Pascapandemi, ”Perusahaan Zombi” di Bursa Efek Indonesia Meningkat
Masih banyak ”perusahaan zombi”, emiten yang belum pulih pascapandemi. Kinerja sejumlah sektor masih rapuh.
JAKARTA, KOMPAS — Riset terbaru menunjukkan kinerja keuangan sejumlah perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia semakin rapuh. Kondisi ekonomi global serta kelemahan kultural dan hukum jadi tantangan bagi pemulihan usaha pascapandemi Covid-19.
Perusahaan jasa konsultansi strategi global Alvarez & Marsal (A&M) menyimpulkan hal tersebut dari riset terhadap 360 perusahaan tercatat atau 44 persen dari 813 emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang memiliki pendapatan tahunan lebih dari 50 juta dollar AS di 11 sektor industri. Penelitian mengukur kinerja keuangan antara tahun 2019 hingga Juni 2023.
Managing Director A&M Indonesia Alessandro Gazzini memaparkan, kendati ada 56 persen perusahaan yang mampu mempertahankan status dan prospek sehatnya, perusahaan lain belum pulih seperti kondisi sebelum Covid-19. ”Kecepatan pemulihan kesehatan perusahaan relatif lambat, berujung pada bertambahnya subkelompok ’perusahaan zombi’,” ujarnya dalam presentasi riset berjudul ”Indonesia A&M Distress Alert” tersebut, di Jakarta, Kamis (18/1/2024).
Perusahaan zombi yang belum kembali pulih itu dikategorikan dalam tiga kondisi, yakni berstatus distressed atau mengalami kesulitan pada neraca keuangan dan efisiensi operasional perusahaan, memiliki ketahanan neraca kurang, serta memiliki neraca dan laba-rugi kurang.
Jumlah perusahaan berkondisi distressed atau tertekan itu pada tahun pertama pandemi 2020 tercatat sebanyak 19,4 persen, naik dibandingkan tahun 2019 yang hanya 11,9 persen. Jumlah itu menyusut pada 2021 menjadi 13,3 persen. Namun, pada 2022, perusahaan distressed kembali naik menjadi 15,3 persen dan pada 12 bulan terakhir hingga Juni 2023 sebanyak 14,2 persen.
Adapun perusahaan dengan ketahanan neraca kurang signifikan terus menurun jumlahnya, dari 28,6 persen pada 2019 menjadi hanya 18,6 persen pada periode hingga Juni 2023. Sementara jumlah perusahaan dengan neraca dan laba-rugi kurang kembali naik pasca-Covid-19 menjadi 9,4 persen pada periode 2023 setelah pulih menjadi hanya 5,6 persen pada 2021.
Berdasarkan sektor industrinya, perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan logam dan nonbatubara, ritel, dan barang konsumsi mengalami tekanan paling tinggi. Sebaliknya, sektor pertanian, pertambangan batubara dan energi, komunikasi dan teknologi informasi, serta kesehatan mengalami tingkat tekanan rendah dengan tren pemulihan yang signifikan.
Beragam faktor
Meskipun tanda-tanda pemulihan pascapandemi sudah mulai terlihat, banyak perusahaan di Indonesia yang masih berjuang menghadapi tekanan cukup besar. Situasi ini disebabkan beragam faktor.
Pria yang biasa disapa Alex itu menjelaskan, faktor utama yang menyebabkan tekanan adalah neraca keuangan dan struktur modal yang melemah, bukan karena kinerja operasional yang terganggu. Hal ini dialami 22 persen dari perusahaan yang mengalami tekanan pada tahun 2022. Tren yang mengkhawatirkan diperparah oleh kondisi suku bunga global yang tinggi sehingga menyulitkan perusahaan mencari pembiayaan baru.
Faktor utama yang menyebabkan tekanan adalah neraca keuangan dan struktur modal yang melemah.
Faktor lain juga berkaitan dengan kekuatan hukum dan kultur bisnis di Indonesia. Ini termasuk resistansi terhadap upaya perubahan operasional yang dipengaruhi oleh norma-norma budaya, keinginan pemegang saham untuk mempertahankan kendali, keengganan kreditor tertentu untuk menyetujui pengurangan atau pemotongan utang, dan kurangnya landasan hukum yang kuat untuk memfasilitasi proses restrukturisasi keuangan secara menyeluruh.
