Energi terbarukan dalam bauran energi primer hanya bertambah 0,8 persen pada 2023. Penciptaan permintaan hilir krusial.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Energi terbarukan belum terakselerasi optimal pada 2023 karena realisasinya meningkat hanya 0,8 persen dalam bauran energi primer. Itu antara lain karena masih besarnya peran energi fosil serta hambatan terkait tingkat komponen dalam negeri atau TKDN energi terbarukan. Pengamat menilai, penciptaan permintaan di hilir ialah hal krusial.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), realisasi energi terbarukan dalam bauran energi primer pada 2023 ialah 13,1 persen atau meningkat 0,8 persen dari 2022 yang 12,3 persen. Pada bauran tersebut, batubara masih dominan dengan 40,46 persen, disusul minyak bumi dengan 30,18 persen, serta gas bumi 16,28 persen.
Sementara itu, energi terbarukan dalam bauran pembangkit listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) pada 2023 sebesar 12,21 persen atau turun dari 2022 yang 13,3 persen. Kendati demikian, tetap ada penambahan 539 megawatt (MW) kapasitas terpasang energi terbarukan sehingga realisasinya menjadi 13.155 MW pada 2023.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Jisman P Hutajulu dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (18/1/2024), mengatakan, energi terbarukan di Indonesia sejatinya bertambah. Namun, dari persentase memang rendah karena energi fosil pun masih bertambah.
Misalnya, di sektor kelistrikan, pada 2023, ada penambahan 4.182 MW penambahan pembangkit yang didominasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbasis batubara. Artinya, jika perhitungannya harus setara, harus ada pembangkit energi terbarukan yang dibangun dengan kapasitas yang sama. Dengan kondisi saat ini, hal tersebut sulit dilakukan.
Sekretaris Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Sahid Junaidi menuturkan, mundurnya operasi sejumlah pembangkit listrik energi terbarukan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 juga menjadi faktor belum optimalnya akselerasi energi terbarukan. Namun, menurut Sahid, peningkatan kapasitas energi terbarukan sudah sejalan dengan arah transisi energi.
Upaya yang dilakukan pihaknya saat ini ialah memacu penyelesaian pembangunan energi terbarukan. ”Untuk (proyek) dengan APBN, dengan ekonomi yang agak melambat, arus kas perusahaan (pelaksana) terganggu, sehingga penyelesaiannya melambat. Sementara yang swasta, salah satu kendala, ya (implementasi) TKDN,” ujar Sahid.
Kementerian ESDM, imbuh Sahid, terus berkoordinasi, termasuk dengan kementerian/lembaga lain guna mencari solusi terkait TKDN dalam energi terbarukan. Pasalnya, dua hal penting dalam pengembangan energi terbarukan ialah finansial dan teknologi. Namun, mencari pendanaan murah tidak mudah. Sementara teknologi bergantung dari luar negeri, tetapi terbentur aturan TKDN.
Lewat fasilitasi, melalui sejumlah regulasi yang ada, akselerasi energi terbarukan diharapkan bisa dilakukan pada 2024. ”Termasuk lewat Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) serta turunan-turunannya nanti. Mudah-mudahan bisa mempercepat (pengembangan energi terbarukan),” kata Sahid.
RUU EBET menjadi salah satu regulasi yang diharapkan tuntas pada 2024. RUU itu telah disepakati untuk dibahas kembali setelah Pemilihan Umum 2024. Regulasi lain ialah revisi Peraturan Menteri terkait Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap. Revisi permen itu telah selesai diharmonisasi dan telah diusulkan kembali kepada Presiden RI untuk diselesaikan pada 2024.
Realisasi energi terbarukan sebesar 13,1 persen pada bauran energi primer pada 2023 membuat target 23 persen pada 2025 semakin sulit untuk dikejar. Kementerian ESDM hingga kini masih berpegang pada target tersebut. Namun, Dewan Energi Nasional telah menyusun draf pembaruan Kebijakan Energi Nasional (KEN), yang salah satu isinya mengubah target itu.
Dalam draf rancangan peraturan pemerintah (RPP) KEN yang baru, target energi terbarukan dalam bauran energi primer pada 2025 ialah 17-19 persen. Itu didasari tidak tercapainya asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 7-8 persen dalam KEN yang kini berlaku, PP Nomor 79 Tahun 2014 tentang KEN. Dalam draf RPP KEN, pertumbuhan ekonomi menyesuaikan kondisi pasca-Covid-19.
Penciptaan permintaan
Pakar energi yang juga dosen pada Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (FT UGM), Yogyakarta, Tumiran mengatakan, terkait energi terbarukan, Indonesia terkungkung pada persoalan pasokan (supply). Padahal, yang terpenting saat ini ialah penciptaan permintaan (demand) atau offtaker energi. Perlu ada pertumbuhan industri dengan konsep, perencanaan, dan strategi yang jelas.
”Yang sekarang terjadi, kan, produktivitas tak berjalan. Dampaknya, demand tidak naik signifikan, sedangkan pasokan energi fosil sudah tersedia. Tidak mungkin memaksakan energi terbarukan masuk. Apabila kita selalu menekan hulu dan hilirnya tidak bergerak, tidak selesai-selesai (mengejar transisi energi). Mandek,” kata Guru Besar Bidang Power and Energy System pada FT UGM itu.
Ia menekankan, berbicara tentang energi terbarukan tidak boleh selesai di tengah jalan, tetapi bagaimana mengupayakan agar energi itu bisa menggerakkan ekonomi di hilir. Jika tidak, Indonesia hanya akan menjadi pasar. Ia mendorong pemerintah agar memiliki skenario besar terkait industri apa yang hendak dibangun. Swasta bisa membiayai, tetapi jaminan kembalinya investasi mesti terlindungi oleh penciptaan pasar yang jelas dari pemerintah.
Mengenai mundurnya operasi (commercial on date/COD) pada pembangkit-pembangkit energi terbarukan dalam RUPTL 2021-2030, Tumiran menekankan perlunya perbaikan manajemen. ”Dari perencanaan, pembangunan infrastruktur, hingga COD. Kalau mundur-mundur terus, berarti perencanaan kita tidak bagus,” kata anggota DEN periode 2009-2014 dan 2014-2019 itu.