Indonesia punya potensi besar untuk meningkatkan keterlibatan di rantai pasok perdagangan hijau global.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang dapat dioptimalkan untuk menggenjot ekspor produk hijau sekaligus turut mengurangi dampak perubahan iklim. Untuk mengembangkan potensi yang ada, kebijakan pemerintah perlu berpihak pada sektor industri berkelanjutan.
Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan, Kasan, mengatakan, Pemerintah Indonesia akan mengoptimalkan sumber daya alam untuk meningkatkan kontribusi produk Indonesia di rantai pasok perdagangan produk hijau global.
Produk hijau atau barang ramah lingkungan (environmental goods/EG) mengacu pada produk yang dirancang untuk menggunakan lebih sedikit sumber daya atau menghasilkan lebih sedikit emisi.
Di tingkat global, peringkat Indonesia sebagai eksportir nikel sudah naik drastis dari urutan ke-8 pada 2021 menjadi urutan pertama di tahun 2022.
”Diharapkan upaya menggenjot perdagangan hijau dapat mengurangi dampak perubahan iklim juga memberi nilai tambah ekonomi bagi masyarakat,” ujarnya dalam forum yang diselenggarakan Bank Dunia bertema ”Peran Kebijakan Perdagangan dalam Transformasi Hijau di Indonesia” di Jakarta, Kamis (18/1/2023).
Kasan mencontohkan, salah satu komitmen tersebut tecermin ekspor komoditas bijih nikel yang menjadi bahan baku penting bagi produk kendaraan listrik. Di tingkat global, peringkat Indonesia sebagai eksportir sudah naik drastis dari urutan ke-8 pada 2021 menjadi urutan pertama di tahun 2022.
Produksi bijih nikel Indonesia sekitar 1,6 juta ton di tahun 2022. Jumlah ini terpaut jauh dengan Filipina yang menduduki peringkat kedua dunia dengan produksi sekitar 330.000 ton, dan Rusia di peringkat ketiga dengan produksi 220.000 ton.
Ke depannya, lanjut Kasan, pemerintah akan mengandalkan program hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah komoditas primer. Ekspor produk hilirasi komoditas nikel dan komoditas primer lainnya akan ditujukan untuk mengutamakan perdagangan hijau yang turut berpihak pada lingkungan dan perubahan iklim.
”Kementerian Perdagangan berkomitmen untuk terus mendorong kebijakan perdagangan yang berperan dalam memastikan terwujudnya perdagangan berkelanjutan di Indonesia,” ujar Kasan.
Dalam kesempatan yang sama, Country Director World Bank Indonesia and Timor Leste Satu Kahkonen mengatakan, Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang baik dalam memanfaatkan perdagangan untuk transformasi hijau, tetapi perlu adanya penguatan untuk mengatasi beberapa tantangan yang menghambat transformasi tersebut.
”Intensitas karbon dalam perdagangan Indonesia sudah berhasil ditangani dengan baik sejak 2005. Akan tetapi, Indonesia dalam hal daya saing dan ekspor barang dan teknologi hijau belum mampu memenuhi permintaan. Ini membutuhkan tindakan lebih lanjut,” kata Kahkonen.
Menurut catatan Bank Dunia, sedikitnya terdapat tiga hal yang perlu menjadi catatan Pemerintah Indonesia untuk bisa terlibat di rantai pasok perdagangan hijau global. Pertama, peningkatan permintaan global dan domestik untuk barang dan teknologi hijau memberikan peluang yang signifikan bagi Indonesia.
Menurut Kahkonen, Indonesia memiliki potensi yang signifikan untuk melakukan diversifikasi produk hijau dengan kompleksitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya sehingga Indonesia bisa memanfaatkan potensi tersebut untuk memberikan keuntungan dari sisi ekonomi dan pengatasan isu perubahan iklim.
Adapun yang kedua, Bank Dunia melihat sektor swasta sebagai kunci dalam melaksanakan diversifikasi produk hijau. Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat kebijakan yang dapat memfasilitasi pelaku swasta dengan teknologi berkualitas tinggi dengan biaya yang rendah.
”Pemerintah Indonesia juga perlu menyederhanakan kebijakan dan memberikan kepastian hukum agar dapat membantu sektor swasta dalam meningkatkan skala bisnis mereka,” kata Kahkonen.
Adapun poin terakhir adalah perlunya penyelarasan kebijakan perdagangan di Indonesia dengan pembangunan hijau. Kahkonen menggarisbawahi Pemerintah Indonesia perlu memikirkan kebijakan yang lebih berpihak terhadap industri berkelanjutan.
”Ini adalah peluang kita untuk melakukan reformasi kebijakan perdagangan. Reformasi yang saya maksud bisa mendukung tujuan-tujuan Indonesia jangka panjang, termasuk menjadi negara maju pada tahun 2045,” ujarnya.
Sementara itu, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif periode 2011-2014, Mari Elka Pangestu, mengingatkan untuk terlibat pada rantai pasok perdagangan produk hijau global, proses produksi juga harus memenuhi aspek berkelanjutan.
Sebagai negara berkembang, Pemerintah Indonesia juga punya pekerjaan rumah untuk lebih terlibat dalam proses perumusan kebijakan dari organisasi ataupun lembaga internasional pemangku kepentingan perdagangan global, seperti Uni Eropa ataupun Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Pemerintah Indonesia juga perlu menyederhanakan kebijakan dan memberikan kepastian hukum agar dapat membantu sektor swasta dalam meningkatkan skala bisnis mereka di sektor perdagangan hijau.
”Kesepakatan standar yang berkaitan dengan berkelanjutan tak bisa dari satu sisi saja, harus terjalin kesepakatan antara negara asal produk ekspor dengan pemangku kebijakan, dan ini harus berbasis keilmuan,” ujar Mari.