Pemerintah Janjikan Insentif Biaya Spektrum Frekuensi
Opsi insentif yang dibuka Kementerian Komunikasi dan Informatika menyasar ke pembayaran frekuensi tahunan dan lelang.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah membuka dua opsi insentif untuk membantu penyehatan industri telekomunikasi seluler. Kedua opsi insentif menyasar ke biaya hak penggunaan spektrum frekuensi yang wajib dibayar operator.
Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Ismail, di sela-sela acara Ngopi Bareng Kominfo, Jumat (12/1/2024), di Jakarta, menyampaikan, opsi insentif pertama menyasar ke biaya hak penggunaan (BHP) spektrum frekuensi yang sedang dipakai oleh operator telekomunikasi seluler yang dibayar setiap tahun. Bentuk insentifnya mirip diskon karena operator telekomunikasi seluler bisa membayar kewajiban ini dengan nilai lebih rendah dari nilai sebelumnya.
Opsi insentif kedua menyasar ke spektrum frekuensi hasil lelang. Wujud insentifnya bisa berupa pengurangan kewajiban membayar up front fee (biaya nilai awal) dari biasanya dua kali menjadi satu kali.
”Rumus bayar spektrum frekuensi hasil lelang biasanya biaya nilai awal dua kali lalu bayar biaya tahunan di depan usai menang lelang. Bisa biaya nilai awal yang dikurangi atau total biaya bayar di depan usai menang lelang yang diperbolehkan bayar 70 persen dulu,” ujarnya.
Ismail memastikan bahwa sampai sekarang, program pemberian dua opsi insentif tersebut sedang proses difinalkan. Kemenkominfo juga berkoordinasi dengan kementerian/lembaga lain, seperti Kementerian Keuangan serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, untuk membahas kedua opsi itu. Pemberian insentif menyasar ke biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi erat kaitannya dengan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Menurut dia, kedua opsi insentif spektrum frekuensi itu belum tentu bisa berjalan bersamaan. Ada kemungkinan jalan salah satunya. Kepastian keputusan kebijakan akan segera diumumkan bersamaan dengan pengumuman lelang spektrum frekuensi 700 megahertz (MHz) dan 26 gigahertz (GHz). Konsultasi publik peraturan lelang dua frekuensi itu sudah selesai tahun lalu.
”Jika pemerintah memberikan opsi insentif itu, PNBP Kemenkominfo pasti terpengaruh. Dilemanya adalah negara mau terima uang kas (besar) atau pelayanan publik di bidang telekomunikasi seluler membaik dan harga layanannya lebih terjangkau. Dalam proses membahas pemberian insentif ini, kami benar-benar berhati-hati supaya apa pun keputusan kami dapat dipertanggungjawabkan,” ucap Ismail.
Ketika ditanya apakah Kemenkominfo dapat menjamin operator telekomunikasi seluler yang diberi insentif meningkatkan kualitas dan lebih gencar membangun infrastruktur, dia hanya menjawab bahwa pemerintah menginginkan komitmen mereka berjalan. Artinya, operator telekomunikasi seluler harus bertanggung jawab membangun pemancar lebih luas dan jangan sampai ada blankspot.
”Saat kami (tahun lalu) menyiapkan spektrum frekuensi untuk dilelang, muncul isu operator telekomunikasi seluler yang pendapatannya tergerus. Salah satu penyebabnya karena harus bersaing dengan perusahaan raksasa aplikasi internet (over-the-top/OTT),” imbuh Ismail.
Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi, secara terpisah, berpendapat, dua opsi insentif yang menyasar kewajiban membayar BHP spektrum frekuensi itu cukup progresif. Dia berharap agar Kemenkominfo benar-benar merealisasikannya.
Spektrum frekuensi yang sedang dipakai oleh operator telekomunikasi seluler dudah memberikan pendapatan negara yang besar. Jika bisnis telekomunikasi seluler sedang terguncang, dia menyarankan agar pemerintah mengevaluasi mekanisme cara bayar BHP tahunan.
”Begitu pula dengan spektrum frekuensi baru (hasil lelang). Metode penentuan harga spektrum frekuensi yang lama sudah tidak cocok. Beberapa negara, seperti Hong Kong, tidak lagi memasukkan biaya nilai awal terhadap total biaya yang harus dibayar operator telekomunikasi seluler pemenang lelang,” ujarnya.
Heru menjelaskan, besaran BHP spektrum frekuensi yang harus dibayar masin-masing operator telekomunikasi seluler berbeda. Sebab, ini tergantung berapa banyak jumlah spektrum frekuensi yang dimiliki. Namun, dia memastikan nilainya besar.
”PNBP Kemenkominfo yang sekitar Rp 25 triliun, mayoritas berasal dari spektrum frekuensi,” ujarnya.
Sebelumnya, total biaya penggunaan spektrum frekuensi di Indonesia, sesuai temuan riset asosiasi yang mewadahi kepentingan operator telekomunikasi seluler seluruh dunia atau GSMA telah meningkat lebih dari lima kali lipat sejak tahun 2010.
Temuan riset itu dimuat dalam laporan Biaya Spektrum Berkelanjutan untuk Memperkuat Ekonomi Digital Indonesia yang dirilis oleh GSMA, Kamis (9/11/2023), di Jakarta. Dalam laporan itu disebutkan, biaya penggunaan spektrum frekuensi yang dimaksud adalah biaya saat lelang dan perpanjangan perizinan pemakaian spektrum frekuensi setelah sepuluh tahun. Mekanisme biaya perpanjangan perizinan pemakaian biasanya turut mempertimbangkan inflasi dan populasi penduduk.
Saat ini rasio biaya penggunaan spektrum frekuensi tahunan dibandingkan dengan pendapatan operator telekomunikasi seluler di Indonesia sudah mencapai 12,2 persen. Adapun rasio rata-rata di tingkat Asia Pasifik berkisar 8,7 persen dan tingkat global 7 persen (Kompas.id, 9/11/2023).
Presiden Direktur & CEO PT XL Axiata Tbk Dian Siswarini, dalam acara perusahaan, Oktober 2023, di Jakarta, mengatakan, harga spektrum frekuensi di Indonesia tergolong tinggi dibandingkan di negara tetangga. Tingginya harga itu akan membuat bisnis layanan telekomunikasi yang memakai teknologi akses seluler baru tidak akan berkelanjutan. Dia memberikan ilustrasi. Dalam lelang spektrum frekuensi 2,1 gigahertz (GHz) dengan lebar pita 5 MHz yang hasil spektrum frekuensi yang dikembalikan karena Indosat Ooredoo dan Hutchison Tri Indonesia merger, harganya di atas Rp 600 miliar (Kompas, 9/10/2023).