Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang Masih Seret
Belum semua pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja bisa menerima manfaat.
JAKARTA, KOMPAS — Sejak resmi berlaku 1 Februari 2022, pelaksanaan program jaminan kehilangan pekerjaan atau JKP masih seret. Belum semua pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja atau PHK bisa menerima manfaat. Selain itu, juga masalah kendala persyaratan, administrasi pencairan, keterbatasan fasilitas pelatihan, pasar kerja, dan literasi pekerja masih mengemuka.
JKP merupakan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang sekarang sudah diubah menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023. Untuk mengatur pelaksanaan, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program JKP.
JKP memiliki tiga manfaat, yaitu bantuan uang tunai, informasi lowongan kerja, dan pelatihan kerja. Bantuan uang tunai berlaku untuk enam bulan setelah pekerja terkena PHK dan diverifikasi oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Program JKP diperuntukkan bagi pekerja penerima upah, seperti pekerja kantoran dan buruh pabrik, dengan kriteria wajib warga negara Indonesia, belum mencapai usia 54 tahun saat terdaftar menjadi peserta, dan pekerja dalam badan usaha skala menengah dan besar yang sudah mengikuti empat program jaminan sosial ketenagakerjaan.
Kalaupun pekerja bersangkutan bekerja pada perusahaan skala kecil dan mikro, mereka harus ikut tiga program jaminan sosial ketenagakerjaan, yaitu jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan pensiun. Selanjutnya, baik pekerja di badan usaha mikro, kecil, menengah, maupun besar harus terdaftar sebagai peserta jaminan kesehatan nasional.
Baca juga : Perlu Sosialisasi Manfaat Jamsostek
Dalam riset yang dilakukan Trade Union Rights Centre (TURC) dan Synergy Policies (firma konsultan kebijakan publik), jumlah pekerja yang mengalami PHK Januari 2022- November 2023 di 11 daerah mencapai 396.820 orang. Dari jumlah ini, penerima manfaat JKP 2023 sebanyak 126.554 orang. Kesebelas daerah yang dimaksud adalah Sumatera Utara; Sumatera Barat dan Riau; Sumatera Selatan; DKI Jakarta; Jawa Barat; Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta; Jawa Timur; Banten; Bali, Nusa Tenggara, dan Papua; Kalimantan Timur; serta Sulawesi dan Maluku.
TURC juga melakukan kegiatan rapid assessment ke 30 perusahaan garmen di provinsi Jawa Tengah, Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat tahun lalu. Dari kegiatan ini, TURC menemukan praktik perusahaan daftar sebagian pekerja ke program jaminan sosial ketenagakerjaan dan minimnya jumlah pekerja yang terdaftar JKP meski memenuhi semua syarat. Hanya 4 dari 30 perusahaan yang sepenuhnya patuh.
Selanjutnya, riset juga menemukan beberapa pola masalah yang dialami pekerja dalam mengakses JKP. Pertama, pekerja dengan waktu kerja pendek tidak bisa mengakses JKP meskipun mereka juga kehilangan pekerjaan. Pekerja kontrak pendek biasanya hanya bekerja 30–90 hari sementara pemerintah mensyaratkan kepesertaan minimal 12 bulan agar dapat mengakses manfaat JKP.
Masalah kedua adalah administrasi informasi pekerja tidak akurat. Ketiga, proses mediasi PHK yang merugikan pekerja. Keempat, pekerja menjadi korban ketidaksinambungan program-program jaminan sosial. Kelima, rendahnya literasi digital pekerja karena masih ada pekerja kesulitan mengakses aplikasi SIAPKerja. Terakhir, infrastruktur internet yang tidak merata sehingga membuat pekerja korban PHK gagal melalui proses pendaftaran JKP.
”Salah usulan kami supaya bisa mengoptimalkan JKP adalah mengubah PP No 37/2021 terlebih dahulu. Syarat kepesertaan JKP harus disederhanakan agar lebih banyak pekerja yang terkena PHK, termasuk PHK karena alasan habis kontrak, bisa mengakses JKP,” ujar Direktur Eksekutif TURC Andriko S Otang, Selasa (16/1/2024), di Jakarta.
Dia juga menyarankan agar pengelolaan pelatihan sampai pembukaan akses pasar kerja dilakukan pemerintah pusat, tetapi tetap berkoordinasi dengan dinas tenaga kerja kabupaten/kota sebagai kepanjangan tangan. Hal ini bertujuan untuk memastikan tidak ada ketimpangan penyelenggaraan pelatihan antardaerah.
Baca juga: Praktik PHK Sepihak Masih Warnai Pengaduan Pelanggaran Ketenagakerjaan
Aneka versi
Ketua Hubungan Internasional dan Jaringan Dewan Pengurus Pusat Serikat Pekerja Nasional (SPN) Iwan Kusmawan mengatakan, sesuai pemantauan SPN ditemukan aneka versi cara mengakses JKP. Sebagai contoh, JKP baru bisa diambil harus menunggu putusan pengadilan hubungan industrial yang inkrah. Versi lainnya, pekerja yang terkena PHK dari perusahaan pailit dapat mengakses manfaat JKP setelah pihak manajemen langsung mendaftarkan JKP dan status PHK dilegalisasi oleh dinas tenaga kerja.
