Perlambatan Ekonomi Global Tekan Ekspor Indonesia 2023
Perlambatan ekonomi dunia dan penurunan harga komoditas mengerek turun kinerja ekspor selama 2023.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja ekspor Indonesia pada 2023 menurun 11,33 persen secara tahunan dibandingkan tahun 2022. Harga komoditas unggulan pendulang ekspor yang mengalami penurunan ditambah perlambatan ekonomi global memicu penurunan permintaan dari negara tujuan ekspor, membuat kinerja ekspor secara keseluruhan menurun.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), total nilai ekspor Indonesia pada Januari-Desember 2023 mencapai 258,82 miliar dollar AS, turun 11,33 persen dibandingkan ekspor 2022 yang sebesar 275,96 miliar dollar AS.
Kontributor ekspor masih didominasi oleh ekspor nonmigas yang sebesar 242,89 miliar dollar AS atau berkontribusi 93,85 persen dari total ekspor. Adapun sisanya berasal dari ekspor migas yang sebesar 15,92 miliar dollar AS.
Dalam jumpa pers paparan kinerja ekspor-impor 2023, Senin (15/1/2024), di Jakarta, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini menjelaskan, sepanjang 2023 ada sejumlah fenomena yang memengaruhi kinerja ekspor Indonesia. Harga komoditas unggulan penyumbang ekspor Indonesia mengalami penurunan
Harga minyak sawit yang pada Desember 2022 berada di level 940,4 dollar AS per metrik ton menurun pada akhir Desember 2023 menjadi 813,5 dollar AS per metrik ton.
Dampaknya, kinerja ekspor lemak dan minyak hewani/nabati dengan kode Harmonized System (HS) 15 pada 2023 merosot 23,42 persen dibandingkan 2022. Pada 2023 ekspor komoditas ini sebesar 28,45 miliar dollar AS, menurun dibandingkan tahun 2022 yang mencapai 35,15 miliar dollar AS. Padahal, komoditas ini berkontribusi 11,71 persen terhadap ekspor industri nonmigas atau 10,99 persen dari total ekspor.
Harga batubara dunia juga menurun. Pada Desember 2023 harga batubara dunia berada di level 141,8 dollar AS per metrik ton, merosot lebih dari setengahnya dibandingkan Desember 2022 yang berada di level 379,2 dollar AS per metrik ton.
Hal ini membuat kinerja ekspor batubara atau komoditas dengan kode HS 2701 ini menurun 19,09 persen secara tahunan. Padahal, batubara berkontribusi 13,38 persen dari total ekspor Indonesia.
Selain harga komoditas yang menurun, lanjut Pudji, perlambatan ekonomi negara tujuan ekspor menurunkan permintaan ekspor. Beberapa pertumbuhan ekonomi negara mitra dagang utama melambat.
Pertumbuhan ekonomi China pada triwulan ketiga 2023 sebesar 4,9 persen, menurun dibandingkan triwulan kedua sebesar 6,3 persen. Padahal, China adalah salah satu mitra dagang utama Indonesia dengan kontribusi ekspor hingga 25,66 persen dengan nilai 62,33 miliar dollar AS.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi Jepang pada triwulan ketiga 2023 sebesar 1,5 persen, menurun dibandingkan triwulan kedua sebesar 2,2 persen. Jepang berkontribusi terhadap 7,78 persen dari total ekspor dengan nilai 18,88 miliar dollar AS.
Pertumbuhan ekonomi India sebagai salah satu mitra dagang Indonesia juga melambat. Pada triwulan ketiga 2023, pertumbuhan ekonomi India sebesar 7,6 persen, melambat dibandingkan triwulan kedua 2023 sebesar 7,8 persen. Adapun India berkontribusi sebesar 8,35 persen dari total ekspor dengan nilai 20,28 miliar dollar AS.
Dihubungi secara terpisah, ekonom Bank Danamon, Irman Faiz, mengatakan, kendati mencatat penurunan ekspor, Indonesia masih mencatat surplus neraca perdagangan. Ini meneruskan surplus neraca perdagangan 44 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Namun, pada 2023, surplus neraca perdagangan mencapai 3,31 miliar dollar AS, menurun dibandingkan 2022 yang surplusnya mencapai 3,92 miliar dollar AS.
Menurut Irman, penurunan ekspor itu terjadi memang karena permintaan dunia yang melemah. Salah satunya dipicu dari pelemahan ekonomi China yang merupakan destinasi ekspor terbesar pelaku usaha Tanah Air.
Selain itu, penurunan juga karena dipicu normalisasi harga komoditas yang terjadi sepanjang 2023. Sebelumnya pada 2021 dan 2022, sejumlah harga komoditas meroket tak wajar karena saat itu ada perang yang mengganggu rantai pasok global. Akibatnya, terjadi anomali lonjakan harga.
Potensi 2024
Dihubungi secara terpisah, Senin, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengatakan, kinerja ekspor 2024 dipengaruhi oleh banyak faktor di negara-negara destinasi utama perdagangan Indonesia.
Misalkan Amerika Serikat sangat dipengaruhi tingkat inflasi dan kebijakan suku bunga bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed). Ketika inflasi masih tinggi, The Fed akan mempertahankan rezim suku bunga tinggi. Hal ini menahan belanja domestik di AS sehingga berpengaruh terhadap permintaan ekspor di Indonesia. Mengutip BPS, ekspor menuju AS berkontribusi 9,57 persen dari total ekspor Indonesia dengan nilai 23,23 miliar dollar AS.
Sementara perekonomian di kawasan Eropa, lanjut Benny, belum pulih sepenuhnya sebagai dampak dari perang Rusia melawan Ukraina. ”Konsumsi domestik di negara kawasan itu masih fokus pada barang-barang primer. Mana sempat mereka memikirkan impor,” ujar Benny.
Tahun ini, dunia usaha akan mengandalkan untuk masuk ke pasar India dan Pakistan.
Ia mengatakan, tahun ini, dunia usaha akan mengandalkan untuk masuk ke pasar India dan Pakistan. Pertumbuhan ekonomi di negara ini masih tinggi. Selain itu, jumlah penduduk yang besar di dua negara ini menjadi potensi pasar yang akan coba dimanfaatkan.
Adapun komoditas yang mungkin masih bisa menopang kinerja ekspor ini adalah batubara dan produk sawit. Apabila perekonomian China pada 2024 bisa bangkit, kebutuhan akan batubara bakal meningkat. Adapun sawit juga masih potensial sebab ini bisa diolah menjadi pangan yang menjadi kebutuhan primer manusia.