Pasar Kerja Asia Tenggara Mulai Syaratkan Keterampilan Kecerdasan Buatan
Secara global muncul istilah pekerja kerah baru (new collar) yang mengacu pada pekerjaan yang membutuhkan keterampilan teknologi tinggi yang sedang berkembang, seperti kecerdasan buatan, keamanan siber, dan robotika.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sepanjang 2021-2023, sesuai temuan aplikasi media sosial untuk jaringan profesional Linkedin, lowongan pekerjaan di Asia Tenggara yang menyebutkan syarat keterampilan teknologi kecerdasan buatan ataupun spesifik kecerdasan buatan generatif meningkat 2,4 kali lipat. Fenomena ini menandakan teknologi kecerdasan buatan sudah berada di garis depan transformasi pasar tenaga kerja.
Country Lead Linkedin for Indonesia Rohit Kalsy, Senin (1/1/2024), di Jakarta, mengatakan, sudah banyak pekerja di Indonesia meyakini bahwa akan terjadi perubahan signifikan pada pekerjaan mereka seiring dengan rilis teknologi kecerdasan buatan. Di antara profesional Indonesia ada yang optimistis mengenai manfaat menggunakan kecerdasan buatan untuk bekerja dan ada pula pekerja yang merasa terbebani dengan tren teknologi itu.
Tim ekonom dan data Linkedin meneliti data internal perusahaan dari 1 miliar anggota, 67 juta perusahaan, dan 133.000 orang di seluruh dunia untuk menyajikan gambaran komprehensif
”Untuk tahun 2024 dan seterusnya, kami semakin jelas melihat bahwa dunia kerja semakin beralih menjadi lebih memprioritaskan keterampilan, termasuk keterampilan di bidang teknologi kecerdasan buatan. Kami pun melihat momentum ini sudah mulai terbangun. Para pengusaha sedang mengubah pola pikir mereka dengan menempatkan keterampilan sebagai inti perekrutan dan pengembangan talenta di dalam perusahaan,” ujar Rohit.
Dia menyebutkan, sesuai data Linkedin, di pasar Asia Tenggara yang di dalamnya ada Indonesia, filter keterampilan yang menjadi bagian dari fitur pencarian perekrutan di aplikasi Linkedin telah tumbuh 25 persen. Saat ini, 50 persen perekrut cenderung mencari kandidat berdasarkan keterampilan dibanding lamanya pengalaman kerja. Pengguna Linkedin secara global menambahkan lebih dari 595 juta keterampilan ke profil mereka per September 2023 atau meningkat 69 persen dibanding setahun sebelumnya.
Keterampilan teknis (hard skill) di bidang teknologi, terutama kecerdasan buatan yang sifatnya disruptif sangat dicari oleh para perusahaan. Data Linkedin menunjukkan, kesenjangan keterampilan terbesar di Indonesia masih menyangkut keterampilan ilmu data, pengembangan laman, dan grafis desain.
Menurut Rohit, keterampilan non-teknis (soft skill) tetap tidak bisa diabaikan meskipun lingkungan bisnis semakin kompleks dan otomatisasi tugas oleh kecerdasan buatan semakin marak. Mentransfer soft skill pun lebih mudah dilakukan baik antarbidang pekerjaan maupun lintas industri. Sejumlah pengguna Linkedin di Indonesia diketahui menggemari belajar soft skills yang berupa berpikir strategis, berbicara dengan percaya diri dan efektif, serta analisis data.
Secara global muncul istilah pekerja kerah baru (new collar). Istilah ini artinya pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tingkat lanjut, tetapi belum tentu memiliki gelar pendidikan yang lebih tinggi. Keterampilan tingkat lanjut yang dimaksud mencakup bidang teknologi tinggi yang sedang berkembang, seperti kecerdasan buatan, keamanan siber, kendaraan listrik, dan robotika. Hanya saja, mengutip The New York Times, istilah pekerjaan kerah baru dianggap sebagai istilah yang cerdas untuk meremehkan kecemasan pekerja terhadap teknologi kecerdasan buatan yang bisa menghilangkan lapangan pekerjaan buat manusia.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar berpendapat, kecerdasan buatan merupakan sebuah keniscayaan. Perusahaan mau tidak mau akhirnya akan berinvestasi teknologi itu meskipun berbiaya mahal.
Pengembangan ataupun penggunaan teknologi kecerdasan buatan membutuhkan tenaga kerja manusia untuk mengoperasionalkan. Dia memandang sumber daya manusia Indonesia masih belum sepenuhnya mampu menghadapi kebutuhan dunia usaha atau dunia industri yang berinvestasi di teknologi kecerdasan buatan.
”Saya masih meragukan apakah program Kartu Prakerja, pelatihan di Jaminan Kehilangan Pekerjaan, dan pelatihan vokasional yang diselenggarakan pemerintah sudah bisa melatih keterampilan kecerdasan buatan yang sesuai permintaan dunia usaha,” ujar Timboel.
Menurut dia, semua program pelatihan vokasional yang ada di setiap kementerian/lembaga dan pemerintah daerah diintegrasikan, lalu dikelola oleh satu lembaga pelatihan nasional dengan anggaran yang mumpuni. Jika inisiatif mengintegrasikan seluruh program itu tidak dilakukan, hal yang dikhawatirkan dunia usaha akan memilih merekrut tenaga kerja asing yang piawai teknologi digital. Lalu, tenaga kerja lokal menjadi pekerja pendukung yang berada di periferi ekosistem industri berbasis teknologi kecerdasan buatan.
”Dunia usaha biasanya menginginkan sumber daya manusia yang bisa langsung kerja, enggan melatih. Oleh karena itu, tugas negara mendukung program pelatihan bagi angkatan kerja supaya siap bekerja dengan teknologi secanggih apa pun,” kata dia.
Head of Center Digital Economy and Small Medium Enterprise di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eisha Maghfiruha Rachbini mengatakan, proporsi tingkat pengangguran terbuka usia 15-24 tahun relatif masih tinggi. Fenomena ini diduga disebabkan oleh keterampilan yang mereka miliki tidak cocok dengan kebutuhan dunia usaha yang menuntut keahlian di bidang teknologi digital. Selain pelatihan vokasional, Eisha berpendapat pentingnya pemerintah lebih konsisten mengambil bagian dalam urusan menyiapkan kurikulum pendidikan sesuai tren kebutuhan industri saat ini.