”Kalau pekerja yang proses PHK harus menunggu putusan pengadilan hubungan industrial, ini akan memakan waktu lama. Bisa setahun sementara batas maksimal katanya adalah mengakses JKP tiga bulan setelah putusan PHK dari perusahaan. Lalu, bagaimana nasib manfaat JKP yang menjadi hak dia?” ujar Iwan.
Secara terpisah, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyampaikan, rasio klaim JKP sampai sekarang masih berkisar 3-5 persen. Pekerja yang sudah mengakses JKP dan mau mengambil manfaat pelatihan kerja pada Januari - November 2023 hanya berkisar 189 orang.
Dia menduga, belum banyak pekerja yang sudah mengakses JKP dan mau mengambil manfaat pelatihan karena nominal uang untuk ikut pelatihan relatif kecil, yaitu sekitar Rp 1 juta per orang.
“Kami juga curiga, kalaupun ada pekerja yang gampang mengakses JKP, mereka cenderung mengambil manfaat uang tunai saja. Tema pelatihan dan informasi pasar kerja yang sesuai dengan minat relatif masih terbatas,” kata Timboel.
Sementara itu, peneliti Research Center for Population Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Yanu Endar Prasetyo mengatakan, dari hasil penelitian kualitatif BRIN di Kabupaten Bekasi dan Kota Batam pada 2022, ada tiga faktor yang membuat cakupan JKP masih rendah meski berjalan hampir dua tahun. Ketiga faktor itu adalah literasi dan kesiapan teknis, administrasi, serta politik dan persepsi publik.
Sejumlah perusahaan tidak mendaftarkan pekerja atau menunggak iuran jaminan sosial ketenagakerjaan sehingga karyawan yang terkena PHK sepihak tidak bisa merasakan manfaat JKP.
Faktor literasi dan kesiapan teknis serta administrasi yang ditemukan BRIN mirip seperti penemuan riset TURC dengan Synergy Policies, SPN, dan BPJS Watch. Misalnya, sejumlah perusahaan tidak mendaftarkan pekerja atau menunggak iuran jaminan sosial ketenagakerjaan sehingga karyawan yang terkena PHK sepihak tidak bisa merasakan manfaat JKP.
Baca juga : Hubungan Kerja Kontrak Semakin Berkembang
Yanu mengatakan, dalam penelitian BRIN, faktor politik dan persepsi publik juga tak kalah kuat dalam menurunkan partisipasi JKP. Hampir semua serikat pekerja/buruh di wilayah penelitian menolak UU Cipta Kerja yang berarti menolak juga JKP.
Sementara anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Soeprayitno mengatakan, dinas tenaga kerja di daerah memegang peranan kunci karena mereka yang memberi validasi status PHK seorang pekerja. BPJS Ketenagakerjaan hanya menerima hasil lalu mencairkan manfaat.
Perkuat sosialisasi
Deputi Bidang Komunikasi BPJS Ketenagakerjaan Oni Marbun, Rabu (17/1/2024), di Jakarta, mengatakan, hingga November 2023, jumlah perusahaan yang aktif dalam program JKP baru sebanyak 266.000 dengan total tenaga kerja peserta yang mencapai 13,3 juta orang. Masih ada tantangan sejumlah perusahaan daftar sebagian upah, program, ataupun karyawan.
”Dengan demikian, muncul pekerja yang pada akhirnya tidak layak untuk mendapatkan manfaat JKP,” ujarnya.
Dalam upaya meningkatkan kepatuhan para pemberi kerja, BPJS Ketenagakerjaan melakukan fungsi pengawasan dan pemeriksaan yang bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan. Diharapkan, hal itu mampu meningkatkan jumlah pekerja yang layak menerima manfaat JKP.
Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Indah Anggoro Putri, saat dikonfirmasi, mengatakan, pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan akan memperkuat sosialisasi. Sosialisasi yang dia maksud sudah termasuk penjelasan apa itu JKP, manfaat, dan cara akses.
”Kemarin, saya sudah bertemu dengan BPJS Ketenagakerjaan dan berdiskusi. Petugas BPJS Ketenagakerjaan sampai ke kabupaten/kota perlu lebih aktif menyosialisasikan program JKP,” kata Indah.
Direktur Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker Retna Pratiwi menambahkan, PP No 37/2021 sebenarnya terdapat amanat agar pemerintah dalam waktu dua tahun melakukan evaluasi JKP. Dari hasil evaluasi, pemerintah baru bisa mengetahui apakah aturan pelaksana JKP harus disesuaikan atau hanya perbaikan implementasi program.
Baca juga: PHK Perusahaan Teknologi di Tengah Keramaian Pemilu 2024