Pekerja informal umumnya rentan karena jauh dari akses jaminan sosial dan upah layak berkelanjutan.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski tingkat pengangguran secara global menurun dan lapangan kerja bertumbuh, gejala penurunan upah riil tetap perlu diwaspadai. Gejala ini sejalan dengan berkembangnya pekerja informal.
Laporan World Employement and Social Outlook: Trends 2024 yang dirilis oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) secara global pada Rabu (10/1/2024), menyebutkan, tingkat pengangguran dan tingkat kesenjangan pekerjaaan (jumlah orang tanpa pekerjaan yang tertarik untuk mencari pekerjaan) telah turun di bawah tingkat sebelum pandemi Covid-19. Tingkat pengangguran global pada tahun 2023 mencapai 5,1 persen, sedikit turun dibandingkan tahun 2022 yang mencapai 5,3 persen. Kesenjangan lapangan kerja global dan tingkat partisipasi pasar tenaga kerja juga membaik pada tahun 2023.
Namun, di balik angka-angka tersebut, kerapuhan mulai terlihat. Laporan itu memproyeksikan bahwa prospek pasar tenaga kerja dan pengangguran global akan memburuk. Pada tahun 2024, diperkirakan akan ada tambahan dua juta pekerja yang mencari pekerjaan sehingga meningkatkan tingkat pengangguran global dari 5,1 persen pada tahun 2023 menjadi kembali ke 5,2 persen.
Di sebagian besar negara G20 upah riil menurun. Kenaikan upah nominal tidak mampu mengimbangi inflasi.
Pada tahun 2023, secara global jumlah pekerja yang hidup dalam kemiskinan ekstrem alias hanya berpenghasilan kurang dari 2,15 dollar AS per hari per orang berdasarkan paritas daya beli tumbuh sekitar 1 juta orang secara global. Pekerja dalam kemiskinan moderat atau berpenghasilan kurang dari 3,65 dollar AS per hari per orang berdasarkan paritas daya beli juga naik 8,4 juta orang pada 2023. Penurunan kemiskinan moderat hanya terjadi di negara-negara berpendapatan menengah ke atas.
Director General ILO Gilbert F Houngbo, dalam siaran pers yang dikutip Jumat (12/1/2024), di Jakarta, mengatakan, secara global jumlah pekerja di perekonomian informal meningkat melebihi angka 2 miliar orang pada tahun 2023. Tahun 2024, tingkat pekerja informal akan statis di angka 58 persen dari total angkatan kerja global, tetapi kualitas pekerjaannya masih rendah. Artinya, masih banyak pekerja tidak mendapatkan pekerjaan yang layak di sektor dan bidang pekerjaan yang mereka kuasai.
Di Asia dan Pasifik, hampir dua pertiga dari total lapangan kerja merupakan pekerjaan informal pada tahun 2023. Angka ini telah menurun dari 72,7 persen pada dua dekade sebelumnya. Tingkat lapangan kerja informal sangat bervariasi di kawasan ini dengan tingkat tertinggi di Asia Selatan (87 persen pada tahun 2023), diikuti oleh Asia Tenggara (70 persen), Asia Timur (47 persen), dan Pasifik (35 persen).
”Ketimpangan pendapatan juga semakin melebar. Penurunan pendapatan riil yang dapat dibelanjakan menjadi pertanda buruk bagi permintaan agregat dan pemulihan ekonomi yang lebih berkelanjutan,” ujar Gilbert.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal, Jumat (12/1/2024), mengatakan, isi laporan ILO bertajuk ”World Employement and Social Outlook: Trends 2024” sejalan dengan kondisi yang terjadi di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam beberapa tahun terakhir juga menyebutkan penurunan upah riil. Penurunan ini bahkan terjadi sampai 2023 meskipun tahun 2022 sempat membaik.
Penurunan upah riil dialami oleh pekerja di banyak sektor, seperti perdagangan, keuangan, dan informasi komunikasi. Upah riil di industri manufaktur hanya naik tipis. Hanya sebagaian kecil pekerja sektor pertanian yang upah riil mereka masih positif. Dengan kondisi ini, dia menjelaskan, daya beli pekerja menurun. Pembelian barang tersier berkurang karena pekerja akhirnya fokus membeli barang kebutuhan pokok.
”Hal itu mendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi konsumsi rumah tangga semakin rendah,” ujar Faisal.
Fenomena pekerja informal yang sampai sekarang terjadi, menurut dia, adalah warisan dari pandemi Covid-19. Selain itu, gejala informalitas pekerja sejalan dengan fenomena penurunan upah riil.
Tantangan negara menciptakan lebih banyak pekerja formal adalah digitalisasi di banyak tempat kerja. Aliran investasi yang masuk ke Indonesia, kata Faisal, mulai muncul tren padat modal.
Officer Asia Floor Wage Alliance Rizki Estrada mengatakan, upah nominal yang diterima pekerja, terutama pekerja formal, biasanya mengalami pemotongan beberapa hal. Nilai pemotongannya naik. Misalnya, pajak penghasilan pekerja naik. Jika ada gejala upah riil turun, dia menduga itu dipengaruhi oleh adanya kenaikan potongan upah nominal.
”Bisa juga dipengaruhi oleh perubahan iklim dan kondisi demokrasi. Konsekuensi upah riil turun, yaitu daya beli yang tergerus,” ujarnya.
Menurut Rizki, tren pekerja informal di Asia Pasifik sudah lama terjadi. Penyebabnya adalah kegagalan industri manufaktur menyerap banyak pekerja. Sejumlah pabrik manufaktur sampai sekarang masih suka migrasi ke daerah yang dirasa upah nominal rendah. Di antara mereka pun sudah banyak memberlakukan pekerja pabrik dengan skema kontrak dan otomasi cara kerja.
Konsekuensi ekonomi dari tren pekerja informal tergantung pemerintah menyikapi. Rizki mengatakan, pekerja informal umumnya rentan karena jauh dari akses jaminan sosial dan upah layak berkelanjutan. Pemerintah bisa menyalurkan subsidi dan mengubah skema kepesertaan jaminan sosial yang lebih inklusif bagi mereka.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi menambahkan, maraknya pemutusan hubungan kerja pekerja formal belakangan mendorong pekerja informal tumbuh. Apabila geliat pekerja informal ini bagus, bisa membantu keuangan pekerja tetap terjaga.