Ikhtiar Dorong Populasi Mobil Listrik
Pada tahun 2024, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan ikut serta mendorong peningkatan permintaan mobil listrik.
Kehadiran mobil listrik di Tanah Air sejak beberapa tahun terakhir disambut baik publik Tanah Air. Namun, sambutan positif itu belum tecermin dari populasi mobil tanpa bahan bakar ini yang masih kecil di jalanan. Agar bisa tancap gas seusai melewati tikungan seperti di arena balap, pemangku kepentingan harus mengatasi sejumlah tantangan agar bisa mendorong laju kencang populasi mobil listrik di tahun 2024.
Mengutip data terbaru Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), total penjualan mobil listrik pada periode Januari-November 2023 mencapai 13.873 unit. Jumlah ini baru mencapai 1,50 persen dari total penjualan mobil yang sebanyak 920.518 unit.
Angka bertumbuh dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pada Januari-November 2022, total penjualan mobil listrik mencapai 10.183 unit. Adapun jumlah ini setara dengan 1,08 persen dari total penjualan mobil yang sebanyak 942.886 unit.
Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara mengatakan, ada sejumlah tantangan yang menahan laju pertumbuhan penjualan dan populasi mobil listrik mengaspal di Indonesia. Yang pertama adalah harga jualnya yang masih relatif mahal untuk konsumen Indonesia.
Ia menjelaskan, mobil yang laku keras di pasaran itu adalah mobil yang harganya di bawah Rp 300 juta per unit. Sementara harga mobil listrik dari berbagai merek kebanyakan masih di atas Rp 700 juta. Fenomena harga mobil listrik yang lebih mahal daripada mobil berbahan bakar ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.
”Harga yang lebih mahal dibandingkan kemampuan rata-rata pasar Indonesia ini menjadi menjadi disinsentif populasi mobil listrik,” ujar Kukuh yang dihubungi akhir Desember lalu.
Tantangan kedua adalah soal teknologi baru. Harus diakui, setelah bertahun-tahun mengemudi mobil berbahan bakar, tentu butuh penyesuaian konsumen untuk beralih ke kendaraan listrik. Ada kebiasaan baru yang berubah seperti tak lagi mengisi bensin mobil, tetapi mengisi daya listrik kendaraan. Selain itu, perlu edukasi lebih luas lagi mengenai perbedaan mengemudi mobil listrik dengan bahan bakar.
Dari sisi produsen mobil, pabrikan harus menyiapkan sistem manufaktur mobil yang baru. Pabrikan perlu menyiapkan bahan baku produksi mobil listrik seperti baterai yang menjadi 40-60 persen dari total komponen. Mereka perlu terus berinovasi untuk menciptakan kendaraan yang bisa diandalkan dan lebih terjangkau.
Mengingat harganya yang relatif lebih mahal dan menggunakan teknologi yang baru, hal ini membuat mobil listrik di Indonesia kebanyakan bukan dibeli konsumen yang baru pertama kali membeli mobil (first time buyer). Padahal, pasar dari first time buyer ini juga besar. Jadi, para pembeli mobil listrik adalah konsumen yang sudah punya mobil lainnya di garasi rumahnya.
Potensial
Terlepas dari semua tantangan itu, lanjut Kukuh, Indonesia punya potensi besar di industri mobil listrik. Dari sisi produksi, Indonesia punya kekayaan sumber daya alam nikel yang merupakan bahan baku baterai. Apabila ini bisa diolah dengan tepat, produsen mobil listrik bisa menikmati kepastian keberlangsungan bahan baku produksi.
Selain itu, produksi mobil listrik juga bisa lebih efisien karena bahan baku baterai mudah diperoleh dari dalam negeri. Efisiensi produksi ini bisa meningkatkan daya saing Indonesia sebagai produsen mobil listrik. Hal ini bisa mendorong Indonesia menjadi produsen mobil listrik kelas dunia dan masuk dalam rantai pasok ekosistem mobil listrik global.
