pendanaan pemerintah pada tahun ini yang akan banyak difokuskan untuk sektor tersebut. ”Government spending ini harus menjadi perhatian karena proyek-proyek infrastruktur dan lain-lain lebih banyak dari sana,” lanjutnya.
Adapun kontribusi ketiga sektor tersebut terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) cukup besar. Menurut data tahunan sampai 2022, kontribusi sektor pertambangan dan penggalian mencapai 12,2 persen terhadap PDB, setelah sektor industri pengolahan, perdagangan, dan pertanian hutan dan perikanan.
Kemudian, industri konstruksi yang menjadi bagian sektor infrastruktur berkontribusi sebesar 9,8 persen. Sektor ritel juga diprediksi membaik karena sektor perdagangan masih mendominasi PDB. Hal ini disebabkan konsumsi masyarakat naik karena ekonomi nasional yang cukup stabil dan efek pesta demokrasi sepanjang 2024.
Meski demikian, di sisi lain Shinta melihat sebagian pelaku usaha di sektor seperti infrastruktur dan pertambangan masih berjuang memulihkan dampak pandemi dan dampak geopolitik tahun lalu yang mengguncang harga komoditas. ”Memang faktor domestik ataupun global sangat memengaruhi kondisinya,” ujarnya.
Ia juga tidak menampik pemulihan pascapandemi Covid-19 masih mengganggu kinerja keuangan usaha di banyak sektor. Pandemi membuat perusahaan harus mengeluarkan biaya tinggi untuk menutupi utang dan modal memulai usaha baru dengan pendapatan yang menurun.
Konsumsi masyarakat naik disebabkan ekonomi nasional yang cukup stabil dan efek pesta demokrasi sepanjang 2024.
Laporan perusahaan jasa konsultansi strategi global Alvarez & Marsal (A&M) berjudul ”Indonesia A&M Distress Alert” bahkan menemukan, kinerja ekonomi sebagian perusahaan di Indonesia masih rapuh pascapandemi Covid-19. Riset dilakukan terhadap 360 perusahaan tercatat atau 44 persen dari 813 emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI), yang memiliki pendapatan tahunan lebih dari 50 juta dollar AS di 11 sektor industri, sampai pertengahan 2023.
Berdasarkan sektor industrinya, perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan logam dan non-batubara, ritel, barang konsumsi, infrastruktur, hingga transportasi yang ditemukan Apindo akan memimpin tahun ini justru mengalami tekanan yang paling tinggi. Sebaliknya, sektor pertanian, pertambangan batubara dan energi, komunikasi dan teknologi informasi, serta kesehatan mengalami tingkat tekanan rendah dengan tren pemulihan yang signifikan.
”Faktor utama yang menyebabkan tekanan tampaknya adalah neraca keuangan dan struktur modal yang melemah, bukan karena kinerja operasional yang terganggu,” jelas Managing Director A&M Indonesia Alessandro Gazzini dalam presentasi laporannya kemarin.
Tekanan itu dialami 22 persen dari perusahaan yang disurvei pada tahun 2022. Perusahaan itu memiliki skor ketahanan neraca yang rendah tiga tahun sebelumnya. Kondisi yang mengkhawatirkan itu diperparah oleh kondisi suku bunga yang tinggi saat ini sehingga menimbulkan tantangan serius bagi perusahaan untuk mencari pembiayaan baru.
Laporan menjelaskan, sektor infrastruktur, konstruksi, dan transportasi menghadapi kesulitan karena adanya penurunan operasional selama pandemi yang kemudian diikuti pembatalan anggaran pemerintah. Situasi itu membuat sebagian perusahaan bermasalah dalam memulihkan kinerja dan struktur permodalan sampai paruh pertama 2023.
Kemudian, dari sektor pertambangan, gangguan masih berlanjut dari permintaan dan rantai pasok yang kini tidak lagi terhambat karena perlambatan ekonomi efek pandemi, tetapi juga faktor geopolitik yang mengacaukan harga-harga komoditas.
A&M juga menemukan, sebagian besar perusahaan berhadapan dengan buruknya alokasi modal pada ekspansi dan diversifikasi produk atau efisiensi operasional. Adapun upaya Pemerintah Indonesia dalam mendorong hilirisasi menjadi prospek positif bagi industri di sektor ini ke depan.
Perusahaan sektor ritel ditemukan menghadapi kesulitan keuangan dan sering sulit memenuhi kewajiban jangka pendek. Harga barang yang harus naik karena tekanan inflasi global di tengah lonjakan permintaan pascapandemi Covid-19 memberikan kesenjangan besar dibandingkan masa sebelum 2020.
”Para pemangku kepentingan harus segera mengambil tindakan, yang berfokus pada upaya mendapatkan landasan yang kuat untuk merestrukturisasi, meninjau model bisnis/portofolio yang ketat, menerapkan langkah-langkah penanggulangan yang diperlukan, dan mengembangkan rencana keuangan tiga arah yang komprehensif, yang mengintegrasikan rencana bisnis dengan dampak langkah-langkah restrukturisasi,” kata Gazzini.
Selain itu, lanjut dia, perencanaan untuk menghadapi ketidakstabilan melalui pemantauan terus-menerus terhadap faktor pendorong makroekonomi, analisis perilaku pesaing, dan penyusunan skenario harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses perencanaan keuangan.