Lompatan Besar Inovasi Kecerdasan Buatan
Kompetisi bisnis digital di Asia Tenggara memasuki fase baru, yaitu persaingan kecerdasan buatan.
Jika tahun 2023 merupakan tahun ”kebangkitan” kecerdasan buatan karena ada kecerdasan buatan generatif, maka tahun 2024 diprediksi menjadi tahun bagi kecerdasan buatan dikembangkan untuk maju dengan kecepatan tinggi, menjadi lebih kuat, dan semakin menyebar ke segala aspek kehidupan. Persaingan geopolitik di balik inovasi teknologi itu tak kalah sengit.
Mengutip The New York Times, dalam sebuah acara di San Francisco pada November 2023, CEO OpenAI Sam Altman sempat ditanya kejutan apa yang akan dihasilkan bidang kecerdasan buatan pada 2024. Jawaban yang segera dia lontarkan adalah chatbot (bot percakapan) daring seperti ChatGPT akan mengalami lompatan maju yang tidak seperti perkiraan siapa pun. James Manyika, seorang eksekutif Google yang duduk di samping dia, mengangguk sebagai tanda setuju.
Inovasi kecerdasan buatan masih berpeluang besar ditingkatkan lebih pesat, menghasilkan berbagai jenis baru, hingga diaplikasikan lewat robot generasi baru. Dalam beberapa bulan mendatang, aplikasi yang bisa menghasilkan gambar bertenaga kecerdasan buatan seperti DALL-E dan Midjourney akan langsung mengirimkan video dan gambar diam. Mereka secara bertahap akan bergabung dengan chatbots seperti ChatGPT.
Beberapa perusahaan dari negara lain yang mengembangkan teknologi kecerdasan buatan generatif sudah bermunculan dan bisa dinilai sebagai peristiwa tidak biasa. Mengutip The Economist, pada November - Desember 2023 terjadi fenomena yang tidak biasa. Di Abu Dhabi terjadi peluncuran perusahaan kecerdasan buatan baru yang didukung oleh pemerintah. Nama perusahaannya adalah ai7I dan ini akan mengomersialkan model bahasa besar terkemuka, Falcon. Advanced Technology Research Council Abu Dhabi Faisal al-Bannai mengatakan, pihaknya menginginkan agar ai7I bersaing secara global dengan OpenAI.
Kemudian, pada Desember 2023, sebuah perusahaan rintisan bidang teknologi kecerdasan buatan asal Perancis yang baru beroperasi tujuh bulan, Mistral, mengumumkan putaran pendanaan sebesar 400 juta dollar AS. Pada bulan yang sama di India, Krutim, sebuah perusahaan rintisan bidang teknologi kecerdasan buatan, mengumumkan inovasi large language model multibahasa India. Sarvam, perusahaan rintisan bidang kecerdasan buatan, juga membangun produk serupa dari hasil mengumpulkan dana 41 juta dollar AS.
Baca juga : AI dan Kecemasan soal Masa Depan Pekerjaan
Negara-negara di luar Amerika Serikat dan China yang mengembangkan inovasi kecerdasan buatan tidak bisa semata-mata dilihat dalam konteks kemajuan inovasi, tetapi juga hubungan geopolitik yang kompleks. Sebab, sejauh ini, kecerdasan buatan sebenarnya telah menjadi inti dari persaingan teknologi antara Amerika Serikat dan China.
Pada tahun 2023, pemerintah Amerika Serikat dan China menjanjikan masing-masing 40 miliar–50 miliar dollar AS untuk investasi kecerdasan buatan. Presiden Joe Biden dikabarkan telah memberlakukan kontrol ekspor barang yang berkaitan dengan pembuatan inovasi kecerdasan buatan, seperti cip dan peralatan pembuatannya, kepada negara- negara pesaingnya seperti China dan Rusia. Pemerintah Amerika Serikat juga mulai mewajibkan perusahaan -perusahaan di negara dunia ketiga, termasuk Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, untuk mendapat lisensi saat membeli cip kecerdasan buatan dari Nvidia, perusahaan teknologi asal Amerika Serikat.
Sebagian besar strategi kecerdasan buatan China merupakan respons terhadap pengendalian teknologi Amerika Serikat. Sesuai data perusahaan riset JW Insights, China mengeluarkan anggaran hampir 300 miliar dollar AS untuk menciptakan kembali rantai pasokan cip untuk kecerdasan buatan dan semikonduktor lainnya di dalam negeri. Tujuannya agar kebal dari sanksi pihak Barat. Hal itu setidaknya membantu Huawei dan SMIC, pembuat cip terbesar di China, untuk merancang dan memproduksi unit pemrosesan grafis canggih tahun lalu.
Di China pun, pemerintah pusat dan daerah menyalurkan modal ke perusahaan-perusahaan yang berinvestasi pada segala jenis teknologi yang dianggap strategis. Salah satunya adalah teknologi kecerdasan buatan.
Mengutip Nikkei Asia, dengan pesatnya penyebaran kecerdasan buatan generatif secara global, persaingan bisnis digital di Asia Tenggara juga memasuki fase baru. Fase sebelumnya salah satunya adalah persaingan e-dagang.