Dalam jangka pendek pada 2024, Kukuh menjelaskan, pihaknya optimistis industri mobil listrik Tanah Air akan terus berkembang. Penjualan mobil listrik diperkirakan akan terus bertumbuh. Faktor pendorongnya antara lain pertumbuhan ekonomi Indonesia yang baik sehingga menopang konsumsi dalam negeri, termasuk permintaan mobil listrik.
Efisiensi produksi ini bisa meningkatkan daya saing Indonesia sebagai produsen mobil listrik.
Rangsangan insentif untuk mendorong populasi mobil listrik juga dirilis pemerintah dengan baru saja mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2023 tentang Perubahan Perpres No 55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB).
Perpres yang diundangkan pada 9 Desember lalu itu memberikan sejumlah insentif perpajakan, yakni insentif fiskal keringanan pajak bea masuk impor, Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), dan pengurangan pajak daerah untuk KBLBB. Ini berlaku untuk impor mobil dalam keadaan utuh (completely built up/CBU) dan mobil yang diimpor dalam keadaan komponen (completely knock down/CKD) dengan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) di bawah 40 persen.
”Untuk meningkatkan populasi mobil listrik, para pemilik merek mobil listrik ini perlu impor dulu ke Indonesia. Agar harganya kompetitif, pemerintah memberikan insentif pajak ini,” ujar Deputi Bidang Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Marves) Rachmat Kaimuddin pada jumpa pers penjelasan perpres ini, pertengahan Desember lalu.
Rachmat menjelaskan, insentif ini untuk mendorong pengembangan pasar yang belum terbentuk. Oleh karena itu, pemerintah memberikan peluang kepada investor untuk membangun pabrik kendaraan listrik di Indonesia. Saat ini ada beberapa investor yang tertarik berinvestasi di industri mobil listrik.
”Pada saat yang sama sebelum pabrik beroperasi, mereka dapat memasarkan produk impor kendaraan listrik mereka di Indonesia dengan harga yang lebih kompetitif,” katanya.
Optimistis
Optimisme bahwa industri akan terus berkembang juga dikemukakan pelaku industri. Chief Operating Officer (COO) PT Hyundai Motors Manufacturing Indonesia Fransiscus Soerjopranoto mengatakan, ruang pertumbuhan untuk industri ini masih sangat besar. Pada tahun 2024, ia pun meyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia akan ikut serta mendorong peningkatan permintaan mobil listrik.
Ia mengatakan, pihaknya berkomitmen mendorong pengembangan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia dengan berinvestasi keseluruhan rantai pasok, mulai dari pabrik baterai, pabrik mobil, hingga produksi instrumen pengisian daya listrik.
Fransiscus menjelaskan, pihaknya ingin mendorong Indonesia menjadi hub mobil listrik di Asia Tenggara. Jadi, selain melayani kebutuhan domestik, Hyundai Indonesia bisa melayani ekspor.
”Kami akan terus mendukung kebijakan pemerintah untuk memajukan mobil listrik di Tanah Air,” ujar Fransiscus.
Mengutip data Gaikindo, penjualan mobil listrik Hyundai pada Januari-November 2023 mencapai 6.837 unit setara dengan 49,8 persen dari total penjualan mobil listrik di Indonesia.
Salah satu produsen mobil listrik lainnya, Wuling, juga optimistis dengan pasar di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan pihaknya mengeluarkan varian mobil listrik baru pada Desember lalu.
Dari data Gaikindo, penjualan mobil listrik Wuling pada Januari-November 2023 mencapai 4.784 unit, setara dengan 34,48 persen dari total penjualan mobil listrik di Indonesia.
Head of Industry Regional Research Bank Mandiri Dendi Ramdani mengatakan, sektor manufaktur, salah satunya otomotif, punya potensi besar dalam jangka waktu yang panjang. Sebab, sektor otomotif punya ruang pertumbuhan yang besar dari pembangunan pabrik mobil listrik.
”Pasar domestik otomotif kita besar. Potensi ekspor juga besar. Investasi yang datang juga besar. Jadi, industri ini punya potensi besar untuk jangka panjang,” ujar Dendi.
Baca juga: Dorong Investasi, Pemerintah Keluarkan Insentif Baru Kendaraan Listrik