logo Kompas.id
EkonomiAsosiasi Dapen Desak...
Iklan

Asosiasi Dapen Desak Pemerintah Tuntaskan Kewajiban Gagal Bayar Obligasi Karya

Gagal bayar obligasi BUMN karya perlu segera dituntaskan agar tak menimbulkan masalah berlarut yang merugikan investor.

Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
· 5 menit baca
Ratusan pensiunan mengantre untuk mendapatkan dana pensiun di Kantor Pos Besar Yogyakarta, beberapa waktu lalu.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Ratusan pensiunan mengantre untuk mendapatkan dana pensiun di Kantor Pos Besar Yogyakarta, beberapa waktu lalu.

JAKARTA, KOMPAS — Asosiasi Dana Pensiun Indonesia mendesak pemerintah segera menuntaskan kewajiban terkait persoalan gagal bayar obligasi badan usaha milik negara yang bergerak di bidang konstruksi atau BUMN karya. Hal ini penting mengingat dana pensiun turut terdampak akibat regulasi yang mewajibkan kepemilikan portofolio obligasi pemerintah guna mendanai berbagai proyek infrastruktur pemerintah.

Persoalan obligasi tersebut terjadi ketika salah satu BUMN karya, yakni PT Waskita Karya (Persero) Tbk, gagal melunasi obligasi berkelanjutan III tahap 2 tahun 2018 yang jatuh tempo pada Februari 2023. Selain itu, terdapat tiga obligasi nonpenjaminan lainnya yang berstatus gagal bayar, yakni obligasi berkelanjutan III tahap 3, obligasi berkelanjutan III tahap 4, serta obligasi berkelanjutan IV.

”Tentu kami dari pengurus dana pensiun selaku pemegang obligasi Waskita Karya berharap agar kupon dan pokok dari obligasi tersebut dapat segera dibayarkan. Ini mengingat dana yang ditempatkan pada obligasi tersebut merupakan dana amanah dari para peserta dana pensiun,” ujar Direktur Eksekutif ADPI Budi Sulistyo saat dihubungi, Jumat (12/1/2024).

Budi menegaskan, pihak perseroan diharapkan dapat segera memberi kepastian terkait penyelesaian masalah gagal bayar obligasi melalui rapat umum pemegang obligasi (RUPO), baik melalui restrukturisasi maupun penyelesaian lain. RUPO yang rencananya akan diselenggarakan dalam waktu dekat tersebut diharapkan dapat menghasilkan keputusan yang memuaskan dan memenangkan para pemegang obligasi.

https://cdn-assetd.kompas.id/dlLF2S9yNgBX2iZlX3N6FniSCFY=/1024x899/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F01%2F62d877f9-79cc-4e94-90c0-64aa4ad87080_png.png

Dihubungi secara terpisah, pengamat industri keuangan nonbank, Suheri, menilai, tidak dibayarkannya kewajiban oleh penerbit obligasi akan mengganggu arus kas dana pensiun dan menimbulkan gap atau selisih antara realisasi pertumbuhan aset dan kewajiban aktuaria yang telah diperhitungkan sebelumnya. Akibatnya, akan terjadi defisit aktuaria yang berpotensi membuat kondisi dana pensiun menjadi tidak sehat.

”Dana pensiun harus memiliki arus kas yang lancar untuk diinvestasikan dengan hasil yang bagus. Apabila dana investasi tersebut tersangkut (gagal bayar), perputaran uang akan semakin kecil sehingga imbal hasil yang diterima akan terus menyusut. Sementara itu, kewajiban terhadap peserta terus bertambah,” katanya.

Menurut Suheri, restrukturisasi utang atau pengajuan perpanjangan jatuh tempo utang dapat merugikan dana pensiun lantaran akan mengganggu arus dana. Selain itu, pengajuan relaksasi utang yang salah satunya dilakukan dengan pemotongan kupon obligasi juga akan menambah masalah karena pertumbuhan aset yang telah diperkirakan sebelumnya dari imbal hasil kupon tidak terealisasikan.

Bagaimanapun juga pemerintah harus peduli dan berupaya untuk menyehatkan keuangan perseroan. Misalnya, sekarang ini cash flow perseoran bermasalah karena ada beberapa ruas tol yang belum bisa dijual.

Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan dapat memberikan solusi yang menguntungkan sekaligus memuaskan semua pihak, baik investor maupun perseroan. Salah satu penyelesaian yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan melakukan penyertaan modal negara (PMN) terhadap PT Hutama Karya (Persero) dan memasukkan Waskita Karya sebagai anak usahanya.

”Itu (PMN terhadap PT Hutama Karya) bisa digunakan untuk menyehatkan cash flow sehingga kewajiban perusahaan dapat dibayar. Akan tetapi, ini membutuhkan dana yang besar,” imbuhnya.

Di sisi lain, pemerhati dana pensiun sekaligus Staf Ahli ADPI Bambang Sri Mulyadi mengusulkan, pemerintah melalui Kementerian BUMN selaku pemegang saham harus ikut turun tangan untuk menyelesaikan kasus gagal bayar obligasi tersebut. Penyelesaian tersebut dapat dilakukan dengan membantu penjualan proyek infrastruktur milik perusahaan.

Warga menghitung dana pensiun yang diambil di Kantor Pos Besar, Yogyakarta, waktu lalu.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Warga menghitung dana pensiun yang diambil di Kantor Pos Besar, Yogyakarta, waktu lalu.

Menurut Bambang, persoalan Waskita Karya bermula dari kesalahan manajemen ketika perusahaan mengubah model bisnisnya dari semula berjalan sebagai kontraktor menjadi investor. Hal itu mengakibatkan arus kas perusahaan terganggu lantaran proyek-proyek infrastruktur yang dimiliki tidak dapat langsung terjual.

”Bagaimanapun juga, pemerintah harus peduli dan berupaya untuk menyehatkan keuangan perseroan. Misalnya, sekarang ini cash flow perseoran bermasalah karena ada beberapa ruas tol yang belum bisa dijual. Artinya pemerintah harus ikut membantu mencarikan pembeli yang wajar atau dengan mengalihkannya kepada BUMN yang kondisi keuangannya sehat,” katanya.

Iklan

Baca juga: Perusahaan Wajib Sosialisasikan Dana Pensiun

Bambang menambahkan, pemerintah perlu segera mencari jalan keluar agar permasalahan yang ditimbulkan tidak menjadi berlarut-larut. Sebab, masalah tersebut dapat semakin merugikan para investor, terutama dana pensiun, lantaran aset obligasi tersebut berpotensi bisa masuk dalam kategori aset bukan investasi oleh otoritas terkait.

Sebagai informasi, Waskita Karya telah menggelar rapat umum pemegang saham (RUPS) luar biasa pada 8 Desember 2023 yang salah satunya membahas tentang upaya penyehatan keuangan perusahaan, seperti penjaminan pemerintah dengan memberikan modal kerja dan penerbitan obligasi penjaminan. Selain itu, ada pula penyuntikan dana untuk memperkuat modal melalui PMN dan rights issue, serta restrukturisasi utang anak usaha.

Pembelajaran

Kerugian yang dialami oleh para investor obligasi BUMN karya tersebut tidak lepas dari kebijakan pemerintah kala itu mendanai berbagai proyek infrastruktur. Saat itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara (SBN) bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (LJKNB) yang mengamanatkan seluruh lembaga keuangan berinvestasi di SBN sebesar 20-50 persen.

Regulasi tersebut sempat menuai protes yang berujung OJK menerbitkan POJK No 36/2016 yang memberikan kelonggaran bagi lembaga keuangan nonbank menempatkan 50 persen dari investasinya pada obligasi BUMN, badan usaha milik daerah (BUMD), dan anak usaha BUMN untuk pembangunan proyek infrastruktur.

Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun (PPDP) OJK Ogi Prastomiyono memaparkan perkembangan PPDP dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan OJK Desember 2023, Selasa (9/1/2024), secara daring.
TANGKAPAN LAYAR

Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun (PPDP) OJK Ogi Prastomiyono memaparkan perkembangan PPDP dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan OJK Desember 2023, Selasa (9/1/2024), secara daring.

Setahun kemudian, OJK merevisi POJK No 1/POJK.05/2016 dengan menerbitkan POJK No 56/POJK.05/2017. Ketentuan baru itu memperluas pilihan investasi lembaga keuangan nonbank pada efek beragun aset (EBA) serta reksa dana penyertaan terbatas (RDPT) dengan persyaratan yang sama, yakni diterbitkan oleh BUMN atau anak usahanya untuk pendanaan proyek infrastruktur.

