Pengusaha menolak kenaikan tarif pajak hiburan yang memberatkan. Banyak komponen lain yang tetap harus dibayarkan.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengusaha spa menentang jenis usahanya digolongkan dalam hiburan yang kemudian terdampak kebijakan kenaikan tarifpajak hiburan 40-75 persen. Pelaku usaha melihat kegiatan usaha mereka berkaitan dengan kebugaran dan kearifan lokal yang berkembang. Mereka meminta pemerintah menunda penerapan pajak itu.
”(Tarif pajak) dari 15 persen, sekarang jadi minimal 40-75 persen. Hal ini sangat mengagetkan dunia usaha,” kata Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Badung (Bali), I Gusti Agung Ngurah Rai Suryawijaya, yang juga menaungi bisnis spa, Rabu (17/1/2024). Ia menyayangkan, para pengusaha di Bali tak pernah dilibatkan menyusun regulasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD).
Oleh karena itu, pihaknya mendukung uji materi (judicial review)yang dilayangkan para pengusaha spa Indonesia ke Mahkamah Konstitusi. Sembari menanti putusan uji materi, Rai berharap agar pemerintah menunda penerapan pajak hiburan.
Selain pajak, Pemda Bali juga menetapkan pungutan Rp 150.000 bagi wisatawan asing mulai 14 Februari 2024. Pungutan ini digunakan untuk melestarikan budaya dan lingkungan di Bali, termasuk penanganan sampah di Bali.
Rai menilai, banyaknya komponen yang perlu dibayarkan wisatawan itu memberatkan. Apabila hal ini terus terjadi, bukan tak mungkin mereka memilih berlibur ke negara-negara lain, seperti Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Spa Indonesia (Aspi) M Asyhadi berpendapat, keputusan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk memberi keleluasaan pemerintah daerah (pemda) menerapkan besaran tarif pajak hiburan tertentu di bawah 40-75 persen yang kini berlaku hanyalah janji belaka.
”Itu kayak janji manislah. Janji manis itu artinya mereka tetap pakai 40-75 persen kalau kami mau ajukan insentif harus membuka rugi-laba. Hal (keputusan) itu sangat-sangat tergantung pemda masing-masing, ” ujarnya.
Padahal pemda butuh meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Namun, penerapan tarif pajak yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD) dinilai pengusaha justru dapat mematikan usaha mereka.
Asyhadi menambahkan, harga pokok penjualan spa berkisar 15-20 persen. Apabila ada kenaikan tarif pajak hingga minimal 40 persen, harganya pun otomatis terkerek naik.
”Dengan harga seperti ini, enggak masuk (akal) karena sudah puluhan tahun dengan desain budget seperti itu,” katanya.
Selain itu, pihaknya merasa makin terbebani dengan banyak jenis pajak lain yang harus dibayarkan. Beberapa adalah Pajak Penghasilan (PPh) 21 dan 23.
Dalam UU HKPD, pemerintah menetapkan tarif pajak hiburan jenis barang dan jasa tertentu (PBJT), minimal 40 serta maksimal 75 persen yang berlaku per Januari 2024. UU HPKD mengacu pada UU Cipta Kerja dengan jeda sekitar dua tahun, sebelum akhirnya regulasi kenaikan pajak ditetapkan. Kenaikan tarif PBJT itu mencakup kegiatan yang peredarannya perlu dikendalikan karena dinilai bisa berdampak negatif untuk masyarakat, yakni diskotek, karaoke, klub malam, bar, dan mandi uap serta spa.
Kebijakan ini tak berlaku bagi usaha hiburan lain, sebab mereka hanya dikenai tarif pajak maksimal 10 persen, tanpa tarif batas bawah minimum. Usaha hiburan umum yang dimaksud, antara lain, bioskop, wahana wisata, dan panti pijat.
Sejauh ini, pemerintah tak menerapkan batas minimal tarif pajak untuk jenis hiburan tertentu, berpedoman pada UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Kompas.id, 16/1/2024). Pemerintah hanya mengatur tarif batas maksimal mencapai 75 persen.