Baca juga : Sam Altman: AI adalah Revolusi Teknologi Paling Berdampak Sepanjang Sejarah Manusia
Salah satu faktor terpenting dalam persaingan kecerdasan buatan adalah memiliki komputasi besar dan pusat data yang dibutuhkan untuk mengembangkan, melatih, dan mengoperasikan kecerdasan buatan generatif. Wakil Presiden AWS ASEAN Conor McNamara mengatakan bahwa perusahaannya berupaya menerapkan penawaran kecerdasan buatan generatifnya di pusat data regional Asia Tenggara.
Dorongan terhadap kecerdasan buatan generatif di Asia Tenggara sejauh ini dipimpin oleh raksasa teknologi Amerika. Roshan Raj, partner di konsultan teknologi Redseer, mencatat bahwa OpenAI dan Google yang didukung Microsoft telah memimpin lebih awal di pasar. Sementara pemain China sebagian besar tidak menjadi sorotan dan tampaknya ingin mengejar ketertinggalan secara agresif.
Monopoli
Menanggapi situasi itu, dosen di Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), Sunu Wibirama, Kamis (11/1/2024), di Jakarta berpendapat, dalam urusan cip yang dipakai untuk mendukung produk bertenaga kecerdasan buatan, posisi paling vital ada di Taiwan sebagai penghasil 70 persen cip dunia untuk perangkat komputasi. Secara politik, pengaruh Amerika Serikat di negara itu masih kuat sehingga China juga menginginkan Taiwan, salah satunya, karena faktor cip.
Posisi Indonesia yang dilihat dari sisi perangkat keras (hardware) sampai sekarang pun masih banyak bergantung pada asing. Idealnya, Pemerintah Indonesia mulai memikirkan riset berteknologi tinggi.
Dari kacamata peneliti dengan bidang engineering, Sunu memandang, Pemerintah Indonesia sudah saatnya berperan aktif mengendalikan harga perangkat keras yang berkaitan dengan teknologi kecerdasan buatan. Pemerintah juga perlu memiliki peraturan untuk mencegah monopoli vendor tertentu. Ini akan menguntungkan riset-riset kecerdasan buatan dalam negeri.
”Menurut peneliti-peneliti engineering, teknologi itu sebenarnya agnostik alias tidak mengenal afiliasi politik. Akan tetapi, produsen teknologi tentu akan berusaha memengaruhi kebijakan agar produk mereka bisa memiliki penetrasi pasar yang besar,” ujar Sunu.
Baca juga : Menyikapi Tren AI dalam Dunia Pendidikan dan Riset
Sementara itu, Ketua Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA) Hammam Riza berpendapat, Indonesia tetap perlu ikut dalam gelombang inovasi kecerdasan buatan yang sekarang diperkirakan semakin cepat dan kuat perkembangannya. Caranya adalah menjadikan riset inovasi kecerdasan buatan sebagai salah satu program prioritas nasional.
”Inovasi kecerdasan buatan bisa dipakai untuk segala aspek kehidupan, mulai dari transformasi industri, layanan publik, hingga penelitian-penelitian akademisi. Dampaknya menyasar ke masyarakat umum, industri, investor, perusahaan, dan akademisi,” ujarnya.
Langkah kedua, Indonesia perlu berlomba memperkuat kualitas sumber daya manusia. Bagaimanapun, berbagai bidang pekerjaan nantinya harus beradaptasi dengan teknologi digital.
Langkah selanjutnya, lanjut Hammam, memperkuat dan melindungi data dan infrastruktur dalam negeri. Cara kerja kecerdasan buatan bergantung pada data yang dipasok. Oleh sebab itu, Indonesia perlu berhati-hati terhadap sumber data yang dipakai.
”Penelitian-penelitian kecerdasan buatan, terutama kecerdasan buatan generatif, perlu ada yang dari dalam Indonesia. Indonesia jangan bergantung terus pada asing, apalagi dalam urusan large language model berbahasa Indonesia,” katanya.
Sejauh ini, Indonesia telah mempunyai Surat Edaran (SE) Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial. Nilai-nilai etika kecerdasan buatan yang disebut dalam SE meliputi inklusivitas, kemanusiaan, keamanan, aksesibilitas, transparansi, kredibilitas dan akuntabilitas, perlindungan data pribadi, pembangunan dan lingkungan berkelanjutan, serta kekayaan intelektual.
Surat edaran itu juga mengatur tujuh tanggung jawab pengembang kecerdasan buatan. Salah satunya adalah memastikan kecerdasan buatan tidak diselenggarakan sebagai penentu kebijakan ataupun pengambilan keputusan yang menyangkut kemanusiaan.
Menkominfo Budi Arie Setiadi mengatakan, bersamaan dengan keluarnya SE No 9/2023, kementerian akan menyiapkan regulasi yang bersifat mengikat, yaitu undang-undang, supaya menghadirkan kepastian hukum dan mendukung ekosistem kecerdasan buatan.
Baca juga : Kecerdasan Buatan Mampu Tingkatkan Kualitas Layanan Pelanggan