Hilirisasi Masih Terhambat Transformasi Industri
Hilirisasi sektor mineral dan tambang dinilai positif, tetapi belum berkontribusi optimal terhadap ekonomi nasional.
JAKARTA, KOMPAS — Hilirisasi yang digenjot Pemerintah Indonesia lima tahun terakhir, khususnya di sektor mineral dan tambang, dinilai sudah menunjukkan hasil positif. Namun, program ini belum mampu menggenjot kontribusi industri pengolahan terhadap ekonomi Indonesia.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli mengatakan, hilirisasi saat ini, terutama untuk nikel, sudah mengalami kemajuan. Indonesia sejauh ini masih lebih banyak berinvestasi untuk memberi nilai tambah pada produk tambang nikel.
”Hal ini dapat dilihat dari menjamurnya smelter nikel yang beroperasi di Indonesia, terutama di Sulawesi dan Maluku Utara. Indonesia saat ini sudah menjadi produsen nikel terbesar di dunia dengan tingkat produksi sekitar 1,8 juta ton per tahun,” katanya saat dihubungi, Kamis (28/12/2023).
Menurut data Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), total sumber daya nikel sebesar 17,3 miliar ton dengan jumlah cadangan tercatat 5,08 miliar ton.
Sumber daya itu kemudian diolah di 44 pabrik pemurnian dan pengolahan (smelter) lewat pemrosesan nikel dengan pirometalurgi atau ke arah produk stainless steel, dengan produk akhir feronikel, nikel matte, dan nickel pig iron (NPI). Sebagian lagi diolah di 3 smelter hidrometalurgi atau ke arah baterai kendaraan listrik.
Pada 2022, smelter yang ada, antara lain, mampu memproduksi 106,3 juta ton bijih nikel, 516.700 ton feronikel, 76.000 ton nikel matte. Hasil itu membuat Perhapi merekomendasikan pemerintah agar melakukan moratorium pembangunan smelter baru agar tidak meningkatkan suplai yang membuat harga jatuh.
Rizal berpendapat, sebaiknya kapasitas pengolahan produk antara menjadi barang dimaksimalkan. Saat ini, Indonesia masih banyak mengekspor produk antara ke negara lain untuk diolah menjadi produk jadi, seperti alat kesehatan, alat rumah tangga, alat transportasi seperti pesawat, kapal, kendaraan termasuk kendaraan listrik, dan produk pertahanan.
”Dengan menjadikan industrialisasi produk turunan ini ke depan, nilai tambah yang didapatkan Indonesia akan jauh lebih besar. Bahkan, Indonesia akan menjadi negara industri. Untuk itu diperlukan visi dan misi pemimpin bangsa ke depan yang dapat mentranformasi industrialisasi ini menjadi kekuatan bangsa,” kata Rizal.
Baca juga: Hilirisasi, Distribusi, dan Teritori
Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satryo Nugroho, Kamis (21/12/2023), berpendapat, konsep hilirisasi yang dilakukan pemerintah sekitar masih lebih mencolok pada upaya menghentikan ekspor barang mentah dan menarik permodalan untuk membangun industri pengolahannya.
Realisasi investasi untuk pengembangan hilirisasi, menurut data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), juga mencapai seperempat atau Rp 266 triliun dari total realisasi investasi di Tanah Air yang sebesar Rp 1.053, triliun, sejak Januari-September 2023. Dari seperempat jumlah tersebut, mayoritas digunakan untuk membangun pabrik pemurnian dan pengolahan (smelter) nikel (Rp 97 triliun) dan tembaga (Rp 47,6 triliun).
Sayangnya, realisasi investasi itu belum berdampak pada kontribusi industri pengolahan atau manufaktur yang terus merosot 20 tahun terakhir. Pada tahun 2022, industri pengolahan hanya menyumbang 18,3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Padahal, pada 2004 angkanya masih di kisaran 29 persen.