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati Chrityana mengemukakan, pemda diberi keleluasaan untuk menetapkan besaran tarif pajak hiburan berkisar 40-75 persen. Syaratnya, pengusaha setempat mengajukan insentif fiskal jika keberatan sehingga pemda melanjutkan dengan penilaian untuk memberi insentif atau keringanan pajak.
Persoalan ini kemudian mendorong Aspi dan para pengusaha Bali yang tergabung dalam Bali Spa Bersatu mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terhadap kebijakan tarif pajak dalam UU HKPD.
Mereka merasa dirugikan karena kebijakan tersebut menggolongkan spa dalam kategori seni dan hiburan yang disamakan dengan diskotek, karaoke, klub malam, dan bar. Definisi hiburan juga tak sesuai dengan bidang usaha spa.
”Justifikasi pada definisi spa. Definisi hiburan itu dipertontonkan dan mendapat bayaran,” ujar Asyhadi yang juga Ketua Umum Asosiasi Terapis Indonesia (Asti).
Selain itu, spa yang masuk dalam kategori hiburan dalam UU HKPD dinilai berbenturan dengan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang diturunkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional. Kemudian, ada pula Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Spa yang menjadi acuan para pengusaha spa.
Asyahdi berpendapat, spa seharusnya masuk dalam kesehatan tradisional seperti dalam aturan-aturan tersebut. Alhasil, spa semestinya tak masuk dalam golongan hiburan.
Dalam permohonan uji materi bernomor 10/PUU/PAN.MK/AP3/01/2024 ini, Aspi menilai UU HKPD ini bertentangan dengan UU Dasar 1945 sebab ada perbedaan tarif pajak antarkelompok hiburan. Selain itu, pihaknya sebagai pelaku usaha tak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan ini.
Para pemohon berupaya mengeluarkan kegiatan spa dari golongan hiburan. Sebab, posisinya dalam regulasi-regulasi yang ada saling berbenturan, seperti dalam konteks hiburan dan kesehatan.
Asyahdi mengemukakan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mendukung langkah mereka. Audiensi dengan Kementerian Kesehatan juga akan dilakukan pada Jumat (19/1/2024).
Menparekraf Sandiaga Uno dalam konferensi pers, Senin (15/1/2024), mengatakan, spa akan tetap berbasis budaya dan kearifan lokal. Jenis usaha ini tak termasuk dalam pajak hiburan yang sedang menjadi bahasan.
Ia telah berkeliling untuk menangkap aspirasi pelaku usaha yang berhubungan erat dengan hiburan dan pariwisata kreatif. Ingar bingar isu ini memang muncul setelah awal tahun 2024. Ia mengakui, pelaku usaha keberatan dengan kenaikan pajak, bahkan ketika hanya di bawah 40 persen. Sebab, mereka juga telah dibebani dengan biaya keamanan, perizinan, serta unsur-unsur lainnya.
Kemenkeu telah melakukan desentralisasi fiskal pada pemerintah daerah. Namun, ia berharap tak ada kesulitan massal akibat kenaikan pajak pada awal tahun ini, apalagi sektor pariwisata baru saja bangkit setelah pandemi Covid-19.
Sejauh ini, Peraturan Daerah (Perda) Badung, Tabanan, Gianyar, dan Kota Denpasar menetapkan besaran pajak hiburan 40 persen. Dalam masa uji perkara ini, Sandiaga berharap perda yang disusun bisa menunggu detail sesuai keputusan MK sembari diskusi dengan para pelaku usaha terus berjalan. Pada prinsipnya, lanjut Sandiaga, perlu dicari titik tengah agar para pelaku usaha dapat tetap membuka lapangan kerja sekaligus membayar komitmennya pada penerimaan negara.
”Kalau usahanya dibebani terlalu besar pajaknya, ini enggak sehat, enggak kondusif,” ujar Sandiaga. Berkaca dari negara-negara tetangga, Singapura memberlakukan pajak hiburan sebesar 15 persen sehingga besaran pajak Indonesia idealnya berkisar 20-25 persen. Ketika pajak hiburan tetap berlaku 40-75 persen, ia berpendapat sebaiknya pelaku usaha perlu mendapat insentif.