Suheri, yang juga pernah menjabat sebagai Ketua ADPI periode 2017-2022, menjelaskan, tidak ada masalah terkait ide awal pembuatan regulasi tersebut mengingat saat itu pemerintah tengah gencar dalam membangun infrastruktur. Namun, masalah muncul seiring berjalannya waktu ketika BUMN yang menerbitkan obligasi mengalami kendala dalam arus kas.

”Dulu, BUMN itu dianggap perusahaan yang aman karena langsung di bawah pemerintah sehingga kecil kemungkinannya mengalami gagal bayar dan kesulitan keuangan. Oleh sebab itu, dana pensiun mengambil peluang tersebut mengingat kuponnya yang menarik sekaligus memenuhi kewajian dari otoritas,” katanya.

Saat ini, ketentuan terkait batasan kewajiban penempatan investasi bagi perusahaan asuransi, lembaga penjamin, dana pensiun, dan BPJS pada SBN, obligasi atau sukuk yang diterbitkan oleh BUMN, BUMD, dan anak perusahaan dari BUMN, EBA, serta RDPT untuk pembiayaan infrastruktur masih sama.

Menurut Suheri, buntut persoalan gagal bayar obligasi BUMN karya tersebut harus menjadi pembelajaran bagi regulator dengan mempertimbangkan dampak kebijakan terhadap industri keuangan secara jangka panjang. Sebab, permasalahan ini tidak hanya merugikan lembaga keuangan dari kondisi keuangan, tetapi juga dapat merusak kepercayaan masyarakat.

Suheri juga mendorong agar pemerintah memperjuangkan pengembalian dana kepada para investor. Sebab, para investor yang notabene berasal dari lembaga keuangan nonbank telah melaksanakan amanat regulator dalam rangka membiayai proyek infrastruktur sehingga sudah selayaknya pemerintah menuntaskan kewajibannya.

Baca juga: Penyertaan Modal Negara Waskita Dialihkan ke Hutama Karya

Di sisi lain, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun (PPDP) OJK Ogi Prastomiyono menyampaikan, pihaknya akan memantau implementasi rencana penyelesaian permasalahan obligasi Wijaya Karya dan Waskita Karya, serta mengambil langkah-langkah untuk mendukung terpeliharanya kepercayaan pasar.

”Saat ini, ketentuan terkait batasan kewajiban penempatan investasi bagi perusahaan asuransi, lembaga penjamin, dana pensiun, dan BPJS pada SBN, obligasi atau sukuk yang diterbitkan oleh BUMN, BUMD dan anak perusahaan dari BUMN, EBA, serta RDPT untuk pembiayaan infrastruktur masih sama. Hal ini mengacu pada ketentuan yang diatur dalam POJK No 1/POJK.05/ 2016 sebagiamana diubah terakhir dengan POJK No. 56/POJK.05/2017 tentang investasi SBN bagi LJKNB,” kata Ogi secara tertulis.

Penerbitan ketentuan tersebut bertujuan untuk menyelaraskan karakteristik perusahaan asuransi, lembaga penjamin, dana pensiun, dan BPJS sebagai investor dengan instrumen investasi jangka panjang seperti SBN, obligasi, EBA, dan RDPT. Dengan demikian, diharapkan terjadi titik temu (matching) antara aset dan liabilitas perusahaan.

Ogi menambahkan, OJK dalam jangka panjang akan berkoordinasi lebih intens dengan pihak-pihak terkait, baik pemerintah maupun pelaku industri untuk memformulasikan kebijakan investasi pada SBN dan instrumen lain terkait pembiayaan infrastruktur yang lebih tepat dan prudent. Upaya tersebut diharapkan dapat mencapai tujuan awal pembuatan regulasi dan meminimalkan dampak negatif terhadap tingkat kesehatan lembaga keuangan.

Data pertumbuhan dana pensiun dan asuransi tahun 2023
TANGKAPAN LAYAR

Data pertumbuhan dana pensiun dan asuransi tahun 2023

Editor:
ARIS PRASETYO
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000