Guru Besar IPB Pertanyakan Rencana Jokowi Impor Beras
Jumlah cadangan beras nasional sudah lebih dari cukup sehingga tidak perlu lagi ditambah dengan impor. El Nino sudah berlalu, iklim tahun ini pun normal.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tak perlu gegabah impor beras dalam waktu dekat. Stok beras dalam negeri semestinya sudah lebih dari yang dibutuhkan. Mengoptimalkan pembelian beras dari petani dalam negeri sekaligus menjadi langkah nyata agar petani bisa menikmati keuntungan yang layak.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Dwi Andreas Santosa mengatakan, fenomena El Nino sejatinya tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Sebab, El Nino diperkirakan oleh banyak pihak sudah hampir selesai. Apalagi saat ini, lanjut Andreas, cuaca Indonesia juga sudah musim hujan.
Selain itu, pada 2024 kondisi iklim Indonesia diperkirakan akan normal. ”Adanya kesulitan pasokan beras karena El Nino itu asumsi yang salah,” ujar Andreas dihubungi pada Selasa (2/1/2023).
Ia mengatakan, jika benar pernyataan Presiden Joko Widodo di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Selasa (2/1/2023), bahwa cadangan beras Bulog saat ini mencapai 1,4 juta ton ditambah impor sepanjang 3,3 juta, menurut perhitungannya stok beras pada awal 2024 sekitar 6,5 juta ton. Angka ini lebih tinggi dibandingkan stok awal 2023 yang sebanyak 4 juta ton.
Pada Selasa (2/1/2023) pagi, Presiden Jokowi meninjau Pasar Purworejo, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Kepada wartawan seusai acara, ia meyakinkan masyarakat bahwa stok cadangan beras tetap aman sehingga stabilitas harga beras tetap terkendali meskipun musim panen mengalami kemunduran akibat fenomena El Nino.
”Kita bisa mengendalikan karena stok Bulog saat ini juga sangat baik. Akhir tahun kemarin masih di angka 1,4 juta ton dan ini akan masuk lagi untuk cadangan strategis agar betul-betul kita aman, karena memang panennya nanti akan mundur sedikit, ” kata Presiden sebagaimana dikutip dari rilis Sekretariat Presiden.
Kita bisa mengendalikan karena stok Bulog saat ini juga sangat baik. Akhir tahun kemarin masih di angka 1,4 juta ton dan ini akan masuk lagi untuk cadangan strategis agar betul-betul kita aman.
Presiden menuturkan bahwa harga beras di seluruh negara mengalami kenaikan akibat ada perubahan iklim dan fenomena El Nino. Namun, Presiden menyebut bahwa kenaikan harga beras di Indonesia tidak sedrastis negara lain. ”Ada perubahan iklim, ada super El Nino, kemudian 22 negara stop tidak mengekspor berasnya sehingga terjadi keguncangan harga beras, harga pangan di dunia. Semua, semua negara mengalami, tetapi negara kita kenaikannya tidak sedrastis negara-negara lain, ” tuturnya.
Jumlah cadangan beras Bulog, menurut Andreas, sangat cukup sebagai bekal awal tahun. Apalagi pada April-Mei nanti akan ada puncak panen sehingga ikut menambah cadangan beras.
Dengan cadangan itu, semestinya tidak perlu lagi ada tambahan beras dari impor. ”Tidak perlu impor saja, cadangan beras sangat berlebih. Lantas, untuk apa tambahan dari impor? El Nino sudah berlalu, iklim tahun ini pun normal,” ujar Andreas.
Kalaupun hendak memastikan ketersediaan beras, lanjut Andreas, keputusan impor semestinya dilakukan pada Agustus 2024 bukan pada Desember 2023. Sebab, pada Agustus, puncak panen raya sudah terlewat dan Kementerian Pertanian sudah bisa membuat prognosa atau perkiraan produksi beras untuk tahun berikutnya. ”Dengan demikian, keputusan yang diambil bisa lebih bijak dan akurat,” ujar Andreas.
Tidak perlu impor saja, cadangan beras sangat berlebih. Lantas, untuk apa tambahan dari impor? El Nino sudah berlalu, iklim tahun ini pun normal.
Pada 22 Desember 2023, pada acara Outlook Perekonomian 2024, Presiden Jokowi mengatakan, berencana mengimpor 3 juta ton beras pada 2024. Adapun rinciannya 2 juta ton berasal dari Thailand dan 1 juta ton berasal dari India.
Dampak dari jumlah beras berlebihan bisa menurunkan harga gabah kering panen (GKP). Sebab, jumlah pasokan beras tengah berlebih sehingga harga GKP pun turun. Dampaknya, petani tidak menikmati pendapatan karena harga GKP menurun.
Andreas menjelaskan, sudah saatnya petani menikmati kenaikan harga jual beras. Sebab, ongkos produksi petani terus naik, sementara harga jual beras ditekan untuk terus murah.
Menurut riset Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), biaya usaha GKP di 50 kabupaten pada Juli 2019 mencapai Rp 4.523 per kilogram (kg). Nilai ini meningkat 25 persen pada September 2022 yang menjadi Rp 5.667 per kilogram.
Ongkos produksi ini meningkat karena kenaikan harga sarana prasarana pertanian, seperti pestisida, pupuk, biaya sewa lahan, dan upah buruh tani. ”Maka dari itu, harga beras yang naik itu masih dalam tingkat wajar dan adil sehingga bisa dinikmati petani,” ujar Andreas yang juga merupakan Ketua Umum AB2TI.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Desember 2023 terjadi inflasi beras sebesar 0,48 persen dibandingkan November 2023. Adapun beras menjadi salah satu komoditas yang membentuk komponen inflasi harga pangan bergejolak.
Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasantai mengatakan, harga pangan bergejolak memberi andil 1,15 persen dari total inflasi umum Januari-Desember 2023 yang sebesar 2,61 persen. Angka ini masih berada di dalam rentang target pengendalian inflasi oleh pemerintah dan Bank Indonesia (BI), yakni 2-4 persen.
Harga beras yang tinggi sejalan dengan kenaikan nilai tukar petani (NTP). Data BPS menyebutkan, pada Desember 2023, NTP naik 0,88 persen menjadi 117,76. Harga GKP di tingkat petani naik 0,12 persen dan harga beras premium di penggilingan naik 0,74 persen.