Baca juga: Perlambatan Ekonomi Global Tekan Ekspor Indonesia 2023
Situasi tersebut membuat pemulihan perusahaan di Indonesia pasca-Covid-19 lebih lambat dibandingkan pemulihan ekonomi perusahaan di negara maju, seperti Inggris. Riset serupa mereka antara 2019 dan 2022 menunjukkan, jumlah perusahaan yang kembali ke status sehat mencapai 55,9 persen pada 2022 dibandingkan di Indonesia yang hanya 32,6 persen.
”Proteksi kreditor sangat keras di Inggris, sistem legalnya sangat kuat dan cepat. Jadi, secara kultur mereka akan cepat menerima kondisi perusahaan tidak sehat untuk bangkrut. Di Indonesia, kulturnya berbeda, mungkin banyak perusahaan keluarga, ada faktor kebanggaan dan sejarah yang membuat ketika perusahaan mengalami kesulitan atau sakit parah diupayakan untuk terus dijaga,” ungkapnya.
Proteksi
Menanggapi temuan ini, Presiden Direktur BEI Iman Rachman mengatakan, situasi perekonomian dan kondisi kesehatan perusahaan yang belum pulih beberapa tahun terakhir juga menjadi tantangan bagi penyelenggara pasar modal. Beberapa indikasinya adalah amblesnya harga saham bahkan hingga ke level terendah Rp 50 per saham dan penggunaan hasil dana IPO untuk membayar utang perseroan.
Meski demikian, kondisi itu lantas tidak membuat BEI memperketat kesempatan penghimpunan dana lewat IPO. Sejak 2021, BEI justru memberikan relaksasi agar penghimpunan dana tidak hanya diberikan untuk perusahaan dengan satu ukuran.
”Kami tidak lagi hanya mengandalkan perusahaan yang punya laba bersih, yang penting perusahaannya punya revenue dan market capital. Misalnya, dia punya revenue, market cap minimal segini. Ada papan pencatatannya sesuai kategori. Jadi, banyak pintu bagi perusahaan,” tuturnya pada kesempatan sama.
Beberapa indikasinya adalah amblesnya harga saham bahkan hingga ke level terendah Rp 50 per saham dan penggunaan hasil dana IPO untuk membayar utang perseroan.
Di sisi lain, BEI lebih hati-hati memantau kinerja perusahaan dan teknikal mereka di bursa. Hal ini juga dilakukan sebagai bentuk perlindungan investor. Beberapa tahun lalu, BEI membuat mekanisme untuk secara transparan mengevaluasi dan menghentikan sementara perdagangan saham (suspensi) kepada emiten bermasalah.
Baca juga: Pasar Modal Bertumbuh, BEI Kuatkan Investor Domestik di 2024
BEI juga tengah mempertimbangkan aturan baru terkait penghapusan saham atau delisting dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK). Sejauh ini, antara 2020 hingga 2023, delisting dilakukan secara sukarela oleh sembilan perusahaan. Delisting terbaru dilakukan PT Bentoel Internasional Investama Tbk (RMBA).
Proses suspensi dan delisting selama ini dinilai masih lebih banyak merugikan investor. Proses suspensi juga bisa berlarut, hingga melampaui batas 24 bulan, karena ketidakjelasan status pemegang saham hingga keberadaan kantor perseroan. BEI pun sulit meminta pertanggungjawaban kepada emiten yang bermasalah.
”Pemegang saham nantinya akan diminta bertanggung jawab untuk beli harga sebelum berakhir. Ini yang masih kami review terhadap aturan bursanya,” kata Iman.
Michael T Tjoajadi, Presiden Direktur Schroders, menimpali, investor tidak perlu khawatir kondisi perusahaan yang mengalami distressed akan memengaruhi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Pasalnya, perusahaan kategori zombi itu hanya perusahaan berkapitalisasi besar.
”Yang memengaruhi indeks itu yang akan membuat stock market kelihatan buruk atau baik, ya kan? Contohnya, sektor perbankan yang paling memengaruhi indeks, karena weight-nya besar. Sementara perusahaan perbankan tidak diukur dalam riset ini,” ujarnya.