Sementara itu, kontribusi sektor pertambangan dan penggalian terhadap PDB terus melejit. Setidaknya, sejak tahun 2020 hingga tahun 2022 terjadi peningkatan hampir dua kali lipat dari 6,44 persen menjadi 12,22 persen, mengutip data Badan Pusat Statistik.
”Jadi, pertanyaannya, apa sudah optimal hilirisasi ini karena kontribusi pengolahan menurun dibandingkan sektor ekstraktif?" kata Andry dalam diskusi publik yang digelar secara daring di kanal Youtube Indef.
Ia menerangkan, hilirisasi yang mayoritas masih berfokus pada produk mineral tersebut belum optimal karena rendahnya produktivitas tenaga kerja di sektor manufaktur.
Berdasarkan data yang diolah Indef, produktivitas berdasarkan jumlah karyawan di Indonesia masih di bawah Thailand, Vietnam, dan China yang menempati urutan teratas. Kemudian, total faktor produktivitas Indonesia, yang diukur Asian Productivity Organization (APO) 2023 juga, terus merosot dalam 20 tahun terakhir. Dalam hal ini, Indonesia kalah dari Malaysia, Thailand, Vietnam, dan China. Data BPS juga mencatat, kontribusi tenaga kerja sektor manufaktur juga mengalami stagnansi tujuh tahun terakhir.
Data tersebut menunjukkan, Indonesia belum bisa memaksimalkan investasi hilirisasi untuk menyerap tenaga kerja secara maksimal. Selain isu tersebut, proyek hilirisasi untuk sektor nontambang juga harus mampu dicarikan solusi oleh ketiga pasangan capres cawapres. Pemerintah memang mulai mengarahkan agar penambahan nilai tambah produk perdagangan diperluas, seperti ke sektor pertanian dan kehutanan. Namun, sektor tersebut belum menarik investasi yang tinggi (Kompas.id, 28/10/2023).
”Pemimpin berikutnya harus menjawab bagaimana indikator kesejahteraan yang masih rendah di wilayah hilirisasi perlu diselesaikan, lalu bagaimana komoditas alam didorong agar masuk proses hilirisasi,” ujarnya.
Perdagangan
Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Indef, Ahmad Heri Firdaus, hilirisasi yang dikerjakan Indonesia penting untuk memperkuat fundamental perdagangan, seperti hilirisasi nikel yang sejalan dengan strategi transisi ke energi terbarukan dengan perluasan kendaraan listrik.
”Kita harus mengambil posisi. Ke depan harus jadi supplier agar posisi di global value chain meningkat," katanya.
Baca juga: Bank Mandiri: Empat Sektor Ekonomi Ini Punya Prospek Cerah
Ia mengakui, upaya itu memang tidak lepas dari resistensi pihak eksternal. Sejak Indonesia mengeluarkan larangan ekspor bijih nikel pada 1 Januari 2020, melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019, negara-negara pengimpor nikel dalam negeri seperti Uni Eropa melawan dengan sikap geopolitiknya. Perlawanan itu seperti memberi kebijakan nontarif, berupa sertifikat ramah lingkungan pada barang ekspor kehutanan yang biasa dijual ke wilayah Eropa.
”Persoalan nikel ini bukan hanya bicara soal transisi energi, tetapi juga bagaimana strategi diplomasi, strategi bicara dengan negara negara mitra perdagangan," ujar Ahmad.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Agraria, Tata Ruang, dan Kawasan, Sanny Iskandar, berpendapat, Indonesia membutuhkan lebih banyak pabrik pengolahan.
”Di sinilah, muncul kebutuhan pengembangan kawasan industri. Ini agar industri yang terbangun bisa terkonsentrasi dan memiliki efisiensi karena berada dalam kawasan yang memiliki infrastruktur yang telah terintegrasi,” ujarnya (Kompas.id, 20/12/2023).